Resolusi Oslo, Perangkap Untuk Perlawanan Bersenjata Palestina

resolusi oslo

Purna Warta – Tanggal 13 September 2021 adalah peringatan perjanjian Oslo. 13 September 1993, Yitzhak Rabin, PM Israel 1974-1977 dan 1992-1995, bersama Yasser Arafat, Ketua Organisasi Pembebasan Palestina kala itu, menandatangani resolusi Oslo. Di bawah perjanjian Oslo, kedua belah pihak saling meresmikan diri serta mendeklarasikan perdamaian dan penarikan mundur rezim Zionis dari Tepi Barat dan Jalur Gaza.

28 tahun telah berlalu dan telah terbuktikan kepada khalayak bahwa target utama resolusi tersebut adalah mengakhiri puluhan tahun konfrontasi antara organisasi Pembebasan Palestina dan Israel serta menyingkirkan perlawanan bersenjata. Oleh karena inilah, rakyat Palestina berteriak untuk segera menghapus perjanjian tersebut, menyelesaikan kerjasama keamanan Otoritas Palestina dengan Tel Aviv dan mengimplementasikan strategi Muqawamah demi pembebasan al-Quds.

Tertuliskan bahwa resolusi Oslo hanya akan berlaku dalam satu periode 5 tahun saja dan menggantikannya dengan resolusi langgeng lainnya.

Di bawah resolusi Oslo, Otoritas Palestina berjalan dengan banyak batasan dan harus melalui satu perundingan anyar untuk kelanggengan Otoritas Palestina dalam 3 tahun ke depan. Beberapa urusan seperti Beit al-Muqaddas, imigran Palestina, kota-kota pendudukan Israel, keamanan dan pemetaan perbatasan akan diputuskan dalam perundingan terbaru.

Salah satu surat kabar Palestina, Shehab dalam salah satu analisisnya mengupas sejarah ini dan beberapa detail pasal resolusi Oslo dan menuliskan, “Sekarang, setelah 28 tahun tandatangan perjanjian Oslo, tidak ada satupun dari impian bangsa Palestina yang menjadi nyata, khususnya masalah perdamaian, pembentukan negara dan pemulangan imigran. Perjanjian ini adalah perjanjian mati yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan Israel dan beberapa antek dalam Otoritas Palestina. Khususnya rakyat Palestina dan gerakan-gerakan perlawanan bersenjata menolak kerjasama keamanan antara dua belah pihak.”

Secara resmi, kesepakatan Oslo disebut sebagai pernyataan deklarasi dasar-dasar pertama sementara pemerintahan Otoritas Palestina. Akan tetapi terkenal dengan nama resolusi Oslo karena ditandatangani dalam perundingan rahasia di satu tempat bernama Oslo di negara Norwegia.

Mahmoud Abbas, yang kala itu menjabat sebagai Kepala di kantor urusan nasional dan internasional organisasi Pembebasan Palestina (PLO), bersama dengan sang Ketua, yaitu Yasser Arafat, sebagai wakil dari rakyat Palestina menandatangani perjanjian Oslo. Sedangkan dari pihak Israel diwakili oleh Shimon Peres, Menlu Israel, dan Yitzhak Rabin, PM Israel yang diteror tahun 2005.

Penandatanganan perjanjian dilakukan pasca 14 kali pertemuan di Norwegia. Semua sepakat bahwa setelah 1 bulan tandatangan, perjanjian harus segera dilaksanakan dan semua protokol menjadi bagian tak terpisahkan perjanjian.

Kedua belah pihak menyepakati target resolusi adalah membangun perundingan perdamaian, pembentukan satu pusat transisi non-blok Palestina dan pendirian satu dewan terpilih untuk rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza selama satu periode transisi paling lamanya 5 tahun ke depan. Hal tersebut akan dilaksanakan hingga berakibat pada realisasi resolusi Dewan Keamanan PBB nomer 242 (rezim Zionis harus keluar dari daerah pendudukan 1967) dan nomer 338 (tentang dasar keadilan di Timur Tengah).

Resolusi Oslo menyatakan awal periode perjanjian dimulai dari keluarnya Israel dari tanah Gaza dan Ariha. Awal perundingan akan diumumkan dalam waktu secepatnya, dengan syarat bahwa periode transisi antara Israel dan wakil-wakil Palestina tidak lebih dari 3 tahun.

Perundingan tersebut diupayakan juga membahas masalah-masalah seperti al-Quds, imigran, kota-kota kecil pendudukan Zionis, keamanan, perbatasan, hubungan dan kerjasama dengan tetangga dan lain-lainnya yang memiliki kepentingan bersama.

Resolusi Oslo juga menekankan perundingan dua delegasi Palestina dan Israel tentang periode transisi yang mencakup struktur Dewan Legislatif, jumlah anggota Dewan Legislatif, transisi tugas dari pemerintahan militer Israel dan manajemen sipil ke Dewan, membangun Dewan Eksekutif, badan pengadilan dan instansi-instansi khusus untuk bidang-bidang urgen dan perkembangan.

Dengan kewajiban realisasi yang tertera dalam resolusi dan penarikan mundur dari Gaza dan Ariha, resolusi Oslo sebenarnya telah menekankan dimulainya transisi otoritas dari pemerintahan militer Israel dan manajemen sipil Zionis ke bangsa Palestina dalam bidang, pendidikan, budaya, kesehatan, sosial, kepemilikan dan wisata, ditambah lagi pembentukan instansi kepolisian.

Terkait masalah manajemen umum, isi perjanjian Oslo menekankan pembentukan Dewan Legislatif dan kepolisian untuk sistem keamanan dan umum dalam wilayah Tepi Barat dan Gaza. Sedangkan tugas keamanan dan pertahanan Israel, ada di tangan Israel sendiri.

Resolusi Oslo memberikan kewenangan kepada Dewan Legislatif untuk merancang undang-undang. Dan resolusi juga menuntut kedua pihak, Israel-Palestina, untuk menjalankan peraturan dan hukum rutin militer selama periode transisi. Maka pelaksanaan resolusi mengharuskan pembentukan satu komite bersama penghubung antara Israel dan Palestina demi mengkoordinasikan realisasi bertahap dan membantu masalah yang butuh pada kerjasama dan lainnya.

Resolusi Oslo juga menegaskan penyusunan satu komite kerjasama ekonomi antara Israel-Palestina demi pengembangan ekonomi di Tepi Barat, Gaza, Israel dan pengerjaan satu program khusus. Resolusi tersebut juga membuka satu kerjasama pendukung antara Israel, Palestina, Mesir dan Yordania. Pendahuluan dari langkah ini mencakup pembangunan satu komite yang bertugas memberikan izin masuk orang-orang imigran dari Tepi Barat dan Gaza pada tahun 1968.

Terkait penyelesaian perseteruan, resolsui Oslo memiliki opsi dan jalan keluar untuk mengakhiri konflik yang bersumber dari beda strategi atau penafsiran dasar dan isi (resolusi) melalui perundingan atau komite. Yang tidak bisa diselesaikan melalui perundingan, dapat diuraikan berdasarkan mekanisme kesepakatan dua pihak atau melalui pelantara komite khusus.

Dalam sejarah, Israel tidak pernah memegang teguh satupun pasal dari resolusi yang telah ditandatangani, baik dalam politik, ekonomi maupun lapangan.

Mereka tidak pernah mundur dari Tepi Barat. Daerah-daerah pendudukan tidak pernah diserahkan dan mereka tidak mengizinkan pembentukan negara Palestina merdeka. Mereka mencegah segala macam perkembangan, bahkan dalam kesepakatan ekonomi sekalipun. Mereka hanya memegang kerjasama keamanan yang telah menjamin eksistensi mereka. Sebagaimana pula yang ditunjukkan oleh aksi-aksi Otoritas Palestina yang tidak pernah melepas kerjasama keamanan tersebut.

Beberapa hari lalu, rakyat Palestina (mukim Jalur Gaza) pesta memperingati kemunduran Israel dari wilayah tersebut, Jalur Gaza. Gerakan-gerakan resistensi menegaskan bahwa opsi perlawanan bersenjata adalah opsi paling cepat untuk membebaskan Palestina. Rancangan Oslo tidak membuahkan hasil dan kini telah kehilangan akarnya. Tidak mendapatkan dukungan rakyat Palestina sebab berakhir pada pencaplokan lebih banyak tanah sebagai upah dari kesepakatan ekonomi dan keamanan yang terus dibayarkan oleh bangsa Palestina.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *