Oleh: Ismail Amin*
Tepat 76 tahun lalu, pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II yang dikenal dengan Operatie Kraai (Operasi Gagak). Serangan mematikan dari darat dan udara yang dilancarkan Belanda pada pagi hari ke jantung Jogjakarta membuat pemerintahan republik lumpuh total. Tidak hanya menguasai ibukota, Belanda juga menawan Soekarno dan Hatta. Tapi agar Republik tetap eksis, Soekarno memberi mandat ke Menteri Kemakmuran Syafruddin Prawinegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Sebagai alternatif jika ikhtiar membentuk pemerintahan darurat tidak berhasil, Moh. Hatta melalui telegram meminta Sudarsono membentuk pemerintahan pengasingan di India. Sementara kesatuan militer sepenuhnya di bawah kontrol Jenderal Sudirman yang melancarkan taktik perang gerilya. Dengan tubuh yang terpapar sakit, ia berpindah-pindah tempat persembunyian.
Belanda sempat pede dengan agresinya, menganggap itu langkah jitu untuk mengembalikan pemerintahan kolonial di Indonesia. Ternyata, agresi itu malah menjadi bumerang bagi Belanda. Belanda dikecam dunia internasional. Media-media menyebut agresi tersebut tidak ubahnya operasi Nazi Jerman saat menyerang Belanda. PPB bersuara dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang menyeret kembali Belanda ke meja perundingan. Lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, tepat setahun setelahnya, Desember 1949, Belanda yang terpojok oleh solidaritas global yang berpihak pada Indonesia, terpaksa mengubur ambisinya. Indonesia diakui dunia, dan Belanda harus angkat kaki. Proses repatriasi tidak berjalan lancar, banyak bule Belanda dalam masa bersiap harus jadi korban amuk pemuda-pemuda rakyat yang balas dendam. Mereka geram dengan penjajahan yang mereka rasakan bertahun-tahun.
Apa yang ingin saya sampaikan disiní? Kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan Indonesia tidak sepenuhnya pure berkat perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Tapi ada andil besar dukungan internasional. Coba kalau negara-negara lain utamanya Asia-Afrika bungkam dengan kondisi di Indonesia saat Belanda melancarkan agresinya dan lebih memilih memikirkan nasib mereka sendiri yang juga belum sepenuhnya terlepas dari kejamnya kolonialisme, mungkin perjuangan kemerdekaan Indonesia masih memakan waktu yang lebih lama atau bahkan belum merdeka sampai sekarang. Atau bisa jadi bukan dalam bentuk negara kesatuan tapi menjadi negara persemakmuran Belanda. Jadi negara tapi tidak otonom, jadi negara tapi boneka.
Dari sini Indonesia memiliki kewajiban historis. Indonesia berhutang pada solidaritas internasional yang membuat Belanda akhirnya memilih menyerah. Belanda selama setahun pasca melancarkan agresinya mendapat embargo, sanksi dan dikucilkan di panggung internasional. Perjuangan pahlawan-pahlawan diplomat Indonesia juga tidak bisa dinafikan jasanya. Melalui diplomasi yang elegan dan lobi-lobi kelas tinggi, Indonesia mendapat simpatik dan dukungan internasional. Karena itu, mereka yang hari ini mengecilkan arti dukungan moril dan politis Indonesia atas perjuangan kemerdekaan Palestina, adalah orang-orang yang tidak mengenal sejarah. Menyerukan agar Indonesia sebaiknya memikirkan nasib sendiri dibanding nasib bangsa lain, sama saja tidak tahu diuntung, pernah ‘diselamatkan’ solidaritas global dari kengerian perang yang dipaksakan Belanda.
Indonesia merdeka oleh usaha sendiri dengan kecerdasan memanfaatkan momentum, tapi pengakuan atas kedaulatannya adalah buah dari solidernya negara-negara lain, terutama dari negara-negara yang senasib. Belajar dari pengalaman Indonesia ini, Palestina juga semestinya bisa mendapatkan kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan. Solidaritas globallah yang dibutuhkan Palestina keluar dari neraka yang diciptakan Israel. Kita tahu, rezim apartheid di Afrika Selatan juga runtuh akibat tekanan internasional, tidak hanya dari pemberontakan rakyat. Sebagai bentuk empati pada perjuangan Mandel, banyak negara memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Afrika Selatan, termasuk larangan investasi, embargo perdagangan, dan pemboikotan produk. Bank-bank besar dunia menolak memberikan pinjaman, dan perusahaan multinasional menarik diri dari Afrika Selatan, yang semakin melemahkan ekonomi rezim apartheid.
Memang untuk Palestina, perjuangannya jadi panjang, ribet, dan lama. Karena negara-negara yang memiliki power justru memihak pada rezim Zionis. Posisi Israel memiliki nilai geopolitik tinggi bagi AS dan UE. Belum lagi mayoritas negara-negara Islam (baca: Arab) memilih bersikap pragmatis. Di Indonesia saja, netizen masih terpolarisasi, antara pro gerakan boikot produk Israel dengan kelompok masyarakat yang mengklaim diri open-minded atau berpikiran inklusif, yang memilih mengakui hak Israel dan apatis terhadap genosida yang terjadi di Gaza sampai hari ini. Tapi bagi yang pro Palestina, kampanye solidaritas global untuk Palestina harus terus disuarakan. Fenomena-fenomena terkini di Timur Tengah, semestinya tidak mengalihkan fokus kita pada Palestina. Apa yang membuat warga Gaza masih tetap bertahan dan punya harapan atas kemerdekaannya?. Ketika masih melihat dan mendengar, di dunia luar, masih ada yang memberikan dukungannya.
*Pemerhati Isu-isu Timur Tengah