Refleksi Hari Santri: Warisan Kebangkitan Perjuangan Sayyid Mustafa Khomeini

Refleksi Hari Santri: Warisan Kebangkitan Perjuangan Sayyid Mustafa Khomeini

Purna Warta – Dalam keheningan malam yang menyelimuti langit Najaf, suasana terasa tenang. Suara-suara lembut dari nyanyian malam dan gemericik air dari sumur di dekatnya menciptakan simfoni yang menenangkan. Aroma harum dari bunga melati yang mekar di halaman rumah Ayatullah Haj Sayyid Mustafa Khomeini menambah keindahan malam itu, seolah menyapa para penghuni rumah dengan kelembutan. Namun, di balik pintu rumah tersebut, sebuah peristiwa besar tengah menanti. Tidak ada yang menyangka bahwa saat malam merayap perlahan, sebuah bab dalam sejarah akan ditutup dengan begitu sunyi. Sugra Khanum, seorang perempuan sepuh dan pelayan setia rumah itu, mendengar suara pelan yang memanggilnya.

“Sugra, pergilah tidur. Sudah larut malam. Saya sendiri yang akan membuka pintu jika tamu sudah datang,” kata Sayyid Mustafa, dengan kelembutan seorang tuan yang tak pernah membebani orang lain. Meski ada keengganan di hatinya, Sugra menuruti perintah itu, seakan firasat menyelusup di antara bayang-bayang malam.

Pagi harinya, saat mentari mulai menembus kabut, Sugra kembali melanjutkan rutinitasnya, membawa sarapan yang telah ia siapkan ke kamar atas. Namun ketika membuka pintu, ia terhenti. Sayyid Mustafa masih duduk di mejanya, kitab doa terbuka di depannya, tubuhnya tak bergerak, seakan terlelap dalam ketenangan yang aneh. Dengan suara pelan, Sugra memanggilnya.

“Tuan… Tuan tertidur?” bisiknya. Namun, tidak ada jawaban. Ia mendekat, menyentuhnya dengan lembut. Terlihat wajah Sayyid Mustafa Khomeini pucat, dan di bawah kelopak matanya, ada rona gelap yang aneh, seperti bayangan kurma yang matang. Kecemasan segera menjalar dalam dirinya.

Tanpa berpikir panjang, Sugra berlari menuruni tangga, mendatangi istri Sayyid Mustafa yang tengah terbaring sakit. “Tuan Mustafa Khomeini sakit!” jeritnya, memecah keheningan pagi. Setelah memberitahu istrinya, Sugra keluar ke gang sempit dan berteriak meminta tolong kepada tetangga. Beberapa orang segera datang. Dua, tiga sosok kemudian membawa tubuh Sayyid Mustafa Khomeini ke rumah sakit, tetapi harapan sirna sebelum mereka sampai di rumah sakit.

Di tempat lain, istri Sayyid Mustafa, Masoumeh Haeri, bergegas menuju rumah sakit dengan wajah penuh keheranan. “Mustafa Khomeini adalah lelaki yang kuat. Dia sehat, tidak pernah mengeluh sakit. Bagaimana mungkin serangan jantung?” pikirnya, berdebat dengan takdir yang baru saja merenggut separuh jiwanya. Ketika akhirnya ia tiba, pemandangan yang didapati meremukkan hatinya. Tangan Sayyid Mustafa Khomeini telah berubah ungu, seperti bunga layu yang tersentuh angin kencang. “Bukan serangan jantung,” ucapnya pelan, tetapi pasti. “Mereka mengatakan dia diracun… Dua jam yang lalu, ia telah pergi…”

Keheningan yang melingkupi peristiwa ini terasa sangat dalam, namun di hati mereka yang mengenal Sayyid Mustafa Khomeini, kecurigaan mulai tumbuh. Hujjatul Islam Sayyid Ahmad Khomeini, adik dari Sayyid Mustafa, yakin bahwa tangan-tangan gelap rezim Pahlavi telah merencanakan semua ini. “Hanya bisa kukatakan, beberapa jam sebelum ia meninggal, Sayyid Mustafa Khomeini menghadiri sebuah acara duka, dan aku melihat di sana ada orang-orang dari rezim Pahlavi yang menawarkan teh dan kopi…”

Pagi itu, Najaf berselimut duka. Matahari terbit seakan membawa kabut yang berat, menutupi wajah-wajah para santri dan ulama yang mendengar kabar ini dengan keterkejutan yang membekukan. Suasana politik Iran saat itu berada di ambang perubahan, dengan rezim Pahlavi yang semakin menekan suara-suara oposisi. Kematian Sayyid Mustafa Khomeini, seorang ulama muda yang telah menjadi simbol harapan bagi banyak orang, menjadi titik balik yang mengguncang banyak hati.

Di rumahnya, Imam Khomeini menerima berita itu dengan hati yang tegar, namun tidak luput dari perasaan kehilangan yang mendalam. Dalam kepedihan yang tak terbendung, beliau menulis:

“إنا لله و إنا إلیه راجعون‏…
Pada hari Minggu, tanggal 9 Dzulqa’dah 1397, Sayyid Mustafa Khomeini, cahaya mataku dan penyejuk hatiku, meninggalkan dunia fana dan menuju rahmat Allah yang abadi. Ya Allah, rahmati dia, ampunilah dia, dan tempatkanlah dia di surga bersama wali-wali-Mu yang suci.”

Kematian Sayyid Mustafa Khomeini yang tiba-tiba ini meninggalkan kehampaan di hati mereka yang mengenalnya. Namun bagi Imam Khomeini, kehilangan ini lebih dari sekadar kehilangan seorang putra. Dalam pidato penuh makna, beliau menyatakan bahwa ini adalah salah satu “al-thaf khafiyah”—rahmat tersembunyi dari Allah yang tak selalu dapat kita pahami.

Kematian Sayyid Mustafa Khomeini yang terasa seperti tragedi tak terduga, perlahan-lahan menjadi percikan yang menyulut api kebangkitan. Revolusi yang selama ini tersembunyi di dalam hati rakyat Iran mulai membara. Di tengah kegetiran itu, Masoumeh berpikir tentang makna kehilangan ini. “Mustafa selalu memperjuangkan keadilan,” ujarnya kepada suaminya. “Warisan yang dia tinggalkan akan menginspirasi banyak orang untuk melawan penindasan.”

Dalam refleksi rakyat biasa, Sayyid Mustafa tidak hanya diingat sebagai seorang ulama, tetapi juga sebagai pejuang sejati. Banyak yang terinspirasi oleh perjuangannya, menghidupkan semangat kebangkitan yang tak pernah padam. Mereka mulai berani berbicara dan menuntut perubahan, menyadari bahwa perjuangan Sayyid Mustafa bukanlah sia-sia.

Imam Khomeini mengingatkan semua orang bahwa warisan Sayyid Mustafa Khomeini akan terus hidup dalam perjuangan untuk keadilan dan kebebasan.

Saat para santri berkumpul untuk memperingati hari santri setiap 22 Oktober, mereka seharusnya menyadari bahwa semangat Sayyid Mustafa bukan hanya terukir dalam buku sejarah, tetapi terpatri dalam jiwa dan langkah setiap pejuang keadilan. Kematian Sayyid Mustafa Khomeini, dalam keheningan malam itu, adalah awal dari sebuah kebangkitan yang tak akan padam dari jiwa-jiwa santri yang beriman. Dalam pernyataan penuh harapan, Imam Khomeini menegaskan, “Warisan perjuangan Sayyid Mustafa adalah cahaya yang akan membimbing langkah kita menuju keadilan dan kebebasan yang sejati.”[MT]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *