Purna Warta – Prancis menyelenggarakan Pemilu putaran kedua Parlemen di tengah ancaman lumpuh pemerintahan Macron jika kehilangan suara mayoritas Parlemen.
19 Juni kemarin, Presiden moderat Prancis Emmanuel Macron, yang terpilih dua bulan lalu, pergi ke pos pemungutan suara berpartisipasi dalam pemilihan yang sangat sensitif.
Pemungutan suara dimulai dari jam 8 pagi dan berakhir jam 8 petang waktu setempat. Survei memprediksikan bahwa koalisi Macron akan mendapatkan suara terbanyak, akan tetapi survei-survei ini tidak terlalu berprasangka baik akan raihan 289 suara yang diperlukan untuk memiliki mayoritas suara Parlemen.
Diindikasikan bahwa kerja Emmanuel Macron akan sedikit bermasalah dalam menundukkan sayap Kiri radikal, meskipun sudah mengalahkan sayap Kanan ekstrim pada pemilihan umum April lalu.
Perang Macron Versus Sayap Kiri
Biasanya partisipan Pemilu Prancis benar-benar memaksimalkan kesempatan Pemilu Parlemen yang biasa diselenggarakan pasca pemilihan presiden dengan tujuan memberikan suara mayoritas ke Presiden untuk memajukan pemerintahannya. Tapi sejarah menuliskan bahwa hal ini pernah tidak teralisasi pada tahun 1988 periode Francois Mitterrand.
Dan sekarang ini, berdasarkan keberhasilan sayap Kiri membangun koalisi, pemerintahan Emmanuel Macron menghadapi masalah besar dalam upaya mempertahankan suara mayoritas. Putaran pertama Pemilu Parlemen diselenggarakan di 12 Juni dan kemarin, 19 Juni, dilaksanakan Pemilu tahap 2. Sepertinya masalah kompleks
Kecerdasan Jean-luc Melenchon, Pemimpin partai sayap Kiri ekstrim, di putaran pertama Pemilu kepresidenan April membuat mereka menjalin koalisi dengan partai Hijau, Sosialis dan partai Komunis aliansi Nupes. Mereka menargetkan suara mayoritas Parlemen, 289 kursi dan mengajukan Melenchon sebagai Perdana Menteri.
Di lain pihak, Emmanuel Macron juga membentuk koalisi bernamakan Ensemble yang menyatukan partainya dengan partai politik sayap Kanan moderat.
Di tengah inflasi dan peningkatan biaya hidup, koalisi Melenchon menjanjikan pengurangan usia pensiun, bahkan penurunan harga barang primer dan 1 juta lapangan kerja menjadi modal kampanye mereka. Melenchon merupakan oposisi pemerintahan Presiden Macron dan pendukung demonstrasi Rompi Kuning. Sebelumnya, Melenchon berupaya mengeluarkan Prancis dari NATO, namun sekarang hal tersebut tidak lagi menjadi prioritasnya.
Elisabeth Borne, PM Prancis yang baru terpilih, menyebut politik Melenchon dengan politik berbahaya dan bertentangan dengan nilai-nilai Paris.
Melenchon dalam Pemilu presiden kemarin hanya bertengger di nomer tiga, meskipun dengan perbedaan sedikit. Aliansi Melenchon saling bersaing dalam raihan suara Pemilu Parlemen putaran pertama dengan koalisi Emmanuel Macron. Koalisi Melenchon mendapatkan 25.66% suara, sedangkan koalisi Macron, 25.75% suara.
Berdasarkan prediksi, persekutuan sayap Kiri-Hijau Melenchon bisa berkembang menjadi oposisi raksasa pemerintah. Sementara sayap konservatif akan semakin menancapkan hegemoninya. Survei-survei menunjukkan bahwa sayap Kanan ekstrim akan meraih sukses terbesarnya dalam beberapa dekade ini. Marine Le Pen, Ketua sayap Kanan ekstrim, berusaha mendapatkan poin penting untuk partai Nasional-nya, yang hanya memiliki 8 kursi di Parlemen sebelumnya.
Agenda Macron dalam Bahaya
Tanpa suara mayoritas mutlak Parlemen, yaitu 289 kursi, Macron akan kesulitan mengaplikasikan agenda kerjanya seperti penambahan usia pensiun, penurunan pajak dan reformasi dalam dukungan partai. Survei memprediksikan bahwa di Pemilu hari kemarin, 19 Juni, koalisi Macron akan meraih 255-305 kursi, adapun koalisi Melenchon, antara 140-200 kursi.
Menurut analisa Reuters, jika basis Macron tidak mendapatkan suara mayoritas, maka akan tercipta satu periode yang mampu membuat kompleks masalah pembagian kekuasaan atau melumpuhkan pemerintahan dalam jangka panjang.
Berdasarkan analisa ini, meskipun Macron dan para sekutunya mampu meraih mayoritas suara, namun sayap Kiri merupakan masalah berat untuk sang Presiden, yang sudah tersangka tidak efektif di tengah inflasi negeri.
Menurut politikus Paris, jika Macron dan konco-konconya kehilangan mayoritas dengan jarak jumlah suara sedikit, bisa jadi mereka akan mengincar para Wakil sayap Kanan moderat atau konservatif. Namun jika kehilangan mayoritas dengan jarak besar, bisa jadi mereka berusaha membangun aliansi dengan konservatif atau memimpin pemerintahan minoritas yang mengharuskan tawar-menawar dalam satu persatu permasalahan. Jadi, setelah 5 tahun tenang, sekarang Macron harus mengadakan rekonstruksi besar-besaran.
“Tidak ada satupun survei yang tidak menunjukkan koalisi sayap Kiri pimpinan Jean-luc Melenchon akan sukses meraih suara mayoritas. Ini adalah satu skenario yang mampu menjerumuskan ekonomi raksasa Euro ke dalam relasi tak sehat Presiden dan Perdana Menteri antar grup politik,” hemat Reuters.