Tel Aviv, Purna Warta – Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett memutar setir dalam merespon krisis Ukraina dan Rusia. Rai al-Youm menyebutnya dengan ancang-ancang rezim pembantai anak-anak Palestina untuk menjadi mediator.
Rabu, 2/3, malam PM Naftali Bennett dalam perbincangan dengan dua kepala negara Ukraina dan Rusia menawarkan jasa mediasi. Padahal sebelumnya, PM Israel mengecam invasi Moskow.
Rai al-Youm, 3/3, cetakan London mencetak jurnal mengupas putar arah rezim Zionis ini dan mengumpamakan strategi atau rencana yang ditawarkan pihak Israel setelah mereka mengecam karena tekanan Amerika Serikat, seperti tali penyelamat.
Baca Juga : MBS: Perlu Kiranya Hidup Berdampingan dengan Iran, dan Israel Bukanlah Musuh
Pasca kecaman lisan tersebut, Israel lebih banyak berdiam, bahkan menghindar dari keberpihakan dalam merespon pertanyaan tentang perang Ukraina-Rusia, hal yang merupakan tuntutan petinggi militer rezim.
Dalam konferensi Kabinet, Ayelet Shaked, Menteri Dalam Negeri Israel, menegaskan aksi diam yang seharusnya ini dalam dialog pemerintahan Tel Aviv. Dan PM Bennett-pun juga meminta para Menteri untuk tidak menyebutkan sepatah kata apapun terkait invasi Rusia.
Alasan kekhawatiran Tel Aviv, yang sedang menaungi para petinggi Zionis tersebut, menurut analisa Rai al-Youm, dikarenakan indikasi efek perang dan peningkatan tensi konflik Barat versus Rusia, khususnya dalam memperhatikan medan perang mereka di Suriah dan Iran.
Sebenarnya menurut analisis Rai al-Youm, keputusan kecaman yang diambil Israel itu searah dengan sekutu dekatnya, yaitu Amerika Serikat, namun hal itu diputuskan sangat hati-hati meskipun para lawannya transparan berada di barisan Negeri Beruang Merah.
Baca Juga : 22 Februari Hari Kematian Wahabi dan Pengulitan Keluarga Saud
Hal ini, dalam hemat pengamat Rai al-Youm, ditakutkan akan memaksa Rusia untuk merubah strategi dan kaedah main di Timur Tengah, khususnya di Damaskus dan menurunkan kebebasan gerak di langit Suriah, sedangkan detik ini pula, Israel butuh ruang udara tersebut untuk menghadapi gerak Iran dan Muqawamah Lebanon serta upayanya untuk menguatkan eksistensi di perbatasan-perbatasan Palestina Pendudukan.
“Moskow mengirim sinyal pertamanya kepada Israel dengan menegaskan ilegalitas akuisisi rezim Zionis atas wilayah dataran tinggi Golan. Israel takut menerima sinyal ini bahwa jangan sampai Beruang Merah menuju persekutuan yang lebih erat dengan Negeri Para Mullah, karena hal ini akan membebaskan Iran untuk bergerak lebih. Karena sebelumnya, Israel sudah gemetaran melihat hubungan hangat Rusia-Iran yang terus dikembangkan,” tulis Rai al-Youm.
“Melihat upaya Zionis untuk mengambil jalan tengah yang kalah versus tekanan Gedung Putih ini, Naftali Bennett, PM Israel memperlihatkan kekentalan usaha mediasinya dalam perbincangan dengan kedua belah pihak konflik, yaitu Rusia dan Ukraina. PM Israel mengaktifkan mediasinya, tapi usaha tersebut gagal sebelum dijalankan. Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina, kemarin menuntut Yahudi internasional untuk meneriakkan suaranya setelah rudal Moskow menghancurkan menara televisi Kiev, yang menurut klaimnya, merupakan tempat genosida 30.000 lebih Yahudi oleh Nazi selama perang dunia II. Ini adalah orasi yang ditujukan langsung kepada Israel,” tambahnya.
Baca Juga : Perang Rusia-Ukraina, Efeknya ke Dunia Arab dan Tugas Baru di Kawasan
Presiden Zelensky, yang dirinya etnis Yahudi, mengatakan, “Saat ini saya katakan kepada semua Yahudi dunia, apakah kalian tidak melihat apa yang terjadi? Jadi sangatlah penting bagi Yahudi dunia untuk tidak tinggal diam… Nazisme telah lahir dari rahim diam. Jadi berteriaklah tentang pembantaian sipil. Teriakkanlah suara kalian tentang pembantaian bangsa Ukraina.”
Di akhir analis Rai al-Youm mengindikasikan kebijakan diam ataupun non-blok yang sangat sulit untuk diputuskan Israel karena emosi AS dan Eropa ke Rusia.