Proyek Nuklir Rezim Zionis dan Hening yang Menakutkan

israel

Purna Warta – Koar-koar dunia hanya terbatas pada program nuklir Iran. Terkait proyek senjata atom rezim Zionis, mereka memilih diam seribu bahasa.

Media-media Amerika dan Eropa mengelu-elukan program nuklir Iran. Tapi mereka tak berkutik, tanpa penulusuran berarti menanggapi proyek nuklir Israel. Tidak banyak informasi tentang atom rezim pembantai dan pendudukan.

Tel Aviv adalah satu-satunya pihak yang memiliki nuklir di bagian Asia Barat. Israel tidak pernah memberikan izin kepada IAEA untuk menelisik program atom mereka.

Bahkan dikabarkan bahwa Israel juga menolak untuk masuk menjadi anggota Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, sedangkan mereka mengantongi puluhan senjata nuklir. Iran adalah salah satu anggota Perjanjian Nonproliferasi Nuklir dan Tehran terus mengkritik organisasi internasional tersebut karena diam merespon program nuklir Israel.

Muwafaq Mahadin, salah satu analis Yordania, dalam catatan terbarunya di surat kabar al-Mayadeen membahas masalah ini dan menuliskan, “Di balik provokasi media massa versus program nuklir Iran, media Eropa dan Amerika lebih memilih diam mutlak terkait program nuklir dan militer rezim Zionis. Dan informasi apa yang ada sekarang mengenai nuklir Israel?.”

Seymour Myron Hers (peraih nobel Pulitzer), menurutnya, telah menjawab persoalan ini dalam bukunya yang berjudul The Samson Option. Buku tersebut membongkar alasan rezim Zionis mengembangkan proyek nuklir di tengah menguatnya gerakan pembebasan Arab, Gamal Abdul Nasir, mantan Presiden Mesir serta tujuan proyek nuklir ini yang menargetkan peningkatan ancaman, memeras regional, memaksa negara-negara dan menciptakan satu poros yang berpusat di Tel Aviv.

Program nuklir Dimona di wilayah pendudukan Bersyeba telah dibangun sejak tahun 1958 dan aktif produksi tahun 1968. Menurut penulis Yahudi Amerika tersebut, proyek ini memanipulasi proyek pipa air dan minyak perusahaan Tahal sebagai tempat penyimpanan rudal atom.

Meskipun Prancis, menurut Mahadin, menjadi pendukung imperealis pertama nuklir Israel, akan tetapi Amerika Serikat baru masuk urusan ini sejak tahun 1955.

AS mendukung proyek ini pada periode pemerintahan Lyndon B. Johnson dan Nixon-Kissinger. Periode Ronald Reagan dan William J. Casey meningkatkan kekuatan manajemen intelinjensinya.

“Terkait peran Prancis, hal itu dimulai pada tahun 1949 dengan kunjungan seorang profesor Paris ke Israel,” tulis Seymor M. Hers dalam bukunya.

Adapun mantan PM Israel, Moshe Sharett telah menjalin kerjasama dengan Tel Aviv tentang program nuklir pada tahun 1954. Tandatangan kesepakatan dilakukan sezaman dengan peningkatan agresi segitiga (Zionis-Inggris-Prancis) ke kedaulatan Gamal Abdul Nasir pada tahun 1956. Kala itu Paris dalam kuasa Guy Mollet dan sosialisme internasional, saingan internasional III.

Pemerintahan apartheis Afrika Selatan adalah negara selanjutnya yang mendukung dan menegaskan program nuklir Israel. Bahkan mengirim uranium ke Tel Aviv dan menyiapkan pondasi eksperimen senjata atom. Sebagai imbalannya, Israel menawarkan penjualan senjata atom ke Afrika Selatan.

Sebagai bentuk pengembangan program nuklir inilah, Tel Aviv juga menggempur beberapa titik di Suriah, di wilayah dekat Deir ez-Zour serta Irak.

Tak puas pada satu proyek yang telah mengancam perdamaian dunia tersebut, Israel juga menghancurkan satu program perdamaian lainnya di Suriah dan Irak kemudian memprovokasi pihak-pihak lain untuk melawan nuklir Iran.

Di samping gerakan provokatif konferensi Zionis, Herzliya, pada tahun 2008 Israel mulai memprovokasi The Washington Institut, dekat dengan AIPAC, bergerak melawan Iran demi memajukan langkah dalam upayanya memaksa George Bush Jr. memborbardir Tehran.

Namun upaya ini berhenti setelah tersebar desas-desus besarnya dampak, bahaya serta tidak efektifnya aksi ini, seperti yang dilontarkan Mohamed ElBaradei, mantan Direktur IAEA, dan Martin van Creveld, salah satu sejarawan militer di Palestina Pendudukan yang gigih memperingatkan bahaya perang versus Iran dan efek-efeknya.

Di akhir, analis Yordania tersebut menuliskan catatan, “Sebagaimana disebutkan di atas bahwa pernyataan keras Zionis pada tahun 2008 dan aksi-aksi sebelumnya menunjukkan perang yang semakin dekat. Namun sekarang kami di tahun 2021 dan terbuktikan bahwa suara genderang perang, yang hanya didengar oleh penakut itu, sekedar bertujuan untuk memeras.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *