Purna Warta – Antara dekade 80-an, saat Iran dan Irak berperang, untuk pertama kalinya Saddam berusaha meluncurkan rudal Balistik ke semua sendi Tehran untuk menghancurkan struktur militer dan ekonomi Iran.
Pertama, Irak meluncurkan banyak rudal ke kota di sekitaran perbatasan yang kemudian dilanjutkan hingga jantung Tehran. Adapun Iran berusaha membalasnya dengan rudal Scud-B yang dibelinya via Gaddafi, yang kemudian diteruskan dengan rudal-rudal made in Korea Utara.
Baca Juga : Rudal Cruise Iran Balik Peta Kekuatan Timur Tengah
Perang habis-habisan seperti inilah yang membuat negara-negara Timur Tengah memahami efektifitas kunci rudal Balistik. Dengan demikian, setiap satu dari negara Timteng berusaha untuk meraihnya atau mendapatkan senjata yang setara dengannya dengan berbagai jalan. Arab Saudi tak terkecualikan dari upaya universal ini.
Untuk membeli rudal Balistik, Arab Saudi tidak bisa membuka lembaran kesepakatan dengan Amerika Serikat. Rudal Balistik telah membuka indikasi penggunaan peluncur nuklir. Satu titik ini cukup untuk memahami besarnya upaya Israel untuk menggagalkan impian ini melalui kaki tangan lobi-lobinya.
Upaya apapun untuk membeli senjata Uni Soviet adalah garis merah. Dengan demikian maka semua mata menuju ke arah China.
Ketika Saudi memutar setir ke China, mereka langsung meletakkan telunjuk ke rudal sehingga orang-orang Beijing sendiri terkejut. Rudal DF-3 (Dongfeng) memiliki detail sasaran yang kurang meskipun dengan jarak jangkau hampir 3000 kilometer. Akan tetapi Dongfeng satu ini memiliki kemampuan untuk menggendong pucuk senjata yang cukup berat yaitu sampai 2 ton, di mana hal ini hanya bisa dipakai untuk menggendong bom nuklir. Dan pandangan Saudi-pun tertuju pada DF-3.
Baca Juga : Petinggi Senior Zionis Terkejut Mendengar Adanya Spionase Jaringan Iran
China sendiri kurang menyambut kelebihan Dongfeng-3 ini, karena hanya bisa digunakan untuk membawa rudal nuklir. Akan tetapi pada dekade 80-an, dalam perundingan senyap Saudi-China di Hongkong, Beijing menjual sebanyak 50 buah ke Riyadh. Tetapi hingga saat ini belum ada dokumen ataupun bukti pengaktifan senjata ini dalam satu perang manapun, hanya dijadikan alat unjuk gigi di pameran.
Namun sekarang fakta ini menjadi gonjang-ganjing karena Saudi yang lebih aktif dari segi ekonomi dalam proyek pembangunan bom nuklir.
Beberapa pihak mengindikasikan satu opini bahwa Saudi ingin membeli nuklir dari Pakistan. Tetapi tidak ada satupun yang menegaskan opini ini. Saudi juga menutup kuping akan protes Amerika dalam pembelian rudal ini, bahkan Duta Besar Amerika diusir dari Riyadh.
Namun demikian, banyak pihak yang meyakini nir efektifitas nuklir di Saudi. Dan laporan CNN baru-baru ini tentang rumah produksi bahan bakar beku rudal Saudi menjadi pembahasan panas dalam mengupas program nuklir Riyadh.
Baca Juga : Riwayat Relasi Saudi-Israel: Dari Sekutu Hingga Satu Hati
China dan Ukraina, Sekutu Persenjataan Saudi
Lansiran foto-foto produksi bahan bakar beku rudal di Arab Saudi bukanlah satu lansiran laporan baru. Rumah produksi ini sudah sekian lama aktif produksi bahan bakar dan yang jelas, Saudi memiliki relasi kerja sama dengan negara lain di ranah rudal Balistik.
Ukraina adalah negara lain yang merajut kerja sama dengan Arab Saudi di bidang pengembangan rudal Balistik. Berbeda dengan kerjasamanya versus China, aktifitas Ukraina dalam relasi ini terkhusus pada rudal Balistik jarak pendek.
Peluru kendali Grom adalah rudal Balistik dengan jarak 300 kilometer yang memiliki kemampian detail tinggi untuk menghancurkan titik sasarannya. Proyek rudal ini berkembang di periode Uni Soviet dan Ukraina tidak memiliki kemampuan untuk pengembangan rudal jenis ini karena keterbatasan ekonomi.
Sekarang dengan kerjasamanya dengan Arab Saudi, Ukraina bermaksud untuk menyempurnakan pengembangan rudal Grom dan melengkapi persenjataan negara dengan artileri rudal. Saudi bukan satu-satunya pihak dalam kerja sama pengembangan rudal Grom ini, ada pula Emirat yang juga mengungkapkan keseriusannya untuk membeli.
Baca Juga : The Economist: Sebagian Warga Saudi Impikan Sosok Imam Khomeini
Berbeda dengan Saudi, UEA bergerak aktif dalam pembelian rudal jarak pendek dan rudal Scud Korea Utara adalah pembelian perdananya. Namun sekarang ada isu-siu tentang pembelian DF-21 yang memiliki jarak tempuh 1400 kilometer oleh pihak Abu Dhabi, sedangkan pihak Saudi belum ada gerak untuk membeli jenis ini.
Mengenai rumah produksi bahan bakar beku Saudi ini, ada pertanyaan serius yang harus dijawab. Apakah Istana berupaya mengaktifkan persaingan rudal?
Masalah Utama Saudi Untuk Memiliki Nuklir
Arab Saudi mengerti benar bagaimana sakitnya terkena rudal Balistik selama perang Yaman. Mereka menyadari kemampuannya. Meskipun Saudi berfokus dalam pengembangan Angkata Udaranya, namun kemampuan serangan rudal-rudal Balistik telah mendorong Istana untuk memajukan program rudal ini.
Namun demikian, untuk meraih impian ini, Saudi memiliki banyak masalah. Seandainya sampai pada tahap realisasi, pengaktifan rudal tidak bisa bergantung pada teknologi pribumi.
Baca Juga : Qasem Soleimani dan Abu Mahdi Al-Muhandis Simbol Kemenangan Muqawamah
Produksi bahan bakar beku adalah salah satu tahapan untuk memproduksi rudal Balistik. Dan Saudi tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam pengembangan rudal Balistik.
Hingga detik ini, Saudi tidak pernah mengenyam pengalaman sukses di ranah pengembangan rudal. Sebagai contoh 15 tahun yang lalu, ditandatangani resolusi kerja sama antara Kemenhan Saudi dan satu perusahaan perangkat lunak asal Swedia demi memproduksi rudal anti-tank buatan sendiri. Tapi sepertinya proyek ini juga gagal sebagaimana proyek-proyek sebelumnya.
Selain itu, pasukan bersenjata Arab Saudi tidak memiliki pengalaman peluncuran rudal Balistik. Hingga saat ini, Saudi belum pernah menjalani latihan perang rudal. Rudal Dongfeng-3 hanya dijadikan sebagai tontonan pameran.
Dari fakta ini, maka tidak jelas satuan atau unit rudal Saudi bagaimana akan bekerja jika terjadi perang sungguhan. Masalah ini memaksa Istana untuk bergantung pada pasukan asing. Sebagaimana di perang Yaman, pilot-pilot asinglah yang berperan penting dalam mengoperasikan manuver udara sehingga mereka harus menanggung anggaran besar.
Semua ini merupakan masalah di tahap awal proyek rudal Balistik, masih jauh dari tahap realisasi produksi dan pengaktifan yang sebenarnya.
Baca Juga : Emirat, Apa Perlu Dijewer Lagi Biar Sadar?
Program Rudal Saudi, Bayi Prematur di Tengah Persaingan Dunia
Satu titik persoalan lainnya adalah program rudal Saudi yang berada di tengah persaingan antar poros dunia. Program ini merupakan satu reaksi dampak perang Amerika versus China.
Gedung Putih mengetahui maksud Saudi dalam investasi program di program nuklir Pakistan yang bertujuan untuk membuat bom atom. Menurut Amerika, program rudal Saudi merupakan proyek pembangunan peluncur nuklir.
Masalah ini sangatlah urgen bagi Amerika sehingga mereka memotong kabel peluncuran senjata nuklir dalam pesawat F-15 yang diserahkan kepada Arab Saudi.
Amerika tidak percaya pada satupun alat untuk mengawasi program rudal Balistik Saudi. Maka AS akan berupaya sekeras tenaga untuk menghentikan program ini. Joe Biden, Presiden AS, baru-baru ini menjelaskan sanksi atas hal-hal yang mendukung teknologi rudal Saudi.
Sementara China berupaya sekuat mungkin untuk menyusup ke dalam struktur keamanan dan pemerintahan Saudi. China mengimpor minyak Saudi 2 juta barel setiap hari dan kedua belah pihak menjalin kerja sama proyek raksasa emas hitam. Berbeda dengan Washington, Beijing tidak memiliki pengaruh dalam struktur keamanan Istana. Maka pengajuan teknologi seperti ini kepada Arab Saudi merupakan upaya Beijing untuk mengurangi hegemoni Gedung Putih di Riyadh. Dan Saudi mengimpikan teknologi nuklir dari China.
Baca Juga : 70 Tahun Bertahan: Warga Palestina Takkan Pernah Meninggalkan Sahara Negev
Pertanyaan lebih besarnya adalah apakah Riyadh mampu mengaktifkan teknologi ini di situasi penting atau hanya bisa bergantung ke sana ke sini seperti sebelumnya?
Berbeda dengan Iran, Saudi masih butuh pada pengembang asing dalam proyek rudalnya. Dan hingga kini belum ada sukses yang tertulis dalam sejarah negara ini.
Mungkin di waktu dekat, tekanan AS akan mengendurkan niat Saudi. Perlu diketahui bahwa AS menerapkan syarat-syarat berat kepada Emirat dalam pembelian F-35, di mana pengunduran kerja sama teknologi 5G termasuk dalam syarat tersebut.
Saudi sama dengan Emirat, memiliki opsi sedikit di tengah persaingan Amerika versus China. Mungkin sebelum proyek ini berkembang menjadi nyata, berbagai masalah telah mencekik nasib semua program impian Arab Saudi.