Riyadh, Purna Warta – Ambisi Saudi untuk menjadikan negerinya menjadi pusat bisnis dan ekonomi Timur Tengah masih terus berlanjut. Tak puas dengan agenda NEOM dan Vision 2030, kini Saudi memperkenalkan sebuah agenda baru, Program HQ.
Program HQ tersebut meniscayakan setiap perusahaan untuk mendirikan kantor pusatnya di Saudi Arabia.
Khalid al-Falih, Kementrian Urusan Investasi Saudi, menyebutkan bahwa perusahaan yang menginginkan kontrak dengan kerajaan diharuskan untuk meletakkan kantor pusatnya di Saudi Arabia sebelum 2024.
Saudi berharap bahwa ambisinya untuk menjadi raksasa ekonomi terbaik di Timur Tengah dapat membujuk para investor untuk memenuhi permintaan tersebut, yakni memindahkan kantor pusatnya ke Saudi Arabia.
Program Kantor Pusat ini diramalkan mampu menggenjot ekonomi Saudi yang lumpuh akibat pandemi yang sedang menyebar ini.
Program HQ ini masih berada dalam tahapan wacana. Jika terealisasi, maka kompetisi untuk menggaet inevstor di negara-negara teluk, terutama Dubai, takkan terelakkan.
Program HQ mengiming-imingkan 50 tahun pembebasan pajak bagi perusahaan yang bersedia memindahkan kantor pusat mereka ke Saudi. Progam tersebut juga memberikan 10 tahun pembebasan kuota terkait rekrutmen pegawai Saudi. Hal ini bermakna satu perusahaan bisa saja tidak merekrut warga Saudi untuk bekerja di HQ tersebut sama sekali.
MENGAPA AGENDA HQ?
Program HQ ini juga disinyalir menjadi langkah utama untuk membasmi korupsi dan memberikan transaparansi untuk meraup investor yang memang benar-benar dibutuhkan oleh Saudi.
Pendapatan Bersih dari Investasii asing yang didapatkan oleh Saudi hanya $4.2 miliar pada 2018, dan $4.6 miliar pada 2019. Bandingkan dengan Dubai yang mampu meraup $10.4 miliar pada 2018, and $14 miliar in 2019.
Setidaknya Saudi memerlukan angka >6% untuk PDB non-minyak demi menutupi angka pengangguran pemuda yang sudah fantastis; 28.7% di awal 2021. Ekonomi tidak bisa lagi ditopang oleh APBN, yang artinya Program HQ ini diharapkan akan menjadi senjata andalan Saudi.
DUBAI VS RIYADH
Program HQ dapat diinterpretasikan sebagai kompetisi langsung Riyadh dengan Dubai, yang notabene adalah primadona bisnis yang jauh lebih unggul dibanding Saudi.
Program ini juga memberikan sinyal kepada para investor bahwa Saudi Arabia juga merupakan bagian dalam pasar mereka, termasuk menjalankan bisnis dan mendirikan kantor pusat di Tanah Haramain itu.
Dubai sendiri terpaksa untuk melakukan diversitas akibat rendahnya persediaan minyak dibandingkan dengan negara teluk lainnya. Survey yang dilakukan oleh Infomineo, sebuah perusahaan riset yang berbasis di Dubai, menyebutkan bahwa langkah Dubai membuahkan hasil dengan eksistensi 45 perusahaan Fortune 500 di Dubai.
Meskipun skor menunjukkan 0 – 45 untuk Saudi atas Dubai, setidaknya skor tersebut akan berubah menjadi 1 – 45, karena Bechtel, raksasa perusahaan konstruksi Amerika Serikat sudah mengumumkan kesiapannya untuk memindahkan HQ-nya ke Riyadh, walaupun Saudi sama sekali belum mengumumkan pesyaratannya.
Dubai tidak hanya populer untuk wilayah Timur Tengah dan Utara Afrika saja, tapi juga untuk seluruh Afrika. Martin Tronquit, Managing Partner di Infomineo, menyebutkan bahwa Ibukota bisnis Afrika bukan di Afrika, melainkan di Dubai.
VISION 2030
Mohammad bin Salman mencanangkan Visi 2030 sebagai booster untuk seluruh sektor ekonomi Saudi. Program itulah yang nanti akan men-transform Saudi menjadi “Pembangkit Ekonomi Tenaga Investasi” dan menjadi penghubung antara 3 benua; Asia, Eropa dan Afrika.
Riyadh digadang-gadang menjadi pusat HQ ke depannya. Begitu juga dengan kota yang dikenal dengan King Abdullah Economic City, yang berlokasi di dekat Jeddah. Kota King Abdullah Economic City itu adalah satu-satunya dari empat kota ekonomi yang diharapkan dapat membuahkan hasil pada tahun 2020 lalu.
Perlu diketahui bahwa Saudi mencanangkan empat kota yang akan menjadi primadona ekonomi untuk masa depan Saudi. Kota tersebut adalah :
- King Abdullah Economic City (KAEC) di Rabigh
- Prince Abdul Aziz Bin Mousaed Economic City (PABMEC) di Hael
- Knowledge Economic City (KEC) di Medinah
- Jazan Economic City (JEC) di Jazan
NEOM diramalkan akan menjadi kota prospek agenda HQ tersebut. Hal ini dikarenakan NEOM akan memiliki rezim yang terpisah dengan kerajaan. Terdapat 20 perusahaan yang siap untuk mendirikan HQ di kota NEOM jika kontrak sudah disiapkan.
KETIDAKJELASAN PROGRAM HQ
Tidak jelas apakah program HQ tersebut mampu memberikan ribuan lowongan kerja untuk warga negara Saudi sendiri. Saudi sendiri telah mengurungkan Saudisasi, yang memungkinkan setiap perusahaan bisa saja tidak merekrut warga Saudi sama sekali. Hal ini dapat berakibat buruk, terlebih tanah hijaz pernah menjadi pioner rasisme klasik antara arab dan ajam.
Seandainya agenda tersebut benar-benar direalisasi, perusahaan yang akan bertaburan di Saudi adalah perusahaan yang bergerak di sektor Infrastruktur dan Pembangunan saja. Dan sektor ini memang jauh lebih menjanjikan, minimalnya untuk dekade pertama peluncurannya. Beruntunglah Saudi memulainya dengan langkah konstruksi megacity NEOM, dimana anggaran yang sudah disiapkan adalah $200 milliar.
HAMBATAN PROGRAM HQ
Banyak analis yang menyebutkan bahwa Program HQ masih kurang jelas terutama dalam cakupan definisinya. Apakah hanya mencakup Dewan Kerjasama Teluk (GCC) saja, ataukah mencakup Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA), ataukah Eropa, Timur tengah dan Afrika (EMEA)? Dan juga bagaimana dengan jumlah pegawai yang akan bekerja di HQ tersebut?
Agenda tersebut mengabaikan potensi perubahan dalam dunia kerja dalam beberapa tahun kedepan, seperti trending work from home dalam suasana pandemi, atau automatisasi industri dan smart technology yang dicetuskan oleh Forum Ekonomi Dunia sebagai Revolusi Industri Keempat, yang tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap perusahaan yang terdaftar.
Program HQ secara teorinya adalah sebuah agenda yang brilian, akan tetapi hambatan untuk melancarkan agenda tersebut tidaklah sederhana yang dikira.
Hambatan utama adalah kesediaan pemilik perusahaan tersebut. Saat ini tidak ada satu pun kantor pusat di Saudi Arabia. Alasannya sederhana: tidak ada orang yang mau untuk tinggal disana.
Akan sulit bagai Saudi untuk membujuk para senior executive untuk mengambil perubahan lokasi HQ. Para senior umumnya berusia 40 hingga 60 tahun dan memiliki lebih dari dua anak. Pindah HQ bermakna, hijrah ke sebuah lokasi yang berbeda. Meski Dubai dan Riyadh sama-sama mantan padang pasir, akan tetapi gaya hidup antara kedua tempat itulah yang menjadi faktor penentu utamanya.
Sektor Infrastruktur memang dipastikan dapat menjadi sektor favorit bagi para investor dalam dekade pertama. Akan tetapi masalah utama yang harus dihadapi oleh Saudi untuk bisa satu level dengan Dubai adalah masalah layanan kesehatan, pendidikan dan liburan. Hal tersebut membutuhkan waktu yang tidak sedikit agar bisa menyamai Dubai.
Selama beberapa dekade terakhir ini, segala jenis perusahaan dari konsultansi, hukum hingga retailer, menjadikan Dubai atau Beirut sebagai pusat bisnis mereka.
Jika perusahaan tersebut memang harus menggeser HQ mereka ke Saudi Arabia, dapat dipastikan bahwa mereka hanya akan menaruh tiga atau lima orang saja disana. Artinya, 95% pegawai lainnya akan lebih memilih Dubai atau Beirut dengan alasan lifestyle, seperti kebebasan mereka dalam mengonsumsi alkohol.
Masalah gaji pastinya akan menjadi persoalan yang patut diperhitungkan. Seniro HRD tidak lagi menawarkan 30% atau 40% tambahan gaji karena calon pegawai tidak akan mau mengorbankan kenyamanan yang mereka dapat di Dubai, Beirut atau di tempat lainnya. Setidaknya, mereka harus menyiapkan gaji dua kali lipat terlebih jika calon pegawainya adalah orang-orang yang mumpuni dalam bidangnya serta berpengalaman.
MASALAH KEAMANAN
Masalah lainnya yang mengancam proyek besar ini adalah masalah keamanan. Houthi saat ini menjadi PR berat bagi Saudi. 6 tahun lebih invasi dilakukan namun hingga saat ini Saudi dan koalisinya tidak mendapatkan hasil apa-apa.
Eskalasi terbaru adalah dihantamnya fasilitas minyak Saudi di pelabuhan Ras Tanura dan sebuah kota yang terletak di timur Saudi; Dhahran.
Belum lagi jika Iran nekat untuk menyerang kawasan. Setelah Israel, Saudi adalah negara kedua yang paling mungkin akan menjadi sasaran amukan Iran.
Saudi juga harus membenahi reputasi politik luar negerinya yang sudah terjun payung akiibat kasus Jamal Khashoggi. Blokade atas Qatar juga menjadi nilai minus lainnya, disamping invasi Saudi ke Yaman, bagi raport reputasinya.
Untuk urusan dalam negeri, eksistensi penjara bintang lima Ritz Carlton bisa menjadi lampu merah untuk para investor jika ingin mendirikan HQ di negari petro dolar itu.
Bagaimana mungkin Saudi mengundang para investor dan perusahaan multinasional, sedangkan Ritz Carlton akan menjadi tempat peraduan mereka jika mereka bermasalah dengan keluarga kerajaan?
Mampukah Saudi merayu investor dan perusahaan yang sudah nyaman di Dubai atau ditempat lainnya untuk memindahkan kantor pusat mereka ke tanah hijaz itu? Kita tunggu saja.
Baca juga: Aramco Saudi Kembali Dirudal Yaman