Purna Warta – Satu surat kabar di New York dalam jurnalnya menulis, “Joe Biden sama seperti Donald Trump dalam melaksanakan kebijakannya atas Venezuela, Iran, Irak, Suriah, Palestina dan Haiti. Hal itu dikarenakan kedua partai Imperealisme Amerika (Republik dan Demokrat) berkhidmat kepada tuan yang sama.”
Margaret Kimberley, dalam analisanya di Eurasia Review (13/3), menjelaskan, “Joe Biden hanya memimpin 6 minggu, namun jalan politik luar negerinya sudah terang dari sekarang. Sangat jarang kami melihat politik internasional dengan warna arogansi yang tak kental dalam transisi satu pemerintah ke pemerintah yang lain. Tanpa loyalitas terhadap kelas penguasa, tidak ada satupun kandidat dari Demokrat maupun Republik yang akan menang.”
“Industri minyak, lembaga keuangan dan perusahaan-perusahaan yang bergabung dalam kompleks industri militer selalu memiliki agenda yang harus direalisasikan. Mereka menuntut peningkatan hegemoni Amerika Serikat, eksploitasi sumber alam dan uang untuk kantong mereka. Mereka menantikan para anak-anak perempuan dan lakinya di Kongres dan Gedung Putih mengerjakan proyeknya,” tambahnya.
“Joe Biden tidak terkecualikan dalam hal ini. Antony Blinken, Menteri Luar Negerinya hanya satu diantara orang-orang Barack Obama yang tersisa. Bahkan dirinya di periode transisi pemerintahan Donald Trump mengantongi banyak uang dengan memanipulasi jaringan privasinya. Dia adalah salah satu pendiri perusahaan konsultan strategis WestExec Advisors, satu perusahaan yang menyediakan akses dokumen kontraktor Pentagon (Kemenhan AS) kepada pelanggannya. WestExec adalah satu perusahaan konsultan, bukan perusahaan lobi dan tidak harus mengumbar rahasia pelanggan,” tegas Margaret.
Adapun Menhan Lloyd Austin, menurut pengamatan Margaret, adalah satu orang yang bergabung di perusahaan Pine Island Capital bersama Antony Blinken.
Pine Island Capital adalah satu perusahaan saham khusus yang memiliki jaringan dengan bidang pertahanan dan dirgantara.
“Yang diungkap ini bukan hanya sebuah pernyataan yang dibolak-balik, akan tetapi ini adalah satu informasi untuk memahami alasan kesinambungan politik luar negeri Amerika Serikat,” hemat Margaret.
Analis berdarah Amerika ini meneruskan, “Jelas-jelas Menlu Blinken menyatakan bahwa Juan Guaido adalah Presiden resmi pemerintahan Venezuela. Politik yang ditransfer dari pemerintahan Barack Obama ke Donald Trump adalah Venezuela dianggap ancaman tak lazim dan tak biasa untuk keamanan nasional dan politik luar negeri AS. Dan hal ini juga dipaparkan oleh pemerintahan Joe Biden tak lama ini. Pernyataan ini membuktikan bahwa sanksi, yang telah mengikat warga Venezuela untuk melakukan transaksi ekonomi dan keuangan, akan terus berlanjut. Bangsa ini tidak bisa mendapatkan obat-obatan, kondisi infrastruktur buruk dan di situasi ini, mereka hampir tidak akan mendapatkan listrik dan air minum.”
Dalam kelanjutan analisanya, Margaret Kimberley mengutuk kebijakan anti Iran, prasyarat dan tuntutan pemerintah Joe Biden kepada Tehran.
“Bahkan sekarang, pemerintah Joe Biden tidak menggubris politik Barack Obama. Donald Trump telah mengeluarkan Amerika dari JCPOA. Joe Biden beserta tim juga menuntut beberapa hal baru kepada Iran. Mereka menagih Iran untuk menghentikan pengayaan uranium. Padahal Iran adalah satu negara yang tepat janji. Iran memiliki kebebasan untuk melakukan apapun pasca AS keluar dari resolusi nuklir. Joe Biden terus memaksa untuk membicarakan kekuatan militer Tehran, padahal itu di luar dari resolusi JCPOA,” jelasnya.
Margaret Kimberley juga mengupas politik Joe Biden di Palestina dan rezim Zionis.
“Donald Trump memindahkan Kedubes AS ke al-Quds pendudukan atau Yerusalem. Satu langkah yang menunjukkan ketundukannya atas klaim Israel mengenai pendudukan tanah Palestina. Dan Joe Biden juga tidak mengambil keputusan yang berbeda. Majlis Senat AS menyuarakan 97 suara setuju Kedubaes menetap di Yerusalem, berbanding 3 suara penolakan. Sementara Kedutaan Besar Amerika tidak boleh berada di daerah tersebut,” jelasnya.
Kebijakan Joe Biden dan Donald Trump di Suriah juga tak luput dari sorot mata Margaret Kimberley dan menekankan, “Dia (Joe Biden) juga melakukan hal yang selaras dengan para pendahulunya, yaitu meningkatkan jumlah tentara di Suriah dan menjadikan negara tersebut sasaran rudal dan agresi. Hanya karena satu klaim bahwa jumlah serangan tidak sebanyak pemerintahan Donald Trump, mereka (pemerintah Joe Biden dan media pendukung) melaporkan bahwa mereka berhenti menyerang karena ada anak kecil dan perempuan. Klaim ini dalam pandangan orang-orang yang memperhatikan urusan ini termasuk propaganda dan mencurigakan. Kami selalu menantikan tipuan mereka terhadap sipil di setiap waktu dan kesempatan. Tidak ada jalan lebih baik dari satu dikte opini bahwa ada perbedaan antara pemerintahan Joe Biden dan Donald Trump. Padahal tidak ada bedanya.”
Margaret Kimberley juga menyebut Joe Biden dengan rasis dan mengutip pernyataannya pada tahun 1994 tentang Haiti.
“Haiti adalah contoh lain dari fakta yang ada. Joe Biden pada tahun 1994 dalam satu pernyataan yang terkenal setelahnya mengatakan, “Ini adalah pernyataan yang sangat buruk. Namun seandainya Haiti tenggelam tanpa keributan di laut Karibean atau lebih tinggi 300 kaki dari laut, ini bukanlah hal penting bagi kami.” Pernyataan Biden ini telah membongkar sifat rasis-nya, meskipun sudah ada usaha menepisnya. Haiti adalah salah satu dari rentetan kepentingan Amerika Serikat. Dan AS masih melanjutkan politik kuno dengan mengirim budak alatnya dalam pemerintahan Haiti, seperti Jovenel Moise. Seorang penguasa yang seharusnya menanggalkan kursi kedudukannya 7 Februari berasaskan UUD Haiti… 981 imigran sipil Haiti diusir dari Amerika pada bulan Februari 2021. Ini adalah kebijakan imigrasi Donald Trump. Sekali lagi terbuktikan bahwa mengharap perubahan AS adalah satu kebodohan,” jelasnya.
“Yang jelas pasukan AS masih berada di Irak, sedangkan ulang tahun ke-18 intervensi militer George W. Bush sudah mendekat. Lebih baiknya, kepada pemerintahan Bush, Obama, Trump dan Biden kami katakan. Konsensus elit tentang hubungan internasional lebih tinggi dari dua Presiden terakhir. Untuk memahami hal ini, tanyakanlah rakyat Haiti, Suriah, Iran dan Irak, kenapa mereka lebih banyak menjadi korban buruknya politik Amerika dari yang lain?,” akhirnya.
Baca juga: Lobi Yahudi di Amerika Serikat Sambut Baik Sanksi Pertama Biden Terhadap Iran