Tehran, Purna Warta – Sekilas, pesan tidak ingin perang Israel tersebut tampak seperti langkah positif menuju deeskalasi di kawasan yang selalu dilanda ketegangan. Namun di balik permukaan, pesan itu justru lebih mirip manuver terencana — mungkin tipu daya, sebuah strategi pengelabuan taktis.
Baca juga: Satu Tahun Sejak Yahya Sinwar, Simbol Abadi Perlawanan Gaza, Gugur di Medan Tempur
Pernyataan Putin itu datang beberapa bulan setelah perang agresi Israel selama 12 hari terhadap Iran.
Pada hari pertama perang yang tidak beralasan itu, pertengahan Juni, Israel membunuh sejumlah komandan militer senior dan ilmuwan nuklir Iran, hanya dua hari sebelum para diplomat Iran dijadwalkan menggelar putaran keenam pembicaraan tidak langsung dengan AS di Oman untuk mencapai kesepakatan nuklir.
Waktu serangan itu, yang jelas ditujukan untuk menggagalkan upaya diplomasi, menjadi alasan utama mengapa Iran tidak bisa — dan tidak akan — mempercayai pesan Israel begitu saja.
Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi menegaskan secara terbuka:
“Mereka (Israel) mengklaim tidak ingin perang baru dan konfrontasi dengan Iran,” ujarnya dalam wawancara dengan televisi nasional.
“Namun hal itu tidak memengaruhi perhitungan kami. Kemungkinan adanya tipu daya dari rezim tersebut tetap sangat tinggi.”
Para pemimpin Israel memang terkejut oleh kekuatan destruktif rudal balistik Iran, yang berhasil menembus sistem pertahanan udara berlapis-lapis dan menghantam kota-kota Israel dalam serangan balasan. Tetapi hal itu tidak berarti mereka berhenti menggunakan apa yang oleh para analis militer disebut sebagai “penipuan strategis.”
Iran tidak boleh mengubah sikapnya, melainkan harus menilai dari tindakan nyata Israel — gerakan militernya dan bukti di lapangan.
Rezim Zionis memiliki rekam jejak panjang menggunakan tipu daya strategis untuk meraih keuntungan taktis atas musuhnya.
Salah satu contohnya adalah serangan udara Israel pada 9 September yang menargetkan kepemimpinan Hamas di Doha, Qatar.
Baca juga: UNICEF: 90 Persen Rumah Rusak atau Hancur Akibat Perang
Serangan terang-terangan itu, yang menuai kecaman internasional luas, terjadi saat para pemimpin Hamas sedang membahas proposal gencatan senjata untuk Gaza yang diajukan oleh Amerika Serikat.
Israel, dengan dukungan AS, merencanakan serangan mendadak ketika tahu bahwa para pemimpin Hamas sedang tidak waspada. Siapa yang menyangka akan dibom saat sedang membahas proposal perdamaian yang dimediasi oleh sekutu utama penyerangnya?
Sama seperti pembicaraan gencatan senjata yang dijadikan pengalih perhatian, pesan Israel kepada Iran ini bisa jadi hanyalah tabir asap — sebuah tipuan taktis untuk membuat Iran merasa aman, sementara Tel Aviv bersiap melancarkan agresi berikutnya.
Pesan tersebut juga bertepatan dengan tercapainya kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas di Gaza, di mana lebih dari 68.000 warga Palestina telah gugur dalam dua tahun perang genosida yang menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza dan memaksa hampir seluruh penduduknya mengungsi.
Meskipun gencatan senjata membawa sedikit kelegaan bagi rakyat Palestina dan secercah harapan bagi kawasan, negara-negara tetangga — khususnya Iran — harus tetap waspada terhadap kemungkinan konspirasi baru Israel.
Lagi pula, siapa yang bisa mempercayai Benjamin Netanyahu, yang bahkan oleh banyak warga Israel sendiri dianggap menyebabkan perang Gaza berlarut-larut demi kepentingan politiknya?
Bagaimana Iran bisa mempercayai seseorang yang selama puluhan tahun menyebarkan kebohongan tentang program nuklir sipil Iran, serta memberi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) intelijen palsu untuk menyeret Amerika Serikat ke perang?
Sejak 1992, ketika masih menjadi anggota Knesset, Netanyahu sudah menuduh Iran hanya “tiga hingga lima tahun lagi” dari kemampuan membuat bom nuklir.
Peringatan itu telah ia ulang selama lebih dari tiga dekade.
Pada masa jabatan pertamanya sebagai perdana menteri (1996), ia menyebut aktivitas nuklir Iran sebagai ancaman utama bagi Israel dan keamanan global.
Beberapa tahun kemudian, di tengah invasi AS ke Irak, ia bersaksi di depan Kongres AS bahwa Iran, bukan Irak, merupakan bahaya sesungguhnya.
Pada periode keduanya, Netanyahu meningkatkan retorika, menyebut program nuklir Iran sebagai “ancaman terbesar bagi eksistensi Israel.”
Pada Sidang Umum PBB 2012, ia bahkan mengangkat gambar bom kartun untuk memperingatkan dunia bahwa Iran telah mendekati “garis merah” pengayaan uranium.
Ia menentang keras perjanjian nuklir 2015 (JCPOA) dan bahkan berpidato di hadapan Kongres AS tanpa persetujuan Gedung Putih, mengklaim bahwa kesepakatan itu “hanya membuka jalan bagi Iran untuk membuat bom.”
Belakangan, Netanyahu membujuk Donald Trump — yang ia sebut sebagai “sahabat terbaik Israel” — untuk menarik AS keluar dari JCPOA, dan terus menuduh Iran hanya tinggal “minggu atau bulan” dari memiliki senjata nuklir, sambil mendorong AS melancarkan serangan pencegahan.
Puncaknya terjadi pada Juni 2025, ketika Netanyahu meyakinkan Trump untuk ikut serta dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran, sebuah permintaan yang Trump kabulkan dengan cepat.
Selama lebih dari tiga dekade, Netanyahu tidak pernah berhenti berusaha menyeret AS ke dalam perang dengan Iran. Karena itu, perubahan sikap mendadak yang ia tunjukkan sekarang patut diragukan.
Pesan Israel bahwa mereka tidak menginginkan perang lebih lanjut bisa jadi hanyalah “jeda taktis” — kesempatan untuk membangun kembali sistem pertahanan yang rusak, memberi waktu istirahat bagi militer yang kelelahan, dan menstabilkan koalisi politik Netanyahu yang rapuh setelah dua tahun perang genosida di kawasan.
Para pemimpin militer Iran telah menyatakan kesiapan penuh menghadapi segala kemungkinan dan berjanji akan memberikan tanggapan yang menghancurkan terhadap setiap petualangan militer ceroboh yang dilakukan oleh rezim Zionis atau pendukung Baratnya.
Hamid Javadi adalah jurnalis senior dan komentator politik Iran yang berbasis di Teheran.