Purna Warta – Faisal bin Farhan, Menteri Luar Negeri Saudi, malam lalu menegaskan dalam konferensi press di Washington bahwa Riyadh telah mengadakan 4 pertemuan dengan Tehran. Tapi menurutnya pertemuan tersebut hanya pertemuan biasa tanpa kemajuan berarti.
Mengaktifkan kerjasama diplomatik Saudi-Tehran adalah keinginan Negeri Para Mullah, menurut pengakuan Menlu Saudi. Kepada surat kabar Amerika, Menlu Faisal menyatakan bahwa Saudi sedang menganalisa izin kepada Iran untuk membuka Kedubes di kota pelabuhan, Jeddah. Akan tetapi perundingan tidak memiliki perkembangan berarti untuk menghidupkan hubungan diplomatik ini.
Dunia warta menuliskan laporan bahwa Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Saudi, menyebut Iran sebagai negara militer ekstrim dan menutup semua pintu perdamaian dengan Tehran. Dan sekarang warta AS mengklaim bahwa saat ini MBS sedang mencari titik temu dan upaya diplomatis demi menyelesaikan perselisihan yang ada.
Para analis dan pakar politik meyakini bahwa banting setir Riyadh ini lebih disebabkan karena ketakutan mereka atas perubahan politik Gedung Putih dari pada politik asing Istana.
Di tengah perdebatan ini, Mustafa Munigh, salah satu jurnalis sekaligus Kepala percetakan al-Amal di Maroko, dalam catatannya di surat kabar Maghress menuliskan bahwa Kerajaan Saudi berupaya mengadakan pendekatan serius ke Republik Islam Iran secara diam-diam demi memasuki babak baru, kerjasama anyar dengan melupakan masa lalu yang penuh musibah mendalam.
“Akan tetapi Iran mengajukan syarat-syarat yang akan mencegah pion-pion Saudi,” tulisnya.
Jurnalis Maroko tersebut menjelaskan, “Riyadh meyakini bahwa syarat-syarat tersebut akan mengurangi pengaruhnya di Dewan Kerjasama Teluk Persia. Sementara target Saudi dalam upaya mendekati Iran dikarenakan keyakinan mereka akan dukungan AS yang akan segera berakhir. Sehingga diharuskan menemukan jalan baru untuk menstabilkan diri dalam kericuhan di periode berikut. (Karena) di masa depan, Saudi akan melihat koalisi baru yang akan menghancurkan persekutuan lama.”
“Arab Saudi ingin mengambil keuntungan dari persekutuan Mesir dan Turki. Akan tetapi Riyadh tidak memiliki persyaratkan yang bisa dibandingkan dengan intelijensi Kairo,” tambahnya.
Menurut penelusuran analis Maroko tersebut, Amerika Serikat berdiam diri di tengah situasi ini. Mereka menunggu hasil dari bantingan setir ini yang sedikit banyak menguntungkan. Karena Washington sedang bersiap untuk menghadapi China yang sekarang bergerak mendunia. Hal ini (gerak Saudi menuju Iran) tentu menguntungkan, paling tidak bisa menutup kekhawatiran-kekhawatiran partikal seperti Iran, kasus Lebanon, Jalur Gaza, Irak, Yaman, Bahrain, Suriah bahkan Saudi sendiri yang terkadang berhadapan dengan Turki, Rusia ataupun dengan tetangganya, Pakistan.
Dalam kelanjutan analisanya ini, Mustafa Munigh menjelaskan bahwa Mesir terus bergerak untuk menambah kepercayaan dirinya dengan Turki. Upaya ini dilakukan di tengah perubahan Ankara yang membangun penyulingan minyak di dalam kedaulatannya di perbatasan laut dengan Libya. Mesir benar-benar mengoperasikan strategi politik yang menyatakan ‘Rangkullah siapapun yang tidak bisa Anda kalahkan’. Ini adalah fakta Mesir dan mereka berhasil.