Tunis, Purna Warta – Perseteruan antara parlemen dan presiden Tunisia semakin mendalam; presiden Tunisia, Kais Saied, mengatakan pemilihan parlemen tidak akan diadakan dalam tiga bulan ke depan.
Keputusan tersebut disahkan beberapa jam setelah ia membubarkan parlemen yang dipilih secara demokratis. Hal ini telah menjerumuskan negara utara afrika ini ke dalam krisis politik dan ekonomi paling parah sejak revolusi 2011.
Juli lalu, ketika protes terkait korupsi, krisis ekonomi, dan penanganan pandemi meletus, Saied mulai menangguhkan parlemen, dan memberi dirinya kekuasaan luar biasa dan memecat perdana menterinya sendiri dan pejabat lainnya.
Baca Juga : Chaves Memenangkan Pemilu Presiden Kosta Rika
Pada saat itu, ia menerima dukungan dari banyak orang Tunisia, tetapi oposisi telah tumbuh sebelum ia menyebarkan kendalinya dan merebut lebih banyak kekuasaan.
Dalam upaya untuk menentang Saied, parlemen Tunisia pada Rabu memutuskan untuk bersidang kembali secara virtual.
Presiden berusaha untuk memblokir platform video online di seluruh negeri dalam upaya untuk menghentikan pemungutan suara yang menentang perebutan kekuasaan, tetapi gagal melakukannya.
Beberapa jam kemudian, dalam pidatonya, presiden Tunisia menuduh parlemen berusaha melakukan kudeta dengan intervensi asing dan mengumumkan bahwa dia membubarkan parlemen untuk melindungi pemerintah, institusi, dan rakyat Tunisia.
Baca Juga : Demo Anti-Pemerintah Bubarkan Kabinet Sri Lanka
Pada hari Jumat (1/4), Saied juga mengumumkan bahwa dia tidak akan mengadakan pemilihan dalam waktu tiga bulan dan sebaliknya akan bekerja untuk merancang sebuah konstitusi baru, yang akan dimasukkan ke dalam referendum pada 25 Juli, dan kemudian mengadakan pemilihan pada bulan Desember.
Rached Ghannouchi, ketua majelis dan ketua partai Nahda, mengatakan kepada Reuters bahwa setidaknya 20 anggota parlemen dari Nahda dan pihak lain telah dipanggil oleh unit anti-terorisme untuk penyelidikan.
Sampai Juli ketika Saied menangguhkan parlemen, Tunisia dipandang sebagai satu-satunya negara demokrasi yang muncul sejak musim semi Arab 2011, serangkaian pemberontakan rakyat yang melanda dunia Arab.
Saied, mantan profesor hukum tata negara, terpilih sebagai presiden Tunisia dengan suara telak pada 2019.
Baca Juga : Penembakan Massal Sacramento, 6 Tewas 12 Luka
Menurut para analis, krisis antara presiden dan parlemen telah meninggalkan demokrasi dalam bahaya di Tunisia.
“Tetapi yang jauh lebih penting, kondisi ini memberikan arti bahwa kebutuhan sosial dan ekonomi rakyat Tunisia yang nyata dan serius tidak terpenuhi karena tiada jalan yang jelas untuk ke depannya,” ungkap Sarah Yerkes, Anggota Senior di Carnegie Endowment for International Peace.
“Perekonomian lebih buruk di bawah kepemimpinan satu orang ala Kais Saied daripada di bawah Tunisia yang demokratis. Ketidakstabilan pun telah meningkat. Saied tidak bertindak demi kepentingan terbaik untuk Tunisia dan warga negaranya.”
Harga barang dan jasa dasar telah melonjak di seluruh negeri dan banyak bisnis tutup.
Awal bulan ini, serikat pekerja UGTT Tunisia yang kuat mengancam protes terhadap reformasi ekonomi yang didukung IMF dan jika mereka tidak dimasukkan dalam negosiasi mengenai masa depan politik dan ekonomi negara itu.
Baca Juga : Kepala Roscosmos: Sanksi Rusia Dapat Membahayakan Stasiun Luar Angkasa
Pemerintah Saied telah memulai pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF) mengenai perjanjian pinjaman yang akan memerlukan langkah-langkah penghematan seperti pemotongan subsidi dan batas upah sektor publik. Ini sudah ditolak oleh UGTT.
“Posisi eksternal Tunisia sudah dalam keadaan yang mengerikan. Dengan ketiadaan kesepakatan IMF, cadangan rendah, dan terkunci dari pasar modal global, semakin memperkuat pandangan lama kami bahwa pemerintah sedang menuju default,” Capital Economics, konsultan yang berbasis di London, mengatakan dalam sebuah catatan pada hari Rabu.
Namun, kepemimpinan serikat pekerja UGTT masih secara luas mendukung presiden dan keputusannya untuk membubarkan parlemen, yang dapat membantunya dalam beberapa hari mendatang.
Saied diketahui ingin membentuk demokrasi langsung yang melewati partai-partai politik yang menurut para analis adalah instruksi langsung dari buku pedoman diktator.
Baca Juga : Taliban Afghanistan Larang Penanaman Narkotika, Termasuk Opium
“Tidak jelas apa yang akan terjadi selanjutnya untuk Tunisia. Di satu sisi, Saied semakin kehilangan dukungan publik dan politik setiap harinya. Sejauh ini, dia belum menawarkan ide konkret tentang bagaimana mengatasi tantangan yang dihadapi rakyat Tunisia.” Yerkes memberi tahu TRT World.
“Tetapi di sisi lain, partai-partai oposisi dan kelompok masyarakat sipil tidak mampu membentuk koalisi luas yang mampu melawan tindakan Saied.”