Brussel, Purna Warta – Upaya Eropa dalam mempersiapkan energi untuk musim dingin tidak memberikan hasil yang diharapkan dimana negara-negara Arab menolak permintaan mereka.
Konsekuensi paling penting dari perang antara Rusia dan Ukraina, yang terjadi sebagai akibat dari ekspansionisme NATO di sepanjang perbatasan Rusia, adalah krisis energi global, yang memiliki dampak terbesar pada situasi negara Uni Eropa. Uni Eropa, yang memasok sebagian besar energinya dari sumber-sumber Rusia, terjebak pada malam musim dingin yang keras dan dingin, seolah-olah tidak ada negara yang dapat membantu Eropa mengatasi situasi ini. Negara-negara yang dapat mengurangi dampak krisis ini dan memiliki bantuan, tidak memiliki kemauan dan keinginan untuk berperan memberikan energinya. Lebih dari semua negara yang bisa menjadi pengganti yang baik untuk gas Rusia di Eropa, kita harus menyebutkan posisi dan kebijakan negara-negara Arab di Teluk Persia. Dengan strategi non-intervensi dalam krisis ini, negara-negara Arab tidak menanggapi permintaan Barat dengan baik dan meninggalkan Uni Eropa sendirian di tengah krisis besar.
Baca Juga : Penjualan Senjata Inggris ke Saudi
Secara umum kita bisa melihat bahwa:
- Setelah dimulainya operasi militer di Ukraina, Rusia secara bertahap mengurangi volume ekspor gasnya ke Uni Eropa, hal ini menunjukkan bahwa peringatan Moskow bukan hanya ancaman verbal.
- Sekarang ekspor gas Rusia ke Eropa telah benar-benar terputus, ketakutan dan kekhawatiran Barat telah menjadi kenyataan di musim dingin mendatang.
- Negara-negara Arab adalah tujuan pertama dan terpenting Uni Eropa untuk memenuhi kekurangan energi mereka, dan semuanya menyatakan penentangan dan ketidakmampuan mereka untuk menggantikan energi Rusia.
- Produsen gas di kawasan Asia Barat dan benua Afrika mengatakan “tidak” atas permintaan Uni Eropa untuk meningkatkan produksi energi, sehingga negara-negara barat dapat merasakan musim dingin yang dingin dan keras.
Baca Juga : Rezim Israel Tidak Tolelir Perdamaian dan Keamanan di Seluruh Dunia
Menilai situasi
Setelah enam bulan berlalu sejak awal konflik antara Rusia dan Ukraina, Moskow telah mengurangi ekspor gasnya ke Uni Eropa secara bertahap. Penurunan ini mencapai titik di mana perusahaan Rusia “Gazprom” mengumumkan pada malam Jumat (2/9) bahwa mereka telah sepenuhnya berhenti mengekspor gas ke Eropa melalui pipa Nord Stream 1.
Moskow mengurangi kapasitas ekspor gas Nord Stream 1 menjadi 40% pada bulan Juni dan meningkatkan angka ini menjadi 20% pada bulan Juli. Meskipun pihak berwenang Rusia telah menyatakan bahwa alasan penghentian ekspor gas dari Nord Stream 1 terkait dengan masalah pemeliharaan, tampaknya tindakan ini memiliki alasan politik-ekonominya sendiri dan Moskow bergerak maju selangkah demi selangkah.
Sementara negara-negara barat berusaha keras untuk menemukan alternatif yang cocok untuk gas Rusia, Moskow mengalami kondisi ekonomi yang relatif baik. Surat kabar Wall Street Journal menulis dalam sebuah laporan bahwa berkat peningkatan tajam dalam permintaan minyak dari beberapa ekonomi utama dunia, Rusia telah mampu meningkatkan volume ekspor minyaknya hampir ke tingkat sebelum diterapkannya sanksi Barat dan konflik militer dengan Rusia. Di sisi lain, kenaikan harga minyak di pasar dunia yang telah mencapai sekitar 100 dolar AS per barel menyebabkan pendapatan minyak Rusia meroket.
Sergey Okolenko, seorang ahli dan mantan manajer minyak Rusia, percaya bahwa kebutuhan dunia akan minyak adalah kenyataan dan tidak ada yang berani memboikot 7,5 juta barel minyak dan produk minyak Rusia per hari. Analisis membayangkan situasi Uni Eropa sekarang ini, dan bagaimana Barat akan melewati musim dingin.
Baca Juga : Rusia: Pentagon Akan Pindahkan Program Senjata Biologis dari Ukraina
Tampaknya Uni Eropa lebih mementingkan rakyatnya sendiri daripada status Kiev sebagai sekutu. Sejalan dengan keprihatinan ini, situs berita Rashatudi baru-baru ini melaporkan bahwa Menteri Energi Belgia Tin van der Straaten menyatakan bahwa jika para pemimpin UE tidak mengambil langkah segera untuk mengenakan batasan harga pada harga gas yang tidak terkendali, UE kemungkinan akan berada di tahun-tahun mendatang musim dingin pada situasi “horor”.
Dengan cara ini, kekhawatiran otoritas Eropa telah melampaui pada permasalahan energi di musim dingin dan seolah-olah Eropa takut akan musim dingin. Kekhawatiran Brussel telah meningkat sedemikian rupa sehingga upaya terpisah negara-negara Barat dan Amerika Serikat untuk mengatasi krisis ini hampir telah dilupakan, dan sekarang para menteri energi negara-negara anggota Uni Eropa telah meminta pertemuan darurat. Joseph Sikla, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Ceko, mengumumkan tujuan pertemuan ini adalah untuk memulihkan pasar energi dan mencapai solusi di tingkat Uni Eropa untuk krisis ini. Upaya untuk menemukan solusi terbatas di Uni Eropa karena upaya di luar negeri belum pernah berhasil sebelumnya.
Tempat pertama dan terpenting, dimana Barat mengharapkan energinya adalah Asia Barat dan terutama negara-negara Arab di kawasan itu. Upaya Barat untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara Arab dimulai dari Qatar. Enam bulan lalu dan pada awal konflik antara Moskow dan Kiev, Doha menjadi tuan rumah pertemuan keenam Majelis Negara Pengekspor Gas. Pertemuan ini bertanggung jawab untuk menggambarkan masa depan energi. Saat itu, ketika ketakutan dan kekhawatiran Barat tentang perang ini belum semakin dalam, Qatar didorong untuk memproduksi lebih banyak gas.
Tujuan dari permintaan tersebut adalah untuk melindungi Barat dari keputusan Moskow untuk menghentikan atau sepenuhnya memotong ekspor gas ke Uni Eropa. Tanggapan Qatar atas permintaan peningkatan produksi gas ini adalah negative. Dalam konferensi pers setelah pertemuan negara-negara pengekspor gas dengan Azghan, Saad Al Kaabi, Menteri Energi Qatar, menyatakan bahwa tidak ada negara yang saat ini dapat memasok jumlah gas yang diekspor oleh Rusia ke Eropa: “Sayangnya, kami orang Qatar juga memiliki jumlah ini Kami tidak memiliki gas alam cair, karena volume tinggi ini diperoleh dari dataran tinggi; Oleh karena itu, tidak mungkin saat ini menemukan alternatif untuk ekspor gas Rusia ke Eropa.”
Baca Juga : Kebenaran di Balik Pembunuhan Darya Dugina
Negara Arab kedua, yakni Saudi, dimana Presiden AS Joe Biden pernah menjalankan partisipasinya dalam pertemuan “Pembangunan dan Keamanan Jeddah” yang diadakan di Arab Saudi dengan kehadiran para kepala negara-negara Arab. Setelah perjalanan tiga hari Biden ke kawasan Asia Barat dan menghadiri pertemuan Jeddah.
Reuters menulis bahwa presiden Amerika Serikat meninggalkan Arab Saudi tanpa pencapaian apa pun mengenai pasokan bahan bakar yang dibutuhkan oleh Barat. Mohammad bin Salman dengan jelas mengatakan dalam pidatonya selama pertemuan Jeddah bahwa pemerintah Saudi telah meningkatkan produksinya menjadi 13 juta barel per hari dan tidak memiliki kapasitas produksi lagi. Di awal pertemuan Jeddah, putra mahkota Saudi menegaskan bahwa Riyadh seharusnya tidak diharapkan untuk mengimbangi kekurangan minyak di pasar dunia, karena “Arab tidak mampu meningkatkan produksi lebih banyak untuk memenuhi permintaan minyak dalam kondisi dari krisis energi global,” Kata Faisal bin Farhan, menteri luar negeri Arab Saudi. Pihaknya juga menyatakan dalam konferensi pers terakhir pertemuan ini bahwa 13 juta barel per hari adalah produksi maksimum yang dapat dilakukan Riyadh.
Baca Juga : Ketenangan Semu dan Rawan, Apa Agenda Gerakan Sadr Selanjutnya?
Upaya Washington dan Brussel untuk mencari alternatif lain gagal, dari Nigeria hingga Azerbaijan, dan akhirnya tiba di stasiun Aljazair. Pekan lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron pergi ke Aljazair untuk kedua kalinya mencoba peruntungannya dalam menarik bantuan di bidang energi. Selama kehadirannya di Aljazair dan di antara para jurnalis, sambil mengakui kebutuhan negara-negara Eropa untuk menggantikan gas Rusia, Macron mengklaim bahwa “masalah gas tidak menjadi alasan kunjungan saya ke Aljazair. Kami tidak mewakilil beberapa negara; Karena gas Aljazair adalah sesuatu yang dapat mengganggu kesepakatan. Namun demikian, dan sebelum Prancis, beberapa negara Eropa lainnya, termasuk Italia dan Jerman, mengalami perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke arah Aljazair. Sejauh ini media pemberitaan melaporkan, upaya Eropa untuk lebih dekat ke Aljazair berarti melupakan perseturuan Spanyol dan Maghreb. Perjalanan Macron dan giliran Eropa menuju Aljazair juga tidak berguna, selain daripada ingatan sejarah Aljazair tentang kekejaman penjajahan Barat yang dapat menghilangkan kemungkinan bantuan apa pun.
Perspektif
Kini, dengan kegagalan semua upaya Barat untuk menarik bantuan Arab di bidang energi, tampaknya para pemimpin Uni Eropa juga kecewa dengan perbaikan situasi dan tidak lagi mengharapkan bantuan negara-negara Arab.
Baca Juga : Kenangan Surat Imam Khomeini 1989 Saat Dunia Ucapkan Kata Perpisahan Kepada Gorbachev
Upaya negara-negara anggota UE baru-baru ini dalam mengadakan pertemuan intra-regional adalah tanda pertama dari perubahan pendekatan Barat dengan melihat kapasitas domestik. Tetapi sekarang negara-negara Arab belum menanggapi permintaan Eropa untuk meningkatkan produksi gas, tampaknya tidak mungkin bagi negara-negara ini untuk kembali normal dan pada akhirnya Eropa harus melalui musim dingin yang keras dan dingin ini sendirian tanpa bantuan.