Tehran, Purna Warta – Kehancuran melanda negara Suriah yang dilanda perang, gempa bumi dan sanksi Amerika Serikat telah memperparah kondisi negera tersebut.
Ghofran, seorang mahasiswa kedokteran berusia 26 tahun dari kota pelabuhan Latakia, Suriah, belum tidur atau makan sejak bencana gempa Senin (6/1) yang mengguncang sebagian besar negara itu dan telah meninggalkan jejak kematian dan kehancuran.
Sementara Ghofran beruntung bisa selamat, sahabatnya secara tragis menghembuskan nyawanya di bawah puing-puing bangunan tempat mereka tinggal.
Baca Juga : Pejabat Keamanan Tertinggi: Iran dan Rusia Tingkatkan Hubungan di Berbagai Bidang
Baca Juga : Jenderal Bagheri: Banyak Negara Antri untuk Beli Produk Pertahanan Iran
Berbicara secara eksklusif ke situs web Press TV melalui telepon, dia menceritakan kengerian hari “apokaliptik” (kehancuran dunia atau kiamat) ketika “semua tempat menjadi hancur”.
“Orang-orang trauma dan sanksi AS hanya memperburuk keadaan,” kata Ghofran dan menambahkan bahwa “orang menyaksikan orang yang mereka cintai meninggal karena kurangnya bantuan dan peralatan”.
Puluhan ribu orang saat ini mengungsi di tempat penampungan darurat sementara banyak yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan karena jumlah korban tewas terus meningkat.
Di Suriah, sebagian besar korban berada di barat laut negara itu, di kota-kota Aleppo, Hama, Latakia dan Tartus, menurut kantor berita negara SANA.
Gempa besar, dengan pusat gempa di negara tetangga Turki, terjadi pada dini hari Senin pagi dan diikuti oleh serangkaian gempa susulan berintensitas tinggi.
Sanksi membunuh teman-teman saya dua kali.
Apa yang menambah kesengsaraan orang-orang di tengah krisis kemanusiaan adalah sanksi AS yang melumpuhkan, menghambat dan menghalangi aliran bantuan ke negara Arab yang dilanda gempa.
Menteri Luar Negeri Suriah Faisal Mikdad dalam sambutannya pada Selasa mengatakan sanksi AS telah memperparah situasi di negara itu, mencegah pengiriman bantuan.
Ghofran mengakui bahwa situasinya “tak tertahankan”, dengan bencana alam dan sanksi yang kejam membuat hidup mereka sengsara.
“Tidak ada peralatan, tidak ada kendaraan, hampir tidak ada yang bisa membantu menyelamatkan teman saya dan orang lain yang terjebak di bawah tumpukan puing,” katanya kepada Press TV Website.
Baca Juga : Normalisasi Islamofobia dengan Dalih Kebebasan Berekspresi
Baca Juga : Moskow: Barat Membenarkan Agresinya Menggunakan Senjata Kimia
“AS membunuh rakyat saya, rakyat Suriah. Kapan dunia akan mengerti bahwa mereka perlu melakukan sesuatu tentang ini? Sampai kapan kita harus hidup di bawah sanksi dan menderita?”.
Ghofran mengatakan “sangat sulit” mengingat semua yang terjadi hari itu.
“Saya mendengar teman saya. Dia memanggil bantuan dari bawah reruntuhan, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya mulai mengangkat beberapa batu dengan tangan kosong dan meminta bantuan pada saat yang bersamaan. Saya mengalami gangguan saraf,” kenangnya.
“Teman saya meninggal, dengan saya berdiri tepat di atasnya, tak berdaya. Jika kita memiliki apa yang diperlukan untuk membawanya keluar, dia bisa selamat.”
Ghofran mengatakan kepada situs Press TV bahwa dia dan teman-temannya tetap shock, karena mereka tahu lebih banyak teman dan kerabat mereka masih terjebak dan berjuang untuk hidup mereka.
Mahasiswa kedokteran dan teman-temannya telah mencoba membantu di beberapa pusat medis, juga mendonorkan darah, atau melakukan apapun yang mereka bisa untuk menyelamatkan nyawa sebanyak mungkin.
Lebih banyak kehancuran di negara yang dilanda perang.
Sara, seorang jurnalis Suriah, berbicara kepada situs web Press TV dari salah satu zona perlindungan di Latakia dimana tempat orang-orang yang terkena dampak gempa tinggal sementara, dirinya mengatakan belum pernah menyaksikan “bencana alam yang menghancurkan” selama 11 tahun aktivismenya.
“Itu telah menambah lebih banyak kehancuran ke negara yang sudah hancur itu,” katanya, menggambarkan situasi saat ini sebagai “bencana”.
“Orang-orang trauma, bantuan terlalu sedikit untuk menutupi kebutuhan mereka dan situasinya sangat menyakitkan,” katanya. “Anak-anak itu menghancurkan hatiku, kamu bisa melihat trauma di mata mereka.”
Wartawan itu mengatakan paramedis dan petugas pemadam kebakaran setempat berusaha membantu, tetapi skala dan besarnya bencana itu sangat besar dan membutuhkan lebih banyak penyelamat, terutama dalam cuaca dingin.
“Alhamdulillah saya sendiri tidak terkena gempa, tapi saya melihatnya dengan mata kepala sendiri,” ujarnya tanpa makanan atau air selama berhari-hari.”
Baca Juga : Seymour Hersh: Angkatan Laut AS Membom Pipa Gas Nord Stream
Baca Juga : Anggota Parlemen AS Serukan Tindakan Keras Terhadap Program Pesawat Tak Berawak Iran
AS mengeksploitasi bencana Suriah.
Orang-orang di Suriah, melintasi garis sosial dan ekonomi, terkena dampak langsung atau tidak langsung dari gempa bumi yang terburuk dalam beberapa dekade.
“Jutaan orang tidak hanya menjadi korban gempa tetapi juga mengalami rasa sakit yang luar biasa, melihat orang yang mereka cintai di bawah reruntuhan sementara mereka berdiri tak berdaya dan dunia menyaksikan dalam diam,” kata aktor Suriah Maen Abdel Haq kepada situs Press TV.
Dia mengatakan rakyat Suriah menyadari apa yang sedang terjadi dan mereka menyadari bahwa AS tidak hanya acuh tak acuh terhadap penderitaan mereka tetapi juga mempersenjatai bencana alam terhadap mereka.
Hiba Morad adalah seorang akademisi dan analis politik yang berbasis di Tehran, saat ini sedang mengejar gelar PhD dalam bidang linguistik di Universitas Tehran.