Pengaruh AS di Timur Tengah Semakin Digantikan China, Bagaimana Bisa?

Oleh: Marwan Muasher*

Purna Warta – Akhirnya “momen unipolar” Amerika cepat atau lambat pasti akan berakhir. Di saat dirinya bukan lagi menjadi satu-satunya negara adidaya, pengaruhnya di Timur Tengah juga akan berkurang. Hal itu semakin dipercepat dengan perubahan cepat dalam apa yang telah lama menjadi tiga pilar kebijakan Amerika di kawasan itu: stabilitas, Israel, dan energi.

Mari kita mulai dengan stabilitas. Telah terbukti bahwa perdamaian Amerika (Pax Americana) telah gagal. Amerika sudah lelah menerapkannya, dan negara-negara Arab juga lelah memaksakannya pada mereka sehingga yang ada malah mereka menderita kerugian besar. Lebih dari dua dekade upaya perdamaian Israel-Palestina yang gagal, perang yang membawa bencana di Irak dan preferensi Amerika untuk kesepakatan nuklir dengan Iran atas kepentingan negara-negara Arab telah membuat Amerika Serikat dan mitra Arabnya semakin terpisah dari sebelumnya.

Invasi ke Irak adalah kesalahan yang sangat besar. Publik Amerika dijanjikan perang singkat dan biaya rendah karena dibiayai oleh negara-negara Teluk dengan tujuan mengambil senjata pemusnah massal dari tangan seorang pemimpin tiran. Presiden George W. Bush mengatakan, “membangun demokrasi yang langgeng yang damai dan sejahtera, dan menjadi contoh bagi Timur Tengah yang lebih luas”. Alih-alih janji-janji fantastis ini ditepati (yang didasarkan atas informasi yang salah dan terlalu percaya diri), dunia dihadapkan pada kenyataan yang pahit. Perang ini membuat Amerika rugi triliunan dolar dan ribuan tentara mereka terbunuh. Efek dari kegagalan di Irak (dan Afghanistan) membuat orang Amerika semakin skeptis terhadap petualangan militer di luar negeri, dan keterlibatan global secara umum.

Bagi kebanyakan orang Arab, invasi ke Irak merupakan bentuk campur tangan serius dalam urusan mereka dan pelanggaran terhadap kedaulatan mereka, bahkan martabat mereka. Mereka tidak menganggap Saddam Hussein sebagai diktator brutal, tetapi sebagai seseorang yang ingin mengembalikan martabat dunia Arab: sebuah tujuan biasa, tetapi dihancurkan oleh perang Amerika. Dalam pandangan mereka, Washington tidak akan pernah membiarkan ada negara Arab memiliki kekuatan yang cukup besar.

Sementara itu Amerika gagal menyelesaikan masalah konflik Israel-Palestina. Protes besar-besaran Musim Semi Arab pada tahun 2011 membuktikan kepada semua orang, termasuk Amerika, bahwa menjaga stabilitas regional tidak dapat dijalankan meskipun mendapat dukungan dari otokrat penindas yang bersahabat dengan Barat (tidak termasuk Saddam). Intervensi yang lebih terbatas di Libya dan Suriah, yang sebagian besar berusaha bekerja melalui proxy lokal, juga terbukti sia-sia dalam menciptakan kestabilan.

Menghadapi banyak kegagalan ini, Amerika Serikat angkat tangan. Seperti yang dikatakan oleh Presiden Barack Obama saat itu dalam sebuah wawancara dengan Atlantik pada tahun 2016, “Kami menghindari korban sipil berskala besar, kami mencegah apa yang hampir pasti akan menjadi konflik sipil yang berkepanjangan dan berdarah. Dan terlepas dari semua itu, Libya telah hancur.” Penerusnya—baik Donald Trump dan Joe Biden—telah punya keinginan yang sama. Mereka ingin keluar dari semua pertempuran ini.

Perselisihan utama mereka adalah tentang bagaimana menangani Iran. Trump meninggalkan kesepakatan nuklir yang dicapai Obama tahun 2015, dan menyukai kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran; Biden berusaha untuk menghidupkan kembali kesepakatan itu. Banyak negara Teluk merasa bahwa, untuk mencapai kesepakatan nuklir, Amerika telah mengabaikan campur tangan Iran yang berkelanjutan dalam keamanan dan stabilitas kawasan.

 

Tampaknya tidak ada presiden Amerika yang siap menerima kebijakan alternatif: upaya kompleks untuk mendukung proses reformasi serius di dunia Arab. Lebih buruk lagi, dalam 20 tahun terakhir Amerika terjebak dalam kebijakan “unfinished business” di Timur Tengah. Mereka memulai intervensi, gagal mencapai tujuannya, lalu buru-buru pergi—dan meninggalkan kekacauan bagi orang-orang Timur Tengah untuk mencoba memperbaikinya, atau menjalaninya. Penarikan diri dari Afghanistan adalah contohnya. Orang-orang Afghanistan, termasuk mereka yang berpihak pada Amerika Serikat, dibiarkan hidup di bawah Taliban.

Pilar kedua kebijakan Amerika di Timur Tengah adalah Israel. Selain masalah intervensi AS di Timur Tengah yang tak memberikan hasil, AS juga gagal dalam mewujudkan “proses perdamaian” antara Israel dan Palestina. Pengawasan Amerika terhadap negosiasi telah gagal untuk mengakhiri pendudukan Israel. Lebih buruk lagi, itu telah memberi Israel kedok untuk memperkuat pendudukan dan membangun bentuk apartheid—dua sistem hukum yang terpisah dan tidak setara untuk Israel dan Palestina. “Kesepakatan abad ini” Trump—di mana ia memindahkan kedutaan Amerika ke Yerusalem, yang pada dasarnya memberi lampu hijau pencaplokan kota oleh Israel, dan menetapkan rencana perdamaian yang menyangkal impian kemerdekaan Palestina—adalah bukti lebih lanjut kepada publik Arab bahwa Amerika Serikat tidak hanya mengabaikan kepentingan mereka, bahkan berupaya untuk melemahkan mereka.

Namun aliansi Amerika dengan Israel, dengan cepat mengalami perubahan. Dengan merangkul Trump, mantan perdana menteri Israel yang sudah lama menjabat, Benjamin Netanyahu, mempercepat polarisasi pandangan orang Amerika tentang Israel. Apa yang dulunya merupakan masalah kesepakatan bipartisan yang mudah telah menjadi front yang kontroversial dalam perang budaya Amerika. Rencana perdamaian Trump (Kesepakatan Abad Ini) dimaksudkan untuk menarik para pendukung dari kalangan evangelis. Mereka percaya bahwa memberikan tanah yang dijanjikan Tuhan kepada orang Israel akan mempercepat akhir dunia. Di sisi lain, pendudukan abadi Israel telah menyebabkan generasi baru orang Amerika mempertanyakan komitmen tangan besi Washington untuk Israel. Sebuah jajak pendapat pada tahun 2018 untuk University of Maryland menemukan bahwa jika solusi dua negara terbukti tidak mungkin, 64% orang Amerika akan memilih kesetaraan penuh untuk Palestina daripada kelanjutan keberadaan Israel sebagai negara Yahudi.

Penyelarasan kembali Amerika ini didorong oleh pilar ketiga: kemandirian energi yang tumbuh. Impor energi bersih Amerika Serikat mencapai puncaknya pada tahun 2005 sekitar 30% dari total konsumsi. Namun berkat perkembangan fracking, yang meningkatkan kapasitas ekstraksi gas dan minyak, Amerika pada 2019 telah berubah menjadi pengekspor energi bersih. Amerika masih mengimpor beberapa minyak mentah, tetapi pangsa dari kartel OPEC (didominasi oleh negara-negara Arab) telah turun dari 85% sampai 14%. Amerika sudah tidak buth lagi mengamankan dan melindungi pasokan dari produsen Timur Tengah. Memang, banyak dari sekutunya masih bergantung pada mereka, tetapi pengaruh apa pun yang pernah diberikan negara-negara Arab penghasil minyak terhadap Amerika sudah melemah.

Perubahan kondisi pasar energi, ditambah dengan kekecewaan terhadap kebijakan Amerika oleh orang-orang Arab dan lainnya, mengakibatkan negara-negara lain mulai mengisi kekosongan. Rusia, Turki dan Iran telah turun tangan, khususnya di Suriah, dan juga di tempat lain. Uni Emirat Arab, Bahrain dan, secara implisit, Arab Saudi telah menjalin hubungan lebih dekat dengan Israel untuk menyaingi Iran. China telah memutuskan untuk melenturkan kekuatannya melalui cara-cara ekonomi, menuangkan dana yang signifikan ke kawasan itu untuk semua yang mau menerimanya.

Hanya saja, menurunnya pengaruh Amerika tidak membuat jalan menuju stabilitas dan kemakmuran menjadi lebih mudah. Meskipun mungkin tidak banyak keberhasilan yang diraih Amerika di Timur Tengah, tetapi tidak ada jaminan mereka yang sekarang berlomba-lomba untuk mendapatkan pengaruh di sana akan berbuat lebih baik.

Perubahan yang ditimbulkan oleh pasar minyak, Musim Semi Arab, dan meluasnya penggunaan media sosial berarti bahwa alat lama negara-negara Arab untuk menjaga perdamaian sosial seperti keamanan keras, subsidi, dan pekerjaan sektor publik, sudah melemah. Mereka berusaha untuk bertahan dengan bersandar pada taktik represif yang jelek. Itu hampir tidak menimbulkan perasaan hangat di antara calon pendukung atau mitra di Barat. Rusia, Cina, dan Turki semuanya memiliki kecenderungan otoriter, dan hampir tidak dapat diharapkan untuk berusaha membuka sistem Arab secara politik, sosial atau ekonomi.

Namun mencapai stabilitas di dunia Arab membutuhkan hal itu. Penguasa membutuhkan alat baru: inklusi, kewarganegaraan yang setara, dan sistem ekonomi berbasis prestasi yang menjanjikan perdamaian sosial dan kualitas hidup yang lebih baik. Perubahan seperti itu tidak bisa datang dari penyelarasan kembali dengan China, mengandalkan Rusia atau aliansi dengan Israel. Ini hanya dapat dicapai melalui proses reformasi yang serius dan bertahap di dalam negeri. Dengan mundurnya Amerika dari Timur Tengah, tugas itu selanjutnya harus lebih banyak dibebankan pada negara-negara Arab sendiri. Para penguasa Arab perlu memahami bahwa reformasi sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka, dan penduduk Arab perlu menggunakan cara-cara damai untuk membela hak-hak mereka dengan lebih tegas.

____________

* Marwan Muasher adalah wakil presiden untuk studi di Carnegie Endowment for International Peace di Washington, DC. Dia adalah menteri luar negeri Yordania pada 2002-04 dan wakil perdana menteri pada 2004-05. Dia adalah penulis “The Arab Center: The Promise of Moderation” (Yale University Press, 2008) dan “The Second Arab- Awakening and the Battle for Pluralism” (Yale, 2014).

Tulisan ini diterjemahkan dari artikel berjudul America’s declining influence in the Arab world yang dirilis pada 26 Agustus 2021 di situs economist.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *