Johannesburg, Purna Warta – Drama yang terjadi di Bandara OR Tambo, Johannesburg, Afrika Selatan, yang melibatkan warga Palestina dari Jalur Gaza yang diduduki, telah mengarah pada satu kesimpulan tak terbantahkan: bahwa pengungsian paksa yang direkayasa oleh rezim Israel berada di balik peristiwa tersebut.
Baca juga: Rencana ‘Perdamaian Gaza’ Dukungan AS Singkirkan Palestina dan Kemas Ulang Pendudukan Israel
Seperti yang telah diperkirakan, insiden ini tidak hanya memicu liputan media yang luas, tetapi juga—secara memalukan—upaya Israel dan barisan propagandisnya yang kaya sumber daya untuk memutarbalikkannya sebagai “pengasingan sukarela”.
Namun, akan keliru jika mengabaikan kampanye yang selama puluhan tahun dilakukan rezim kolonial pemukim di Tel Aviv untuk membersihkan Palestina dari rakyat Palestina—dengan cara apa pun.
Sebagai contoh, sebuah rencana rahasia tahun 1969 untuk memaksa warga Gaza bermigrasi ke Paraguay diungkap pada tahun 2020.
Saat itu, rencana tersebut dinegosiasikan oleh badan intelijen Mossad dengan diktator Paraguay sekaligus simpatisan Nazi, Alfredo Stroessner. Meskipun rencana itu menyerukan pemindahan 60.000 warga Palestina ke negara Amerika Selatan tersebut, pada akhirnya hanya 30 orang yang benar-benar berpindah.
Dalam konteks saat ini, penting untuk mencermati laporan-laporan yang mengungkap munculnya perpecahan tajam dalam kabinet perang Israel mengenai nasib warga Gaza yang tersisa setelah perang.
Inti perdebatan adalah kebijakan pembersihan etnis, metode pelaksanaannya, serta kedok palsu berupa “migrasi sukarela”.
Sayangnya bagi mereka, insiden di Afrika Selatan justru berbalik arah. Dan alasannya jelas.
Nour Odeh dari Al Jazeera, melaporkan dari Amman, Yordania, menyatakan bahwa kecil kemungkinan warga Palestina tersebut dapat pergi tanpa “koordinasi Israel”.
Baca juga: Hamas Bantah Klaim Israel Soal Target Serangan Udara yang Tewaskan 14 Orang di Lebanon
“Tidak seorang pun dapat mendekati garis kuning imajiner itu [di Gaza] tanpa ditembak. Orang-orang ini harus diangkut dengan bus melewati garis kuning, melalui 53 persen wilayah Gaza yang masih dikendalikan dan dioperasikan oleh tentara Israel, keluar dari Gaza, melalui Israel menuju Bandara Ramon,” jelasnya.
Penyelidikan lebih lanjut mengungkap bahwa Israel telah menetapkan Bandara Ramon sebagai titik keberangkatan. Hal ini berkaitan dengan rencana kontroversial Donald Trump untuk mengosongkan Gaza dari penduduknya.
Menurut laporan media Israel, Menteri Urusan Militer Israel Katz dalam sebuah pengarahan militer pernah memaparkan rencana pemindahan warga Palestina keluar dari Gaza.
Meskipun gagasan memindahkan lebih dari 2 juta penduduk Gaza telah ditolak banyak negara, Israel tetap tidak mundur.
Dari informasi yang diperoleh berbagai media, tentara Israel teridentifikasi terlibat langsung dalam proses tersebut, bersama entitas misterius bernama Al Majd, untuk mendepopulasi Gaza.
Demi keperluan pembersihan etnis, tentara pendudukan Israel telah membangun lima jalur penyeberangan darat dari Gaza menuju Ramon yang akan digunakan.
Bekerja sama dengan Al Majd dan IDF, warga Palestina diangkut dengan bus dari Gaza menuju Bandara Ramon, 250 kilometer ke selatan, yang berlokasi di zona militer Laut Merah, Eilat.
Berlawanan dengan kebohongan menjijikkan yang disebarkan para apologis Israel, Itamar Mann, profesor hukum di Universitas Haifa, menilai memprihatinkan bahwa Israel mungkin memanfaatkan situasi kritis Gaza untuk mengusir warga Palestina yang rentan secara paksa.
“Terlihat seolah-olah mereka sedang ‘disapu keluar’ dari Gaza,” ujar Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, yang telah menugaskan otoritas terkait untuk menyelidiki secara menyeluruh kondisi yang melatarbelakangi insiden di OR Tambo.
Kejelasan disampaikan pula oleh Menteri Hubungan Internasional Afrika Selatan Ronald Lamola yang menegaskan bahwa penerbangan tersebut merupakan bagian dari “agenda yang jelas untuk membersihkan warga Palestina dari Gaza dan Tepi Barat (yang diduduki)”, menepis anggapan apa pun mengenai “migrasi sukarela”.
Oroub al-Abed dalam Middle East Monitor mencatat bahwa selama puluhan tahun, Israel Zionis telah menjalankan metode sistematis untuk mencerabut warga Palestina.
“Kekerasan terbuka—pemboman, blokade, dan penghancuran rumah—hanyalah yang paling terlihat. Namun mesin pengusiran yang lebih halus tidak pernah berhenti. Ia bekerja secara senyap, melalui kelelahan psikologis, pembatasan birokratis, dan mobilitas yang dikontrol.”
Bahaya yang disoroti al-Abed adalah bahwa secara birokratis, warga Palestina terancam kehilangan identitas hukum mereka, karena tanpa bukti keberangkatan, hak mereka untuk kembali bisa lenyap.
Rencana Israel saat ini tidak berbeda dari sejarah tipu dayanya. Secara politik, ia menandai pergeseran mengerikan dari pengepungan menuju penghilangan—kelanjutan pembersihan etnis melalui cara administratif.
Iqbal Jassat adalah anggota eksekutif Media Review Network, Johannesburg, Afrika Selatan.


