Purna Warta – Pimpinan Hizbullah mati syahid dalam serangan udara brutal Israel di daerah permukiman padat penduduk di pinggiran Dahiyeh, Beirut, pada Jumat malam, 27/09/2024. Sayyid Hasan Nasrallah yang populer dalam gerakan perlawanan Lebanon ini menjadi korban pembunuhan menggunakan bom setelah Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berpidato di hadapan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Baca juga: Perusahaan Keamanan Maritim Inggris Laporkan Insiden Maritim di Perairan Yaman
Penggunaan Bom yang Dilarang
Tentara Israel menggunakan puluhan bom penghancur bunker buatan Amerika selama serangannya di Dahiyeh. Penggunaan bom semacam itu telah dilarang oleh Konvensi Jenewa di wilayah padat penduduk karena memiliki potensi menimbulkan banyak korban sipil.
Jet tempur super canggih jenis, F-15i Israel menjatuhkan bom yang dilengkapi dengan setidaknya 15 amunisi seberat 2.000 pon, dilengkapi dengan sistem panduan presisi buatan Amerika, menurut seorang analis yang dikutip oleh New York Times. Sementara kantor Netanyahu juga menyebarkan foto perdana menteri di New York yang sedang menggunakan telepon rumah untuk menyetujui serangan tersebut, sesuai laporan media AS itu.
Kejahatan yang Mengerikan
Pada Sabtu pagi hari, 28/09/2024, Perdana Menteri Israel mengungkapkan bahwa ia memerintahkan langsung pembunuhan pimpinan Hizbullah, tindakan yang dianggap sebagai kejahatan mengerikan.
“Melenyapkan Nasrallah adalah syarat penting untuk mencapai tujuan yang telah kami tetapkan, yaitu mengembalikan penduduk utara ke rumah mereka dengan aman dan mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut selama bertahun-tahun,” ujar Netanyahu, yang biasa dipanggil Bibi.
Puluhan ribu orang mengungsi di Israel utara dan Lebanon selatan di tengah baku tembak antara Israel dan Hizbullah sejak 8 Oktober 2023. Konflik ini terjadi sehari setelah Israel melancarkan perang di Gaza, yang sejauh ini telah menewaskan lebih dari 41.500 warga Palestina.
Netanyahu pada awal bulan ini menyatakan bahwa memulangkan orang-orang yang dievakuasi ke Israel utara adalah tujuan resmi perang.
Sisi lain gerakan perlawanan Lebanon menyatakan bahwa mereka akan menghentikan serangan jika ada gencatan senjata di Gaza. Namun, Netanyahu tidak hanya menggagalkan perundingan yang bertujuan untuk mengakhiri perang di Gaza, tetapi juga memerintahkan kampanye pengeboman besar-besaran di Lebanon yang dimulai seminggu lalu sebelum membunuh Sayyid Hassan Nasrallah. Ratusan orang di Lebanon telah kehilangan nyawa mereka dalam serangan Israel sejauh ini.
Kolusi Kriminal
Tidak mengherankan jika Amerika Serikat tidak mengecam Israel atas pembunuhan ratusan orang di Lebanon atau atas pembunuhan Sayyid Hassan Nasrallah, yang partainya merupakan salah satu faksi politik terkemuka di parlemen Lebanon.
Presiden AS Joe Biden, yang tentaranya telah menyebabkan kematian jutaan warga sipil di Afghanistan, Irak, dan Suriah, dengan enteng menyebut pembunuhan Nasrallah sebagai “bentuk keadilan bagi banyak korbannya, termasuk ribuan warga Amerika, Israel, dan warga sipil Lebanon.”
Baca juga: ‘Legenda Telah Lahir’: Pemimpin Kristen Lebanon Berduka atas Kematian Nasrallah
Biden juga dengan tegas memperkuat dukungannya terhadap Israel. Sementara ironisnya, Amerika Serikat menolak keterlibatan apa pun dalam pembunuhan tersebut. Hal yang tidak masuk akal untuk menganggap bahwa Tel Aviv dapat melancarkan serangan di Beirut tanpa adanya koordinasi dengan Washington.
Sejak lama Amerika Serikat, bersama dengan beberapa sekutu Barat dan regional, menentang Hizbullah dan telah merancang strategi untuk mengeluarkan kelompok tersebut dari panggung politik Lebanon dan mengurangi pengaruhnya. Namun, upaya ini terbukti tidak efektif karena Hizbullah terus memperoleh dukungan kuat dan semakin besar dari rakyat Lebanon atas penentangannya terhadap pendudukan dan agresi Israel.
Pendirian Hizbullah
Israel menginvasi Lebanon pada bulan Juni 1982, yang konon sebagai respons terhadap serangan yang dilancarkan oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Lebanon selatan. Israel kemudian menduduki wilayah selatan dan melanjutkan serangannya hingga Beirut Barat, tempat di mana PLO bermarkas pada waktu itu, yang kemudian kelompok ini dikepung oleh tentara Israel. Beberapa kelompok Lebanon termasuk Hizbullah, kemudian dibentuk untuk menanggapi invasi tersebut. Akhirnya, Hizbullah berhasil mengusir tentara Israel pada tahun 2000, mengakhiri pendudukan zionis setelah hampir 20 tahun mencengkram Lebanon.
Warisan Nasrallah
Nasrallah dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh di kawasan ini, dia memainkan peran penting dalam mengubah Hizbullah menjadi kekuatan militer dan politik yang besar. Pemimpin karismatik ini, yang berusia 64 tahun saat dibunuh, telah memimpin Hizbullah sejak pembunuhan pendahulunya, Sayyid Abbas al-Mousawi, pada tahun 1992.
Al-Mousawi syahid akibat serangan rudal dari helikopter Israel saat ia berkendara bersama istri dan putranya yang berusia 6 tahun di sebuah jalan di wilayah Bekaa, Lebanon timur, pada tanggal 16 Februari 1992. Ia menjadi sekretaris jenderal gerakan perlawanan Hizbullah pada bulan April 1991.
Ilusi Israel
Israel berada dalam ilusi bahwa pembunuhan Nasrallah akan mengakibatkan penghapusan Hizbullah. Israel juga membunuh al-Mousawi dengan kesalahpahaman yang sama. Namun, Nasrallah berhasil mengubah gerakan tersebut menjadi kekuatan politik dan militer yang lebih kuat.
Saat ini, Hizbullah memiliki sekitar 100.000 pejuang. Mereka telah meningkatkan persediaan rudalnya dari 14.000 pada tahun 2006 menjadi sekitar 150.000, serta mengembangkan rudal ber-pemandu presisi dan program pesawat nir-awaknya. Israel melancarkan perang terhadap Lebanon pada tahun 2006, tetapi Hizbullah memaksa tentara rezim zionis tersebut mundur setelah 34 hari perang.
Pada tahun 2008, Israel juga membunuh pemimpin militer Hizbullah, Imad Mughniyeh, di Suriah. Namun, gerakan tersebut justru semakin menguat dalam tahun-tahun berikutnya. Bahkan Israel telah membunuh sejumlah pemimpin dan komandan perlawanan regional lainnya dalam upaya untuk melumpuhkan gerakan mereka. Tapi sebaliknya, kebijakan zionis ini justru menjadi bumerang.
Baca juga: Hizbullah Kini Berbeda dengan Tahun 2000
Sebelumnya, Israel membunuh Sheik Ahmad Yassin, pendiri Hamas, pada akhir tahun 1987 setelah pecahnya Intifada (pemberontakan) Palestina pertama. Pemimpin spiritual Hamas ini terbunuh pada tanggal 22 Maret 2004, bersama sembilan orang lainnya di Gaza. Ia dengan tegas membela hak rakyat Palestina untuk melawan pendudukan Israel dan sering mengkritik Otoritas Palestina karena mengabaikan opsi perlawanan bersenjata dalam menghadapi rezim pendudukan zionis. Yassin terpaksa menggunakan kursi roda setelah mengalami cedera yang dialaminya saat berusia 12 tahun.
Israel percaya bahwa pembunuhan Yassin tersebut akan membawa keberuntungan dan pemusnahan Hamas. Namun, Serangan Badai al-Aqsa, pada 07 Oktober 2023 di Israel selatan, menunjukkan bahwa tindakan tersebut justru memperkuat warga Palestina dan memotivasi mereka untuk melawan pendudukan Israel.
Untuk saat ini, Israel boleh bernafas lega, namun pembunuhan Nasrallah memiliki konsekuensi luas dan berbahaya bagi Israel. Entitas penjajah ini harus menyadari dari berbagai pengalaman sebelum-sebelumnya, bahwa Hizbullah akan semakin kuat dan akan memberikan pukulan telak kepada penjajah. Hal yang sangat berpotensi untuk mengancam eksistensi dan keberlanjutan entitas zionis di kawasan. [MT]