Oleh: Haryati*
Tiba-tiba dunia ‘dipaksa’ buat tahu siapa Mahsa Amini. Seorang gadis Kurdi Iran 22 tahun yang sesaat sebelum dilarikan ke rumah sakit karena mendadak tidak sadarkan diri tidak pernah menjadi perbicangan publik. Namanya mendadak viral, begitu fotonya yang terbaring koma di RS tersebar di dunia maya. Diisukan dia sekarat karena perlakuan keras aparat kepolisian Iran yang menangkapnya karena melanggar aturan berjilbab yang diterapkan di negara itu. Begitu dinyatakan meninggal dunia pada Jumat (16/9) dunia seolah terguncang. Media-media mainstream internasional segera memberitakannya. Hanya dalam hitungan hari, dalam pencarian Google jika ketik Mahsa Amini, ada 40 juta hasil yang ditampilkan. Aksi solidaritas terhadap Mahsa Amini merebak dimana-mana, bukan hanya di Iran, namun juga disejumlah negara lainnya. Penerapan aturan berjilbab di Iranlah yang diklaim merenggut nyawa gadis Kurdi tersebut.
Situs berita dan akun-akun media-media sosial di tanah air dengan mengambil sumber dari media-media mainstream internasional menarasikan kematian Mahsa Amini karena korban kekerasan aparat kepolisian karena tidak mengenakan jilbab sesuai aturan, tidak terkecuali Akun Magadalene dan Jurnal Perempuan. Netizen pun ramai memberi komentar; bahwa tidak semestinya cara berpakaian diatur oleh negara. Aturan Islam yang diterapkan Iranpun menjadi sorotan. Tidak sedikit yang kemudian mengecam Iran dan menuntut rezim ulama di Iran memberi kebebasan kepada warga perempuan Iran untuk bebas tidak menggunakan jilbab. Netisen beralasan, membuat sesuatu dengan paksa menyebabkan nilainya berkurang, memaksakan jilbab juga merusak nilai jilbab itu sendiri. Herannya, dalam tempo singkat, tuntutan demonstrasi yang awalnya hanya aksi reaksioner yang simpatik pada Mahsa Amini dengan menuntut pihak kepolisian bertanggungjawab berubah menjadi penolakan aturan berjilbab dan meningkat lagi menjadi penentangan sistem pemerintah Islam di Iran dan mendesak terjadinya perubahan.
Jilbab di Iran Sepanjang Sejarahnya
Di Iran, sebelum kedatangan Islam, pembahasan hijab dan penutup kepala berada di bawah pengaruh berbagai doktrin keimanan. Ajaran Zoroaster yang dianut mayoritas rakyat Persia saat itu memainkan peran penting dalam masalah ini. Doktrin jilbab dalam ajaran yang dibawa oleh Zarathustra ini sebagian besar malah lebih ketat dari fikih jilbab dalam Islam. Agama Iran kuno ini membawa pengikut perempuannya ke titik pengucilan total dari aktivitas sosial.
Dengan kedatangan Islam di Iran, ekstrimisme tentang hijab dan penutup kepala menjadi berubah. Meskipun tidak mencapai tingkat kesempurnaan yang diharapkan, namun telah membuka ruang bagi perempuan Iran untuk mengambil peran di ranah publik. Islam mengajarkan, perempuan tidak terlarang beraktivitas dan memunculkan talentanya di berbagai bidang di ruang sosial dengan tetap berjilbab. Proses ini berlangsung selama berabad-abad sampai awal kekuasaan Pahlevi. Dengan telah beralih di bawah kekuasaan daulah Islamiyah, jilbab di Iran bertahan sesuai dengan perintah, ajaran dan kerangka syariah.
Dengan kudeta tahun 1920, Reza Khan membentuk dinasti baru yang diberi nama Pahlevi. Karena pengaruh besar budaya Barat, terkhusus setelah kunjungan ke Turki, pandangan rezim tentang jilbab mengalami transformasi serius. Jilbab dituding sebagai salah satu penyebab keterbelakangan Iran. Reza Khan menilai, untuk membangun Iran yang modern sebagaimana negara-negara Eropa dan Turki, perempuan harus dibebaskan dari ‘belenggu’ jilbab. Dalam bukunya, “Mas’aleh Hijab dar Jumhuri-e Islami Iran” (Isu Hijab di Republik Islam Iran) Dr. Ali Ghulami menulis, pada 8 Januari 1936 (17 Day 1314 HS) Rezim Pahlevi secara resmi memasuki babak pelarangan penggunaan jilbab. Sebuah era baru yang bertentangan dengan tradisi pakaian nasional Iran sepanjang sejarahnya. Pendirian organisasi-organisasi perempuan difasilitasi pemerintah dan penerbitan publikasi yang mempromosikan hak dan kebebasan perempuan versi Barat semakin berkembang. Asosiasi dan publikasi yang cenderung menyerang ajaran agama ini khususnya terkait isu jilbab mendapat reaksi keras kelompok ulama.
Kekuasaan Reza Khan berakhir pasca dikudeta oleh putraya sendiri, Muhammad Reza Pahlevi. Pada Oktober 1941, melalui surat kepada Perdana Menteri saat itu, kelompok ulama meminta agar perempuan Iran diberi kelonggaran untuk mengenakan jilbab. Pada tahun 1944, Ayatullah Hossein Qomi, melalui sebuah surat, meminta Syah untuk membatalkan undang-undang tentang pelarangan jilbab. Permintaan itu diterima, pada tahun yang sama, UU pelarangan tersebut dicabut kembali. Reza Pahlevi memilih melakukan pendekatan berbeda dari ayahnya. Ia menulis dalam bukunya Mission for My Country, “Mungkin di periode ayah saya, dengan kekuatan dan paksaan dia memerangi jilbab, tetapi selama pemerintahan saya, untuk tumbuh saya tidak membutuhkan itu, karena mereka secara sadar akan meninggalkan jilbab secara bertahap.”
Dengan pandangan tersebut, Reza Pahlavi menampilkan dirinya sebagai tokoh humanis yang mendukung hak-hak perempuan. Untuk menjalankan misinya, bersamaan dengan pencabutan UU pelarangan jilbab, Pahlevi mengeluarkan perintah kesetiap departemen untuk mempromosikan pergaulan bebas serta keterbukaan. Untuk menekan kelompok agamis, pada tahun 1976 rezim menerapkan aturan pembatasan terhadap perempuan berjilbab dalam mengakses fasilitas umum dan layanan pemerintah.
Setelah kemenangan revolusi Islam yang mengubur kekuasaan Pahlevi, gelombang dukungan terhadap pemberlakuan aturan pewajiban jilbab oleh negara menguat terutama dari kelompok perempuan yang di masa Pahlevi direnggut kebebasannya untuk berjilbab. Namun tuntutan itu mendapat penentangan kubu perempuan yang tidak berjilbab. Kelompok ini melakukan aksi demonstrasi dari akhir Februari sampai Maret 1979 menentang pewajiban jilbab. Melalui referendum pada akhir Maret 1979 dengan suara rakyat 98,2% memilih Republik Islam, maka gelombang protes terhadap pewajiban jilbab berakhir. Namun pada perkembangan sejanjutnya, kelompok yang menentang pewajiban jilbab bukan berarti sepenuhnya berhenti bersuara. Mereka terus melontarkan pertanyaan dan wacana, apakah pemerintah memiliki tanggung jawab dan kewajiban terhadap jilbab warga, atau apakah ini bagian privat dari masyarakat yang semestinya lepas dari campur tangan pemerintah?
Kewajiban Negara dan Penetapan Hukum Jilbab
Secara umum, kewajiban syariah dapat ditinjau dari dua dimensi, satu dimensi individual dan dimensi sosial. Dari sudut pandang individu, setiap orang bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban agama mereka dan tidak ada yang dapat menuntut mereka karena tidak memenuhi kewajiban itu. Misalnya, orang yang tidak salat tidak pernah ditangkap dan dihukum karena tidak mengerjakan salat. Namun, beberapa kewajiban selain memiliki dimensi individu juga memiliki dimensi sosial. Untuk alasan ini, sistem Islam, yang mengawasi pengaturan yang tepat dari hubungan dan interaksi sosial, masuk ke dalam kewajiban tersebut dan berurusan dengan pembentukan dan pelaksanaan hukum; seperti aturan minum di tempat umum dan puasa di tempat umum.
Begitu juga dengan hijab. Prinsip jilbab wajib bagi perempuan, menutupi rambut dan seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Menurut ayat 31 surah An Nur, jelas perintahnya dan tidak ada keraguan bahwa itu adalah bagian dari esensi Islam. Namun poin penting dan perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pada dasarnya, apakah hijab merupakan hukum individu atau hukum sosial? Untuk mengetahui apakah masalah jilbab bersifat pribadi atau sosial, kriteria individualitas atau sosialitas tindakan itu harus diperiksa terlebih dahulu. Secara umum, jika tindakan dan perilaku manusia, ruang lingkup akibat dan manfaat dan kerugiannya terbatas pada orang itu sendiri dan barang miliknya, ini adalah masalah pribadi, dan jika manfaat dan kerugian itu memiliki efek praktis pada orang lain dan yang terkait, tindakan itu adalah masalah sosial.
Mengenai pakaian dan penampilan manusia, faktanya dalam beberapa hal, pakaian adalah hal individu, seperti menjaga tubuh tetap dingin atau hangat, dan dalam hal lain adalah hal sosial. Oleh karena itu, jika seseorang tidak berhijab di rumahnya dan di depan non-mahram, sesuai dengan apa yang disebutkan dalam pertanyaan, itu terkait dengannya secara pribadi. Tetapi ketika individu yang sama memasuki ruang publlik, maka jenis dan model pakaian yang dikenakannya juga otomatis harus menyesuaikan dengan kepentingan publik. Dengan berada di wilayah Republik Islam Iran, yang bersangkutan harus menerima nilai dan norma masyarakat religius yang diterapkan dan berlaku di Iran.
Sudah pasti setiap pemerintahan menerapkan nilai-nilai dan undang-undang yang dianggap perlu. Dengen berbentuk pemerintahan Islam, maka Iran menerapkan nilai-nilai Islam dan berkewajiban mendukung nilai-nilai tersebut. Al-Qur’an mengatakan dalam ayat 41 Surah Haj, “Orang-orang yang jika Kami berikan kedudukan di bumi, mereka melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan menyuruh berbuat makruf dan mencegah dari yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan” berdasarkan ayat ini, Al-Qur’an mendorong terbentuknya pemerintahan Islam dan memberikan hak kepada pemerintah untuk menciptakan kebutuhan pemerintah untuk pelaksanaan hukum-hukum wajib.
Jadi salah satu tugas pemerintah Islam adalah menciptakan lingkungan yang mendorong peningkatan spiritualitas masyarakat. Karena tidak berhijab adalah salah satu contoh pelanggaran nilai-nilai Islam, yang berpotensi menimbulkan kerusakan di tingkat individu dan masyarakat, dan itu dianggap sebagai hal yang tidak diinginkan oleh umat beragama, maka penguasa umat dapat mewajibkan pelaksanaan jilbab melalui undang-undang. Pewajiban ini sesuai dengan Al-Qur’an dan hukum Islam sebagai salah satu tugas pemerintah Islam.
Isu kebebasan dibalik penolakan pewajiban jilbab bukan tidak lepas dari kritikan. Sebab pada hakikatnya kebebasan mutlak itu tidak ada dan tidak ditemukan di manapun di dunia ini, sebab akan melahirkan kekacauan dan anarkisme. Karena itu, di setiap sekolah, budaya dan militer, kebebasan berdemokrasi telah didefinisikan dengan cara dan batas-batas yang telah ditentukan untuk itu, yang sesuai dengan pandangan dan definisi kepentingan masing-masing. Sebagai contoh, dalam demokrasi Amerika Serikat, jual beli dan membawa senjata adalah diperbolehkan untuk umum selama berlisensi, tetapi hal itu sama sekali dilarang dalam demokrasi Eropa. Atau, misalnya, di beberapa negara Eropa, penjualan minuman beralkohol kepada kelompok usia di bawah 18 tahun dilarang; tapi di Kanada dan beberapa negara lain bahkan sekedar membawa minuman keras di ruang publik dilarang dan memiliki hukuman berat. Atau dalam demokrasi sejumlah negara Eropa, eksekusi mati dilarang, namun di Norwegia kasus pembunuhan 71 orang, pelakunya hanya dihukum 21 tahun penjara.
Dalam agama, budaya dan sistem Islam, kebebasan memiliki definisi dan didasarkan pada pandangan dunia dan ideologi dan pandangan tauhid Islam. Kalangan ulama dan badan legislatif Iran percaya bahwa hukum ilahi lebih baik daripada hukum manusia mana pun. Hukum ilahi dapat menentukan kepentingan manusia dan masyarakat, dan demokrasi memberikan keleluasan untuk menerapkan hukum Ilahi tersebut. Pihak yang memaksa Iran menerapkan demokrasi sebagaimana demokrasi mereka, maka ini adalah bentuk kediktatoran.
Di Republik Islam Iran, yang didirikan oleh suara rakyat, kebebasan dan demokrasi memiliki definisi dan batasannya sendiri, dan tentu saja, kerangka kerja mereka dalam setiap kategori terbatas pada batasan ilahi, bukan pada apa yang disukai atau tidak disukai Barat. Dalam sistem Republik Islam Iran, masih banyak kebebasan lain yang terbatasi yang negara lain membebaskannya; seperti kebebasan makan minum, kebebasan dalam perjudian, kebebasan dalam mendirikan kasino atau rumah bordil, kebebasan dalam hubungan seksual, kebebasan dalam membeli dan menjual senjata dan pembatasan ini tidak hanya mencakup hukum jilbab, dan negara Islam tidak dapat menolak untuk memberlakukan dan menerapkan hukum Islam hanya karena beberapa orang tidak ingin mengikuti hukum. Dalam disertasi Dr. Dina Y Sulaeman (2018), teori Political Adaptation Rosenau, orang liberal AS, menyatakan bahwa sebuah negara memang harus mempertahankan struktur esensialnya; negara yang tak mampu mempertahankannya disebut maladaptive.
Mengenai melemahnya nilai kesucian hijab di masyarakat akibat pemaksaan berhijab, boleh dikatakan ini juga alasan yang tertolak. Berdasar pengalaman menunjukkan bahwa paksaan dari banyak urusan budaya dan sosial telah menyebabkan untuk membudayakan dan menemukan nilai di dalamnya. Siapa bilang semakin nilai dipaksakan, semakin memudar? Apakah nilai hukum perdata lainnya berkurang karena paksaan? hukum memakai sabuk pengaman, peraturan lalu lintas, pendidikan dasar dan menengah, memiliki akta kelahiran atau KTP, memiliki paspor untuk bepergian ke luar negeri, mengenakan seragam untuk kelas dan perusahaan yang berbeda dan ribuan undang-undang lainnya yang ada di dunia ini telah dipaksa, apa mereka menjadi tidak berharga dan memudar? Apakah penurunan nilai pada apa yang dipaksakan hanya berlaku pada penerapan syariat Islam?
Pada akhirnya, perlu disebutkan bahwa, ketaatan berhijab dalam masyarakat Islam Iran tidak hanya karena paksaan dan adanya peraturan dari pemerintah, tetapi juga karena keyakinan yang kuat dari sebagian besar masyarakat. Jilbab bagi rakyat Iran di sepanjang sejarahnya telah menjadi pakaian nasional. Pada masa era Pahlevi permusuhan pada jilbab dimulai dengan menyuntikkan ide-ide Barat mengenai gaya hidup yang belum tentu sesuai dengan budaya dan kultur asli bangsa Iran. Perundang-undangan diterapkan untuk meminimalisir anomali sosial atau dengan kata lain untuk mereka yang tidak percaya dengan jilbab (atau pada dasarnya tidak percaya pada jilbab, atau percaya tetapi mengabaikannya). Wajar saja, karena keengganan orang-orang ini untuk menjalankan kewajiban berhijab, tidak bisa dipungkiri kepentingan besar masyarakat, yaitu tersedianya lingkungan yang sehat dan bersih dari segi moral dan sosial, terganggu.
Penutup
Narasi yang dibentuk oleh kaum feminis atau para aktivis perempuan atas dasar kebebasan adalah sebuah narasi yang tidak berdasar dan justru mereka memaksakan konsep dan pemahaman mereka terhadap sistem yang telah dibentuk oleh sistem pemerintahan Iran.
Musuh-musuh revolusi Islam Iran berusaha meyakinkan bahwa, jilbab adalah simbol revolusi Islam yang dipaksakan kepada perempuan. Namun faktanya, sejak dulu jilbab adalah simbol pakaian terhormat bangsa Iran. Dengan pecahnya revolusi Islam Iran, jilbab menjadi simbol perlawanan kaum muslimah terhadap hegemoni budaya Barat. Ali Syariati menyebut, jilbab bagi bangsa revolusioner Iran bukan sekedar kain, melainkan simbol politik yang menjadi fondasi revolusi sebuah Ideologi perjuangan.
Bentuk protes seperti mengutuk, mengecam pemerintah Islam Iran atas insiden kematian Mahsa Amini yang ternyata menurut hasil investigasi akhir menyebutkan penyebab kematiannya karena serangan jantung dan bukan karena korban kekerasan aparat, adalah sebuah protes dari ketidaktahuan atas sejarah jilbab di Iran. Iran sudah menjadi bangsa yang memiliki peradaban disaat bangsa-bangsa Arab masih jahiliyah. Pasca demonstrasi menentang pewajiban jilbab yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini oleh kelompok kecil orang, muncul gelombang aksi mendukung pewajiban jilbab yang dihadiri jutaan rakyat Iran. Lautan manusia yang menggulung kota-kota besar di Iran yang meneriakkan dukungan pada pemerintahan Islam, dukungan pada aturan pewajiban jilbab menunjukkan bahwa itulah suara sesungguhnya rakyat Iran, itulah keinginan mereka. Dengan segelintir orang protes akan aturan berjilbab, apa secara otomatis aturan itu harus dicabut dan sistem pemerintahan harus diganti?. Apakah hanya karena seratusan ribu massa HTI di GBK meneriakkan khilafah, negara Pancasila harus rela dibubarkan?.
*Penulis adalah Founder Perempuan Bersuara dan peserta Kelas Menulis Kabar Kampus asuhan Dr. Dina Y. Sualeman.