Purna Warta – Dalam satu pernyataan paling nyata, Menteri Luar Negeri Saudi memperingatkan potensi Iran mendapatkan senjata pembunuh massal dan revolusi peta perhitungan Timur Tengah.
Menlu Saudi Faisal bin Farhan menjawab pertanyaan tentang indikasi Iran meraih senjata nuklir dalam satu konferensi politik internasional di Abu Dhabi dan menjelaskan, “Jika Iran mendapatkan senjata nuklir operasional, maka semua perhitungan akan hancur.”
“Kami berada di tengah situasi yang sangat berbahaya di Kawasan. Jika hal ini terjadi, akan ada gerak negara-negara Kawasan ke arah sekutu yang mampu menjamin pengembangan kekuatan keamanannya,” tambahnya.
Sebelumnya sudah ada peringatan dari pihak petinggi serta Pangeran Saudi mengenai senjata nuklir Tehran ini, bahkan mereka juga mengungkap indikasi Riyadh berlengkapkan senjata pembunuh massal.
Jalan buntu perundingan dan instabilitas Iran akhir-akhir ini telah menyebabkan buramnya kata akhir dari perundingan perjanjian nuklir. Negara-negara Arab Teluk Persia, utamanya Arab Saudi, sejak awal sudah mencari-cari celah dalam resolusi yang dilanggar AS pimpinan Donald Trump. Mereka berupaya membangun satu perjanjian baru yang lebih kuat sebagai ganti dari resolusi nuklir 2015.
Dari sisi inilah, Menlu Faisal menjelaskan di sela konferensi politik internasional bahwa Arab Saudi mendukung upaya-upaya menghidupkan JCPOA dengan syarat hal itu dijadikan sebagai pendahuluan untuk satu perjanjian lebih mumpuni.
Pernyataan Menlu Saudi ini menyindir, salah satunya, isi pasal akhir resolusi di tahun 2023 dan 2025 sehingga Iran bisa kembali mengayakan uraniumnya di tahun 2027 dan melewati batas pengembangan yang telah dituliskan.
Menlu Faisal juga mengisyaratkan perundingan yang tak jelas dan mengatakan, “Iran menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud untuk menciptakan senjata nuklir. Meyakini pernyataan ini mungkin menyenangkan, namun kami butuh pada jaminan-jaminan lebih dalam hal ini.”
3 hari sebelumnya dan pasca kunjungan Presiden China ke Saudi, Menlu Faisal menyatakan, “Iran merupakan salah satu bagian dari Timur Tengah dan tetangga kami. Pemerintah Saudi akan tetap menjulurkan tangannya untuk kerja sama dengan Iran.”
Maksud Tersirat
Pernyataan Menteri Luar Negeri Saudi ini merupakan satu reaksi paling jelas istana dalam dua tahun aktifnya pemerintahan Joe Biden, di mana kota Riyadh sedikit banyak menunjukkan perubahan sikap dalam hubungannya dengan Tehran beserta pihak-pihak perundingan nuklir. Sebelumnya, Arab Saudi berupaya untuk membangun pondasi kepentingan dunia Arab dalam resolusi JCPOA hingga fokus pada pasal-pasal tambahan terkait Kawasan.
Faisal bin Farhan mengisyaratkan bahwa JCPOA harus dijadikan titik awal, bukan akhir. Dalam arti bahwa Istana Riyadh tidak setuju dengan draf perundingan pengaktifan JCPOA yang diajukan oleh Josep Borrell, Menlu Uni Eropa pada bulan Agustus lalu. Arab Saudi melihat draf ini lemah karena menguntungkan negeri Para Mullah. Dengan demikian, mereka menuntut analisa kembali, khususnya setelah kebuntungan perundingan nuklir, perang Ukraina dan instabilitas dalam minggu-minggu kemarin. Jadi perkembangan situasi inilah yang mendesak Arab Saudi untuk memecah diamnya.
Emmanuel Macron, Presiden Perancis, pada tanggal 14 November kemarin mengklaim bahwa dirinya tidak yakin akan adanya satu usulan baru untuk menghidupkan kembali JCPOA dalam waktu dekat.
“Dan mungkin butuh pada satu struktur baru untuk membantu urusan ini,” tegasnya dalam wawancara dengan stasiun radio Paris.
Menurut pengamatan Presiden Macron, perkembangan situasi dalam negeri Iran telah berpengaruh banyak terkait JCPOA. “Bahkan mungkin hal itu akan menghancurkan perjanjian dengan Iran,” tegasnya.
Dalam laporan Reuters juga disebutkan, salah satu petinggi Emirat mengatakan bahwa melihat pengiriman senjata Iran ke Rusia dan operasional drone Tehran di perang Ukraina telah menciptakan kesempatan untuk melihat kembali definisi perjanjian nuklir secara keseluruhan.
Di tengah situasi inilah, ada pertanyaan, kenapa Saudi mengungkapkan kebijakannya ini sekarang? Apakah kebijakan ini berkaitan erat dengan kunjungan Presiden China ke Saudi yang telah menghangatkannya dalam naungan keamanan sehingga berani menyatakan hal ini? Khususnya setelah partisipasi Xi Jinping dalam konferensi petinggi Dewan Kerja Sama Teluk Persia dan kunjungannya ke pembangunan pusat nuklir Saudi.
Apapun prediksi tersirat di atas, jelas bahwa maksud Saudi masih belum jelas. Tapi hal yang penting di tengah perkembangan ini adalah fakta bahwa tekanan kepada Iran tidak akan efektif tanpa supresi sanksi. Selain itu, supresi ini juga tidak akan pernah berhasil.