Pasca Tanda Tangan Kerjasama Riyadh-Moskow, Ini Pesan ke Washington

saudi

Purna Warta – Dalam kunjungan terakhir Wakil Menteri Pertahanan Saudi ke Rusia dan tanda tangan kerjasama militer, para analis menyebut hal ini sebagai pesan dari pihak Riyadh kepada Gedung Putih bahwa mereka telah menemukan ‘pengganti’.

Kesepakatan militer terakhir ini, antara Riyadh dan Moskow, ditandatangani di tengah hubungan Saudi-Amerika yang tak lagi kental sehingga menarik perhatian para pengamat.

Salah satu surat kabar kondang dunia Arab, al-Akhbar dalam hal ini menorehkan analisis, “Hosni Mubarak, mantan Presiden Mesir, mengatakan sebuah kalimat yang telah memprediksikan pelengserannya. Kalimat itu adalah mereka, yang menjadikan Amerika tirai penutupnya, sebenarnya telanjang. Mungkin Saudilah yang lebih lama mempelajarinya lebih dari yang lain.”

“Di sela perubahan mencolok dimana Amerika keluar dari Afganistan, mungkin Mohammed bin Salman ingin menguji kesiapan Washington dalam menjaga pemerintahan Saudi dari ancaman dalam maupun luar dan di saat yang sama hal itu juga bisa disebut sebagai manipulasi situasi buruk dengan tujuan mencapai target pribadi yaitu duduk di singgasana di bawah persetujuan Amerika. Dari sisi inilah, saudaranya yang sekaligus Wakil Menhan, Khalid bin Salman dikirim ke Moskow untuk menandatangani satu resolusi militer dengan Rusia. Satu kesepakatan yang memiliki pesan ke Washington akan adanya pengganti.”

Sebagai tambahan, surat kabar asal Lebanon tersebut menjelaskan bahwa ketika militer Uni Soviet pada tahun 1989 keluar dari Afganistan, Arab Saudi mengabadikan kemenangan sekutunya, yaitu Amerika, dengan sebuah pesta. Mereka berhak akan kegembiraan ini karena ikut berperan dalam urusan ini dengan mengirim pasukan Mujahid serta dukungan finansial. Sekarang, di mana menurut pengakuan Joe Biden sendiri bahwa periode Amerika telah berakhir, Saudi berpaling ke musuh lamanya untuk meminta bantuan dan mengadakan satu kesepakatan militer. Satu resolusi yang sengaja tidak dijelaskan detailnya oleh kedua belah pihak.

Sudah lama Saudi ingin menjalin kerjasama dengan Moskow dan beberapa negara lainnya, yaitu negara-negara yang disebut musuh maupun kedaulatan yang dipaksa untuk dimusuhi. Siasat baru Istana Riyadh ini berjalan bersamaan dengan menurunnya perhatian Amerika ke Saudi, meskipun hubungan itu masih terbatas dan menyimpan poin-poin sebelumnya.

Salah satu strategi kerjasama ini, menurut al-Akhbar, adalah menutupi kebutuhan senjata Arab Saudi. Satu kebutuhan dan kelangkaan senjata yang disebabkan oleh sanksi kecil partikular dan universal yang diaksikan oleh negara-negara Barat, seperti Kanada, Jerman, Belgia dan lainnya atas pembelian senjata Saudi.

“Namun upaya menutupi kebutuhan ini masih menghadapi garis merah Amerika. Seperti contoh, meskipun Riyadh-Moskow telah menandatangani pembelian sistem pertahanan dari darat ke udara S-400, akan tetapi hingga detik ini tidak terdengar sedikitpun mengenai pengirimannya. Sebab sistem S-400 adalah hal paling sensitif bagi Amerika karena mengancam penjualan sistem pertahanan Patriot dan pesawat tempur Pentagon,” tulis al-Akhbar mengamati.

Al-Akhbar menambahkan, meskipun resolusi pembelian senjata disepakati, namun hal tersebut tidak akan lebih dari batasan yang telah digariskan Amerika Serikat.

“Seandainya hal ini ada di tangan Saudi, mereka pasti sudah melakukannya jauh-jauh hari. Akan tetapi leher para petinggi Riyadh ada di cekikan Amerika. Mereka tidak akan diizinkan untuk pergi sekehendak hati, sekalipun Amerika telah keluar dari wilayah Teluk Persia. Karena hubungan ini sangat mengakar sampai pada titik kemustahilan untuk berpisah. Sebagai contoh, lebih dari 80% senjata Saudi adalah made in Amerika. Setiap upaya untuk menganekaragamkan jenis senjata, akan disebut sebagai penyulut api. Meskipun terjalin kesepakatan, tetap akan menghadapi garis merah. Adanya kesepakatan seperti ini tetap mengkhawatirkan Amerika Serikat, sebab China dan Rusia terus berusaha memotong lebih besar sahamnya dari roti pasar senjata,” hemat al-Akhbar.

“Masalah Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Saudi, adalah dia tetap berjalan di tempat sekalipun di periode Joe Biden. Dia masih mengidamkan pemerintahan Joe Biden menerimanya sebagai Raja, padahal Washington tidak pernah menutup kasus HAM Riyadh. Satu kasus HAM yang mungkin terus berkembang dalam pekan-pekan ke depan, seperti kasus 11 September yang memperlihatkan peran Riyadh dalam serangan ke Washington dan New York pada tahun 2001. Hal ini bisa memaksa Riyadh menggelontorkan ganti rugi ke 3000 keluarga korban meninggal,” tulis al-Akhbar.

Putra Mahkota, menurut analisa al-Akhbar, menyadari bahwa Amerika tidak akan membelanya. Mungkin juga tidak siap mempertahankan sistem pemerintahan Saudi, khususnya perihal menghadapi ancaman dalam negeri. Dan mungkin AS juga enggan meredam ancaman luar negeri, seperti ancaman Ikhwan al-Muslimin ataupun ancaman oposisi Putra Mahkota dalam keluarga kesultanan (mukim) luar negeri sana.

“Dan tibalah pada upaya menganekaragamkan pendukung oleh Mohammed bin Salman pada April kemarin. Dalam salah satu wawancara, MBS mengatakan bahwa Amerika tidak lagi memiliki kekuatan yang dahulu. Sebagian kekuatan negeri ini bergantung pada uang yang didapat via tangan Saudi dalam beberapa tahun terakhir. Memang tidak ada impian untuk membesarkan saham China dan Rusia dalam kesepakatan militer, akan tetapi harus disorot bahwa Riyadh memiliki ambisi dan keuntungan lebih di bawah relasi dengan Rusia dan China. Paling urgennya adalah Saudi bersama Rusia akan mampu mengontrol harga minyak dunia sebab Moskow produsen minyak terbesar kedua dunia. Sedangkan China telah menjadi pesaing Amerika di pasar Teluk Persia,” hemat surat kabar Lebanon tersebut.

Al-Akhbar kemudian melanjutkan bahwa urusan membela sistem pemerintahan Saudi ataupun Bin Salman hanyalah urusan yang berkaitan dengan Washington saja. Sekarang tidak terlintas pembahasan pihak lain untuk masuk ke dalam urusan tersebut, kecuali Israel, yang jelas harus pula dengan persetujuan Amerika.

“Seandainya Amerika memang memiliki taktik untuk keluar dari Teluk Persia, maka hal ini akan mengakibatkan bahaya keamanan. Masalah ini berkaitan dengan banyak hal, salah satunya masalah kembalinya AS ke kesepakatan nuklir Iran, yang mungkin membuka banyak indikasi dan ini tentu berkaitan dengan banyak negara regional. Yang pasti sekarang adalah Amerika ingin mengurangi beban membantu pemerintahan ini dan itu,” jelas al-Akhbar mengamati.

Kesepakatan Saudi-Rusia bisa ditelisik dalam perihal kualitas senjata, harga, kesepakatan keamanan dan lainnya untuk bisa menjawab berbagai pertanyaan. Akan tetapi pengumuman atau deklarasi resolusi di tengah situasi sekarang tidak bisa disebut sebagai pesan ke Amerika yang bisa menghidupkan urusan-urusan yang sempat mati di atas meja Gedung Putih. Khususnya pasca kunjungan Khalid bin Salman ke AS yang tak membuahkan hasil apapun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *