Yerusalem, Purna Warta – Kereta normalisasi tidak melaju ke titik tujuan yang diinginkan Israel yang berhasrat membuka lembaran baru dengan negara-negara Arab. Semua peristiwa-peristiwa di Kawasan merubah halauan kereta secara keseluruhan.
Menurut analisa media al-Khaleej Online, rezim Zionis berlawanan arah dengan Bahrain dan Sudan dalam menanggapi draf anti Israel di Dewan HAM PBB. Tel Aviv sangat marah kepada Manama dan Khartoum terkait perang Gaza. Israel menunggu suara kontra mereka mengenai draf anti Zionis.
Dalam hal ini, Yedioth Ahronoth menuliskan laporan bahwa ini adalah pertama kali pasca normalisasi bahwa Bahrain, Sudan dan Israel berbeda pandangan.
Dewan HAM PBB melaksanakan pemungutan suara dari 47 negara anggota tentang pembentukan tim penyelidik kejahatan rezim Zionis di perang Gaza. Hamas beserta Otoritas Palestina menyambut hangat resolusi tersebut, adapun rezim pembantai menegaskan bahwa mereka tidak akan bekerjasama dengan PBB.
Baca Juga : Ringkasan Debat Capres Iran Putaran Ke-3
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Solidaritas rakyat dan pemerintah-pemerintah Arab bersama Gaza, yang sebelumnya telah terajut dengan penduduk Beit al-Muqaddas dan Sheikh Jarrah merupakan kekalahan politik normalisasi yang dibangun untuk kepentingan Zionis.
Abdullatif bin Rashid Al Zayani, Menlu Bahrain, dalam konferensi darurat OKI menyatakan, “Harus didirikan Palestina dengan ibukota al-Quds timur dan mengakhiri konflik”.
Begitu pula Sudan menuntut pemerintah Amerika Serikat untuk menghadang kebijakan-kebijakan Israel versus warga Palestina. Bahkan warga dan politisi Khartoum mengucapkan selamat atas kemenangan Gaza. Mereka menuntut pemerintah untuk segera mundur dari resolusi Abraham.
Hal ini menunjukkan bahwa normalisasi tetaplah menjadi tema pinggiran, tidak bisa mengambil kursi di kancah perpolitikan regional. Selama Palestina terzalimi, normalisasi takkan mendapatkan simpati apapun.
Maher Hijazi, salah satu jurnalis sekaligus analis berdarah Palestina, menjelaskan kepada al-Khaleej Online terkait hal ini bahwa kebijakan Bahrain dan Sudan diambil karena tekanan rakyat.
“Pemerintah Bahrain dan Sudan selalu mengatakan bahwa normalisai harus berada dalam koridor kepentingan Palestina. Dan terbukti bahwa arah perjalanan berbalikan dengan klaim tersebut. Rezim pendudukan manipulasi kesepakatan normalisasi untuk meningkatkan konflik versus penduduk Palestina dan tempat-tempat sakral,” jelas Maher Hijazi.
Baca Juga : Akhiri Periode Benjamin Netanyahu, Naftali Bennet Sah Sebagai Perdana Menteri
Perubahan Dramatik
Kekalahan Donald Trump dalam Pemilu berakhir pada tuntutan besar dalam upaya membangun kerjasama normal dengan Israel. Beberapa sumber Amerika kepada Wall Street Journal mengatakan pada bulan Januari lalu bahwa ada 5 negara Arab yang akan menahan rencana normalisasi dengan Israel pasca aktifnya Joe Biden.
Di kancah perpolitikan dalam tubuh rezim Zionis juga beterbangan pengamatan para pakar tentang akhir hayat politik Benjamin Netanyahu, khususnya pasca kebuntuannya dalam menyusun Kabinet dan kesuksesan para oposisi di dalamnya.
Benjamin Netanyahu, meski mendapatkan dukungan penuh dari Donald Trump, akan tetapi tetap dibanjiri hujatan karena kejahatan finansial yang melilitnya.
Hubungan Joe Biden dan Benjamin Netanyahu juga mengalami penyurutan. Kedua pihak berbeda pendapat dalam memandang perdamaian di Timur Tengah dan program nuklir Iran.
Selasa tanggal 1 Juni dengan ketus Benjamin Netanyahu menyatakan, “Jika harus memilih antara persekutuan dengan Washington dan menang melawan ancaman eksistensi, kami akan memilih menang atas ancaman.”
“Sangat terbuka kemungkinan negara-negara normalisasi untuk menelaah ulang politiknya dengan Israel pasca perang Gaza,” hemat Maher Hijazi.
“Perubahan besar bergulir dalam kancah internasional yang memihak Palestina, tapi kontra dengan Israel bahkan membuka peluang perluasan boikot atas Tel Aviv. Mahkamah Internasional Den Haag telah membuka kembali kasus-kasus kejahatan Israel. Selain itu, ombak mayoritas Arab dan Islam menolak mentah-mentah normalisasi,” tambahnya.
Berdasarkan hal ini, dalam pengamatan analis berdarah Palestina ini, desakan negara-negara normalisasi untuk terus merangkul Israel justru akan menyeret mereka dalam rawa kerugian.
Baca Juga : Pidato Naftali Bennett di Knesset: Propaganda dan Terima Kasih
Efek Perang Gaza
Satu pengamat politik lainnya bernama Wesam Afifa kepada al-Khaleej Online mengatakan bahwa salah satu efek perang Pedang al-Quds adalah menggantungkan banyak sisi normalisasi. Beberapa rezim Arab bermaksud untuk menarik banyak pihak ke normalisasi dengan manipulasi situasi buruk Palestina, akan tetapi situasi Palestina itu sendiri yang membalikkan arah.
“Banyak negara Arab yang berfikiran bahwa dengan berpasrah diri kepada Israel, mereka akan mendapatkan dukungan Amerika sehingga mereka terus terjaga di dalam dan regional, bahkan mengalahkan krisis. Tetapi (sekarang) mereka sadar bahwa mereka salah dan malu,” jelasnya.
“Judi dalam normalisasi sangatlah merugikan. Karena Israel mendapatkan hantaman keras dalam tiga hal; militer, ekonomi dan politik. Dalam perang Gaza kemarin, militer Israel terbukti lemah dalam beroperasi, sedangkan Muqawamah berhasil menembus jantung Tel Aviv dengan rudalnya. Bagian ekonomi, Israel juga mengalami masalah dalam eksploitasi sumber dayanya. Terkhusus kilang gas di laut Mediterania yang memperlihatkan investasi berbahaya dalam bidang tersebut. Di bagian politik juga Israel mendapatkan ancaman meskipun memiliki lobi kuat di Barat. Organisasi-organisasi internasional menuntut rezim tersebut tertulis dalam buku kejahatan perang,” tambahnya.
Di akhir, analis Palestina ini melanjutkan bahwa perang Gaza telah menancapkan efek buruknya dalam arah normalisasi dan politik negara yang menandatangani resolusi Abraham.
Harus dikatakan bahwa salah satu efek perang Gaza adalah menghentikan kereta normalisasi. Mulai bergerak dengan kecepatan tinggi, namun di stasiun percobaan pertama, kereta keluar jalur rel.
Baca Juga : Mantan Kepala Mossad Ungkap Bagaimana Israel Curi Dokumen Nuklir Iran