Ankara, Purna Warta – Presiden petahana Turkiye Recep Tayyip Erdogan resmi terpilih kembali menjadi presiden Turkiye usai berhasil memenangkan pemilu presiden putaran kedua dan mengalahkan pesaingnya Kemal Kilicracoglu.
Ini merupakan kali ketiga Erdogan menjadi Presiden Turki sejak pertama kali menjabat sebagai presiden sejak tahun 2014. Lebih dari dua dekade terakhir, Recep Tayyip Erdogan selalu memenangi pemilu di Turki. Kemampuannya memadukan narasi nasionalisme-konservatisme jadi kunci kemenangan itu. Berikut Analisis dari Media Kompas dan sumber lainnya, mengapa Erdogan selalu memenangi Pemilu Turkiye.
Baca Juga : Wakil China di Dewan Keamanan PBB Semprot Israel soal Palestina
Presiden petahana Turkiye Recep Tayyip Erdogan (69) kembali memimpin Turkiye periode 2023-2028 setelah memenangi pemilihan presiden putaran kedua, Minggu (28/5). Ia meraup suara 52,18 persen berbanding 47,82 persen yang diraih pesaingnya, Kemal Kilicdaroglu.
Kemenangan itu menunjukkan, hegemoni Erdogan atau bisa disebut fenomena Erdoganisme di Turkiye, yang kukuh sejak 2002 atau lebih dari dua dekade, tidak tergoyahkan. Dalam sejarah modern Turki lahir dua isme, yaitu Kemalisme yang merujuk pada Mustafa Kemal Ataturk, sang pendiri Turki modern tahun 1923, dan Erdoganisme yang merujuk pada Erdogan.
Era Kemalisme berlangsung dua periode. Periode pertama, era Mustafa Kemal Ataturk, mulai tahun berdirinya Turki modern (1923) hingga wafatnya pada 1938. Periode kedua, era pengikut Kemal Ataturk, dari setelah wafatnya Kemal Ataturk tahun 1938 hingga naiknya Erdogan sebagai perdana menteri (PM) tahun 2002. Periode Kemalisme dari 1938 hingga 2002 diselingi periode PM Adnan Menderes (1950-1960) dan PM Necmettin Erbakan (1996-1997) yang dianggap antitesis Kemalisme.
Adapun era Erdoganisme berlangsung sejak naiknya Erdogan sebagai PM tahun 2002 sampai sekarang atau sudah 21 tahun. Jika ditambah sampai 2028, Erdoganisme akan berlangsung 26 tahun.
Dalam kamus politik Turki modern, Erdoganisme dianggap sebagai antitesis Kemalisme. Meski demikian, Erdoganisme masih menghormati dan memegang teguh prinsip negara sekuler Turki yang dibangun Kemal Ataturk. Perbedaan Kemalisme dan Erdoganisme lebih pada kebijakan dalam negeri dan luar negeri, tetapi tidak mengusik konstitusi negara yang sekuler.
Pada pemilihan presiden Turki tahun 2023, kandidat oposisi, Kemal Kilicdaroglu, dianggap representasi dari Kemalisme melawan Erdoganisme. Sesuai hasil pemilu, Erdoganisme masih unggul atas Kemalisme.
Baca Juga : Diserang Drone, Rusia Sebut Rezim Kiev di Balik Serangan Teroris
Paduan dua narasi
Mengapa Erdoganisme unggul atas Kemalisme dalam berbagai pemilu selama lebih dari dua dekade ini, sejak tahun 2002 hingga 2023? Fenomena ini tak lepas dari kemampuan Erdogan memadukan narasi nasionalisme-konservatisme. Bahkan, itu kunci di balik keunggulannya atas Kemalisme.
Di setiap pemilu, Erdogan mampu meraih suara besar di kantong-kantong konservatif, baik Islam konservatif maupun sekuler konservatif. Ia cukup cerdik membaca komposisi dan struktur masyarakat Turki, yang mayoritas (60-70 persen) masyarakat konservatif.
Kemampuan Erdogan memadukan narasi nasionalisme-konservatisme menjadi kunci di balik keunggulannya atas Kemalisme. Dalam hal ini sesungguhnya Mustafa Kemal Ataturk gagal melakukan modernisasi masyarakat Turki secara kultural. Masyarakat Turki, terutama masyarakat perdesaan, tetap konservatif. Gerakan sufisme di Turki, terutama di area perdesaan, cukup berkembang.
Gerakan modernisasi Mustafa Kemal Ataturk bisa disebut hanya sukses di masyarakat perkotaan. Maka, jangan heran jika muncul fenomena PM Adnan Menderes (1950-1960) yang mampu mengobarkan jargon Islamisme-nasionalisme yang saat itu dianggap antitesis Kemalisme. Gerakan Menderesisme ditumpas lewat kudeta militer tahun 1960.
Pada 1990-an, muncul lagi fenomena PM Necmettin Erbakan (1996-1997) yang juga mengumandangkan jargon Islamisme-nasionalisme dan antitesis Kemalisme. Gerakan Erbakanisme juga ditumpas lewat kudeta militer tahun 1997.
Baca Juga : Markas Teroris di Suriah Dibombardir Jet-Jet Tempur Rusia
Mengontrol militer
Pada tahun 2000-an sampai saat ini, lahir fenomena Erdoganisme yang mengumandangkan pula Islamisme-nasionalisme dan antitesis Kemalisme. Jika militer mampu menghentikan gerakan Menderesisme dan Erbakanisme, mereka gagal menghentikan gerakan Erdoganisme.
Puncak upaya militer gagal menghentikan gerakan Erdoganisme adalah kudeta yang gagal terhadap Erdogan pada 2016. Sebaliknya, Erdogan kini mengontrol penuh militer. Ini salah satu faktor kejayaan Erdogan di Turki saat ini.
Dalam konteks keberhasilan menundukkan gerakan Kemalisme di ranah sistem demokrasi, Erdogan menggunakan narasi paduan nasionalisme-konservatisme. Maka, Erdogan sangat keras menghadapi gerakan separatis Kurdi yang direpresentasikan oleh Partai Pekerja Kurdi (PKK). Erdogan pun mengirim pasukan Turki ke Suriah utara untuk mengejar PKK dan cabangnya di Suriah, seperti milisi Unit Pelindung Rakyat (YPG) Kurdi.
Ini yang membuat Erdogan mendapat simpati dari kubu ultranasionalis-sekuler, seperti Partai Gerakan Nasionalis (MHP), yang kemudian berkoalisi dengan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan dalam koalisi Umat pada Pemilu 2023 ini.
Narasi nasionalisme tersebut juga berperan di balik kemenangan Erdogan pada pilpres putaran kedua, Minggu (28/5/2023). Ia mendapat dukungan Sinan Ogan, kandidat presiden ketiga pada pemilihan presiden putaran pertama, Minggu (14/5/2023). Ogan secara ideologis lahir dari kandungan MHP. Dukungan Ogan kepada Erdogan itu merupakan salah satu faktor utama di balik kemenangan Erdogan.
Selain itu, faktor penyebab kemenangan Erdogan adalah kegagalan Kilicdaroglu memobilisasi sekitar 11 persen pemilih yang tidak memberikan suara pada pemilu putaran pertama agar mereka bersedia memberikan suara pada putaran kedua. Padahal, sebagian besar mereka adalah pendukung Kilicdaroglu.
Pada pemilu putaran kedua, jumlah pemilih yang tak memberikan suara justru lebih besar daripada di putaran pertama. Jumlah pemilih pilpres putaran kedua adalah 84,57 persen atau turun dibandingkan dengan jumlah pemilih di putaran pertama yang mencapai 88,9 persen.
Dalam konteks keberhasilan membangun narasi konservatisme, Erdogan meraih suara besar di wilayah Anatolia bagian tengah dan area pesisir Laut Hitam. Wilayah ini dikenal sebagai basis masyarakat konservatif dan tradisional di Turki. Wilayah Anatolia bagian tengah dan pesisir Laut Hitam memang menjadi basis suara AKP sejak 2002.
Dalam upaya menarik simpati kaum konservatif pula, Erdogan dalam kampanye pemilu menolak tegas isu LGBT di Turki. Jauh sebelumnya, pada 2020, Erdogan juga mengesahkan perubahan status Hagia Shopia dari museum menjadi masjid. Ini juga dalam upaya menarik simpati kaum konservatif. Berbagai manuver itu telah mengantarkan Erdogan kembali menjabat presiden periode 2023-2028.
Baca Juga : Bertemu Sekjen CICA, Raisi Berbagi Pengalaman Perangi Terorisme
Dukungan Kurdi
Bencana bagi Kilicdaroglu adalah penurunan jumlah pemilih yang besar di wilayah dominasi Kurdi yang turun dari 81,70 persen menjadi 75,74 persen. Pernyataan dan kesepakatan kandidat oposisi yang semakin nasionalis Turki dengan Partai Kemenangan sayap kanan tampaknya membuat para pemilih Kurdi menjauh.
Seorang warga Diyarbakir, provinsi mayoritas Kurdi di tenggara Turki, mengatakan, dia tidak memberikan suara karena tidak ada pihak yang menawarkan apa pun kepada Kurdi.
Ketika ditanya apakah keputusannya dapat membantu Erdogan dalam pencalonan, wanita berusia 25 tahun itu, mengatakan dia tidak peduli. ”Ini sama sekali bukan urusan saya. Dalam sistem ini, Kurdi sudah diabaikan. Biarkan mereka melawan mereka sendiri. Apa yang mereka lakukan juga bukan urusan saya,” katanya.
Erdogan sudah mengalihkan pandangannya pada kontes pemilihan berikutnya: pemilihan kota pada bulan Maret tahun depan. Saat meminta bantuan pendukung di Istanbul dalam pemilu 2024, dia memperingatkan bahwa CHP dan sekutunya adalah pro-LGBT.
Menggemakan retorika anti-LGBTQ yang dikejarnya menjelang putaran pertama, Erdogan mengatakan LGBT tidak dapat menyusup ke AKP.
“Tidak ada yang bisa menyentuh keluarga, dan tidak ada yang bisa menggunakan kekerasan terhadap perempuan,” katanya.
King Maker Dibalik Kemenangan Erdogan
Di balik kemenangan ini, ada salah satu faktor yang dianggap berkontribusi dalam kembalinya Erdogan di tapuk kekuasaan tertinggi Turki. Ia adalah Sinan Ogan.
Ogan, yang menempati posisi suara ketiga dalam pemilihan presiden putaran pertama, digadang-gadang menjadi king maker dalam pemilihan putaran kedua. Ini dikarenakan kemungkinan dirinya yang akan mengalihkan pendukungnya kepada Erdogan atau Kilicdaroglu sehingga salah satu figur akan menang.
Ogan memberikan dukungannya bagi Erdogan karena dianggap menjadikan kaum nasionalis sebagai ‘pemain kunci’ dalam politik Turki. Selain itu, menurutnya, Erdogan juga memiliki prinsip perlawanan terorisme yang konsisten.
“Penting bahwa presiden yang baru terpilih berada di bawah (kepemimpinan) yang sama dengan parlemen. Aliansi (Kilicdaroglu) di sisi lain, tidak dapat menunjukkan keberhasilan yang cukup melawan Aliansi Rakyat yang telah berkuasa selama 20 tahun, dan tidak dapat membangun perspektif yang dapat meyakinkan kita tentang masa depan,” pungkasnya dilansir Al Jazeera.
Dalam putaran pertama, Erdogan menerima 49,52% suara sementara rivalnya Kilicdaroglu, kandidat dari aliansi oposisi enam partai, mengantongi 44,88% suara. Ogan finis di peringkat ketiga dengan 5,17%.
Profesor dari Universitas Isik, Seda Demiralp, mengatakan bahwa dukungan Ogan terhadap Erdogan telah diprediksi dari awal. Ogan diketahui telah mempromosikan kesinambungan dan stabilitas, kata kunci yang juga digunakan dalam kampanye Erdogan.
“Dalam pidatonya hari ini, ia mengatakan bahwa ia yakin eksekutif dan legislatif yang didominasi oleh partai yang sama adalah hal yang baik untuk stabilitas, dan dia membenarkan keputusannya berdasarkan argumen ini,” katanya.
“Itu juga relatif diharapkan karena Kilicdaroglu kemungkinan besar akan kalah di babak kedua. Dia menghadapi pertarungan yang makin sulit.”
Baca Juga : Divonis Rencanakan Aksi Terorisme, 2 Pemuda Bahrain Dieksekusi Mati di Arab Saudi
Hampir Separuh Tidak Memilih Erdogan, Catatan buat Petahana
Pendukung Erdogan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) langsung merayakan kemenangan Erdogan pada Ahad malam hari di depan Istana Presiden di Istanbul.
”Pemenang pemilihan ini adalah seluruh 85 juta penduduk Turki,” kata Erdogan di depan pendukungnya. ”Kami berhasil menyelesaikan pemilihan putaran kedua. Saya berterima kasih kepada bangsa saya.”
Dalam pidato yang disiarkan televisi setelah kekalahannya, Kemal Kilicdaroglu yang punya 48 persen suara berkata: ”Pemilihan ini dengan jelas menunjukkan bangsa ini memiliki keinginan untuk melawan dan mengubah pemerintahan otokratis Erdogan.”
Kilicdaroglu yang berusia 74 tahun pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP) itu mengatakan: ”Saya akan melanjutkan jalan saya.”
Ucapan selamat dari internasional pun bergulir. Yang pertama adalah Emir Qatar, Tamim bin Hamad Al Thani, yang mengucapkan selamat kepada “Saudaraku Recep Tayyip Erdogan”.
Vladimir Putin dari Rusia, Volodymyr Zelensky dari Ukraina, Emmanuel Macron dari Prancis, dan Abdel Fattah el-Sisi, Presiden Mesir juga memberikan selamat.
Kemenangan Erdogan ternyata membuat nilai tukar mata uang lira Turki ke dolar AS turun lebih dari 0,5 persen menjadi 20,05 persen. Turki menderita di bawah krisis biaya hidup.
Di distrik Maltepe Istanbul, kubu CHP, pemilih terbagi. “Tentu saja, kami datang lagi untuk memilih Kilicdaroglu, meski kemenangan tampaknya semakin sulit,” kata Ali, mahasiswa berusia 22 tahun, kepada Middle East Eye.
“Setidaknya, kami ingin menunjukkan kepada Erdogan bahwa hampir separo negara tidak mendukung pemerintahan otokratisnya.”
Tapi Betul Yilmaz, pendukung Erdogan, tampak senang dengan prospek kemenangan pemilihan presiden ini. ”Kami membutuhkan Erdogan untuk melawan terorisme, memperbaiki negara kami, dan meningkatkan produksi barang-barang lokal,” katanya.
Bagi Kilicdaroglu tak menyangka kalah suara dalam putaran pertama maupun kedua dengan Erdogan. Menjelang pemilihan presiden dan parlemen 14 Mei, beberapa lembaga survei kredibel memperkirakan dia menang langsung di putaran pertama.
Kilicdaroglu telah menyusun aliansi elektoral yang terdiri dari CHP kiri-tengahnya dan lima partai sayap kanan yang disebut Tabel Enam, dan memenangkan dukungan dari HDP pro-Kurdi.
Faktanya Erdogan meraih kemenangan 49,5 persen di putaran pertama. Unggul lima poin dari Kilicdaroglu tetapi gagal melewati ambang 50 persen untuk kemenangan langsung. Maka diadakan Pilpres putaran kedua hari Ahad (28/5).
Selama kampanye putaran kedua, retorika agresif Erdogan mendingin. Sementara Kilicdaroglu mengimbau kaum nasionalis Turkiye dengan janji untuk memulangkan 3,7 juta pengungsi Suriah di negaranya.
Baca Juga : 23 Militan ISIS Dihukum Mati Pengadilan Libya
Kilicdaroglu mencoba mempengaruhi Sinan Ogan, calon presiden ultranasionalis yang punya 5 persen suara di putaran pertama ternyata tak berpihak kepadanya. Sinan Ogan mendukung Erdogan. Pada akhirnya, pemilih Ogan terbagi antara kedua kandidat di putaran kedua.
Di kubu AKP seperti Konya, Yozgat dan Kayseri, presiden meningkatkan perolehan suaranya sebesar 3-5 persen. Sedangkan di wilayah yang didominasi CHP seperti Kirklareli, Edirne dan Tekirdag, Kilicdaroglu meningkatkan perolehan suaranya sebesar 3-4 persen.