Purna Warta – Salah satu pakar HAM di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hari Selasa, 19/10, menganalisa dampak serta efek sanksi ekstrim nan sadis Amerika Serikat atas bagian Kesehatan dan Kedokteran Iran yang sayangnya diikuti oleh beberapa negara.
Elena Dohan, Wakil Khusus PBB dalam urusan HAM membongkar kebohongan Amerika Serikat yang menjanjikan pengampunan sanksi agar tidak mengotori bidang Kesehatan dan Kedokteran Iran dan menjelaskan bagaimana efek dari keputusan satu perusahaan Swedia yang menghentikan aktivitasnya dalam produksi perban bersama Iran. Hal tersebut telah merusak dan mencederai hak warga Iran, khususnya hak dalam kesehatan dan lepas dari penyakit jismani dan psikologis karena sanksi-sanksi AS yang telah mempengaruhi kemampuan Tehran.
“Lihatlah bagaimana warga yang terjangkit penyakit kulit Epidermolisis Bulosa menderita. Penyakit itu sangat menyakitkan dan mengakibatkan banyak luka yang membahayakan. Penderita penyakit ini banyak anak-anak. Mayoritas menyebutnya dengan penyakit kupu-kupu karena itu membuat kulit mengelupas seperti kupu-kupu. Menurut laporan disebutkan bahwa perban produksi Swedia adalah perban paling baik untuk pengobatan, menghilangkan rasa sakit dan mencegah inveksi yang mengancam pasien,” tambahnya.
Menurut analisa Elena, sanksi yang diberlakukan sejak tahun 2018 tersebut telah menakutkan perusahaan Swedia akan sanksi bawaan sehingga mereka memutus hubungan kerja dengan iran.
Menurut para pakar, banyak perusahaan obat-obatan dan kedokteran dunia yang memutus hubungan dengan Iran karena takut denda sanksi sehingga mereka terpaksa menurut. Hal ini menyebabkan Iran tidak mampu mengimpor perban dari perusahaan Swedia. Padahal telah dilaporkan bahwa barang-barang kedokteran dan semua barang bantuan kemanusiaan mendapatkan pengampunan dari sanksi Amerika.
Dalam laporannya di PBB, Elena Dohan menuliskan bahwa meskipun perusahaan Swedia ini memiliki politik HAM tersendiri, tetapi kebijakan pemerintah Swedia dan tanggung jawab internasional mereka menunjukkan satu pelanggaran HAM.
Berdasarkan aturan dan piagam PBB dalam bidang perdagangan dan hak asasi manusia menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan bertanggungjawab untuk menghindari segala bentuk pelanggaran HAM dalam ranah perdagangan mereka. Begitu pula pemerintah harus menjadi penjamin dan menyesuaikan kebijakannya dengan perusahaan-perusahaan dalam tujuan ini. Semua pemerintah berhak untuk menjaga hak kesehatan atau paling tidak melakukan tindak pencegahan akan kemungkinan pelanggaran piagam dunia HAM.
Meskipun Gedung Putih mengklaim bahwa transaksi obat-obatan dan makanan tidak termasuk dalam sanksi, akan tetapi bank-bank dan negara-negara tidak ingin melakukan perdagangan dan transaksi dengan pihak-pihak Iran karena takut dengan pelanggaran yang mungkin mereka lakukan karena sanksi AS, sekalipun di ranah makanan atau obat-obatan.
Amerika Serikat dan Swiss, pada tanggal 30 Januari 2020 mengklaim pelaksanaan mekanisme keuangan baru yaitu SHTA untuk mengirim barang-barang kemanusiaan ke Iran. Padahal bank pusat Iran tidak bisa mentraksaksikan atau mentransfer miliyaran dolar uang minyak antara 2016-2018 melalui chanel ini. Hal ini diungkap dan dikupas oleh 5 pakar di surat kabar Reuters.
Selain bermasalah dalam barang bantuan kemanusiaan, sanksi ekstrim AS ini juga membuat banyak masalah lainnya. Seperti, banyak perusahaan perkapalan dan asuransi yang tidak ingin mengeluarkan izin perdagangan kapal-kapal Iran.
Pemerintah AS, sebagaimana diketahui semua, masih saja menjalankan strategi kunonya mengangkangi transaksi barang-barang kemanusiaan Iran. Pada bulan Oktober-November 2019, Washington telah dikritik dan diprotes karena mengeluarkan instruksi yang tidak memungkinkan transaksi barang-barang kemanusiaan dengan Iran.