Purna Warta – Satu media online Amerika menganalisa indikasi dan kemungkinan opsi pemerintahan Joe Biden tentang politiknya mengenai Arab Saudi. Analis Spy Talk memprediksikan kudeta atas pemerintahan Bin Salman dan kemungkinan dukungan Joe Biden.
Jonathan Broder, seorang pakar urusan keamanan dan militer, menganalisa politik pemerintahan Joe Biden mengenai Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Arab Saudi.
Dalam analisanya di Spy Talk, 21/1, Broder menjelaskan pertanyaan yang ditujukan ke beberapa pakar mantan anggota CIA, yang pernah bertugas puluhan tahun di Asia Barat.
“Beberapa orang bertanya kepada mantan CIA mengenai kemungkinan dukungan pemerintah Joe Biden atas kudeta melawan Mohammed bin Salman (MBS) dan tidaknya,” tulis Jonathan Broder.
Tentang skenario ini, para mantan CIA menjawab, secara umum indikasi dan opsi seperti ini tidaklah jauh dari kemungkinan.
“Douglas London, seorang veteran CIA yang pernah bertugas selama 34 tahun di Timteng, menjelaskan mengenai kudeta Bin Salman bahwa ini adalah tugas kami. Paling tidak kami mendengarkan apa yang terlintas dalam benak oposisi pemerintah Saudi,” kutip Jonathan Broder.
Sementara mantan analis CIA Bruce Riedel, dalam catatan Broder, menjelaskan bahwa Joe Biden akan sangat hati-hati menanggapi hal semacam ini.
“Alangkah baiknya orang-orang CIA mengadakan pertemuan dengan oposisi Saudi yang berniat kudeta. Namun sangat kecil kemungkinan CIA melakukan hal ini,” jelas Riedel dikutip Broder.
“Untuk lepas dari jerat MBS, ada dua opsi. Presiden Joe Biden mengadakan perbincangan dengan Raja Salman dan meyakinkan Raja bahwa sikap Putra Mahkota akan menjelekkan nama Saudi di mata dunia, terkhusus Amerika. Namun opsi ini juga terlalu jauh, bahkan tidak mungkin Raja akan mengeluarkan kebijakan melawan suksesornya. Dan Raja tahu bahwa Amerika tidak akan memiliki pilihan lain selain menerima kerjasama dengan Mohammed bin Salman,” tambah Riedel dalam catatan Jonathan Broder.
Opsi kedua dalam pengamatan para mantan agen CIA adalah teror serta kudeta MBS.
“Para pembenci akan meneror Bin Salman, baik Amerika mendukung ataupun tidak. Jelas bahwa teror ini akan sangat sulit dijalankan, karena Putra Mahkota dijaga oleh Garda Khusus. Di lain pihak, MBS akan melewati banyak hari-harinya di kota NEOM, yang tidak ditinggali orang-orang. Dan menurut laporan hingga saat ini, telah ada 3 kali upaya teror MBS, tapi semuanya gagal,” tulis Jonathan Broder.
Spy Talk menjelaskan pandangan Joe Biden mengenai Mohammed bin Salman, yang menurutnya sangatlah jelas.
“Ketika CIA mengeluarkan laporan tentang perintah Mohammed bin Salman atas pembunuhan Jamal Khashoggi, Joe Biden menyebut Bin Salman dengan ‘satu nyawa’. Sedangkan banyak Pangeran yang tidak menyukai sang Putra Mahkota, bahkan kebijakan-kebijakan MBS telah menjauhkan orang-orang dari sekelilingnya,” tulis Spy Talk.
Avril Haines, Direktus Intel Nasional AS pilihan Joe Biden, berjanji untuk mengeluarkan dokumen dan kasus teror Jamal Khashoggi dari ruang rahasia. Artinya bahwa pemerintah Amerika Serikat menunjuk Mohammed bin Salman sebagai tersangka dan dapat dipastikan bahwa hal ini akan memiliki efek politik dan diplomatik.
Mengenai hal ini, menurut catatan Jonathan Broder dalam Spy Talk, sebagian anggota CIA menegaskan bahwa jika Pangeran-Pangeran oposisi Bin Salman ingin berdialog dengan Amerika mengenai kudeta, maka CIA harus mendengarkan suara mereka.
James Clapper, purnawirawan militer AS dan pegawai di kantor informasi AS periode Barack Obama, kepada Spy Talk menjelaskan, “Strategi kudeta melawan Mohammed bin Salman sangat kompleks dari segi logistik, politik dan diplomatik.”
Menurut Clapper, kudeta butuh pada banyak faktor. Salah satunya siapa dari Pangeran yang ingin ikut terjun ke lapangan dalam kudeta? Pengaruh para Pangeran berbeda-beda dan dari sisi lain, CIA harus mengamati banyak perihal, mulai dari kerahasiaan rencana kudeta, apa bisa dipertahankan atau tidak? Jika CIA akan bertemu dengan para Pangeran, di mana tempat pertemuannya? Dan banyak lagi permasalahan lainnya.
Mantan pejabat di periode Obama ini menambahkan, “Jika maksudnya (kudeta) adalah merubah sistem, maka hal ini akan menjadi hal paling sensitif untuk Amerika. Para politikus AS harus berfikir secara mendalam dan dengan sensitifisme kuat menganalisa opsi serta kemungkinan-kemungkinan, jika ada kegagalan.”
Gregory Gause, salah satu pakar urusan Arab Saudi sekaligus Kepala bagian hubungan luar negeri pemerintahan Bush, dalam hal ini sedikit menasehati pemerintahan baru terbentuk Joe Biden, agar tidak mengadakan pertemuan dengan satupun Pangeran Saudi yang bermaksud untuk kudeta.
Gregory Gause sepakat dengan pendapat yang mengatakan dinginnya hubungan Saudi-AS di periode Biden, tapi Gause yakin bahwa jika Joe Biden ingin kembali ke JCPOA dan negosiasi dengan Iran atau ingin mempertahankan pengaruhnya dalam menjaga harga minyak dunia, maka Joe Biden harus berunding dengan Mohammed bin Salman.
“Amerika Serikat tidak memiliki opsi lain kecuali kerjasama dengan MBS. Karena kontrol urusan Arab Saudi berada di tangan Bin Salman. MBS akan sangat berterimakasih, seandainya dokumen rencana kudeta berada di tangan Biden. Tapi tidak akan terjadi kudeta,” jelas Gause.
Jonathan Broder mengakhiri analisanya dengan membawakan pengamatan Bruce Riedel, yang menjelaskan kepada Spy Talk, “Jika maksud kudeta benar-benar ada, kami juga tidak akan mampu berbuat banyak, kecuali hanya berkata kepada para pengkudeta, jika anda berhasil, kami menerima anda.”
Jika dilihat secara seksama, ini adalah analisa pertama para pengamat Amerika membahas kudeta di Arab Saudi. Mayoritas pakar hanya memprediksi kedinginan hubungan Joe Biden dan MBS. Banyak yang hanya membahas mengenai tekanan Joe Biden kepada petinggi Saudi agar merubah peta politik.
Sebagaimana Gary Sick, mantan anggota Dewan Keamanan Nasional AS menyatakan bahwa terkait Arab Saudi, perang Yaman akan tertulis dalam agenda utama Joe Biden. Kedua adalah masalah tahanan politik.
“Namun bisa dipastikan bahwa pemerintah Amerika tidak memiliki maksud untuk intervensi urusan kekuasaan dalam Arab Saudi dan menolak Mohammed bin Salman,” tegasnya.
Baca juga: Kataib Hizbullah: Keputusan Teror Irak, Ada di Tangan AS-Israel-Saudi