Purna Warta – Para oposisi diikat dulu, barulah Bahrain menyelenggarakan pemilu Parlemen. Dari segi ini, mereka sebenarnya melaksanakan Pemilu formalitas.
Mulai pagi Sabtu, 12 November, pusat-pusat pemungutan suara dibuka untuk menyambut partisipan Pemilu Parlemen. Dewan Perwakilan Bahrain berdiri berasaskan UUD 2002 dan memiliki 40 anggota yang terpilih melalui pemilihan umum. Pemilu Parlemen terakhir juga dilaksanakan tahun 2018 lalu.
Baca Juga : Analisis Al-Mayadeen atas Pernyataan Imam Khamenei
Dikutip dari France-Presse, banyak sosok dan kelompok yang menuntut pemboikotan pemilihan umum sejak beberapa bulan lalu. Dan sekarang dengan dibukanya pos-pos pemungutan suara, ada lebih dari 330 kandidat yang mencakup 73 perempuan yang saling bersaing untuk menduduki 40 kursi Dewan yang kosong. Meskipun kandidat berjumlah tak sedikit, tapi persaingan ini terasa kurang karena absennya partai-partai oposisi.
France-Presse melaporkan bahwa sebagaimana Pemilu 2018 lalu, dua partai kondang oposisi, al-Wefaq yang notabene partai Syiah dan Wa’ad, partai kelompok sekular Manama, telah dilarang untuk berpartisipasi. Kebijakan inilah yang menyebabkan dua partai ini menuntut para pendukungnya untuk memboikot Pemilu.
Ayatullah Sheikh Isa Qassim, Pemimpin revolusi Bahrain, sejak beberapa hari sebelum Pemilu telah menegaskan untuk tidak meramaikan pemilihan umum dan menyatakan, “Suara putih juga akan menyebabkan kelemahan bangsa.”
المشارِكُ في الانتخاباتِ القريبةِ سواءٌ انتخب هذا أو ذاك، أو ألقى ورقته الانتخابيّة فارغةً في صندوق الانتخاب؛ مُشاركٌ في إضعافِ الشّعب، وإذلالِهِ، والهيمنةِ المحكمةِ على حاضرِهِ ومصيرِهِ، وضارٌ بدينه ودنياه.
— آية الله الشيخ عيسى قاسم (@AyatollahQassim) November 9, 2022
“Di pemilihan depan, baik memilih yang ini dan itu, baik dia memasukkan kertas kosong ke kotak suara, dia tetap berperan dalam menghina bangsa dan dia akan merugi baik di dunia dan akhiratnya,” tulis Sheikh Isa Qassim.
Baca Juga : AS ke Lebanon: Haram Terima Bantuan Bahan Bakar dari Iran
Dalam menjawab pernyataan yang menyatakan bahwa demi mendukung demokrasi, harus ikut berpartisipasi dalam Pemilu, Sheikh Isa Qassim menjelaskan, “Bagaimana mungkin tujuan ini akan terealisasi dalam Pemilu yang sudah didesain untuk menghapus demokrasi dan menutup pintu bagi para penuntut demokrasi di semua arah. Bukankah hanya orang-orang yang tunduk di depan diktator yang akan pergi ke sana?.”
“Yang benar adalah jangan ada partisipasi hingga pintu demokrasi tidak tertutup. Jangan sampai diktatorisme menguat sampai kebebasan tidak hilang,” tambahnya.
Sejak revolusi kelompok-kelompok Syiah Bahrain di tengah musim semi Arab di tahun 2011, Manama telah menyelenggarakan Pemilu Parlemen sebanyak tiga kali. Selama ini, petinggi Al Khalifa telah memenjarakan oposisinya termasuk Sheikh Isa Qassim, Sekjen al-Wefaq. Mereka menghapus banyak kewarganegaraan rakyatnya sendiri bahkan sebagian dieksekusi mati.
Ali Abdulemam, Aktivis HAM berdarah Manama mukim Inggris, menjelaskan, “Pemilu ini tidak akan merubah apapun. Tanpa oposisi, kami tidak akan memiliki negara yang sehat.”
Sedari tahun 2018, Bahrain telah melarang anggota partai-partai politik oposisi untuk menjadi kandidat dalam Pemilu Parlemen bahkan mereka menghapus keanggotaannya dalam dewan direksi instansi sipil berdasarkan UUD yang diistilahkan isolasi politik dan sipil.
Baca Juga : Saudi Keluar Kontrol; Ketika Barat Beri Izin Istana Putar Pemerintahan Brutal
Fakta ini juga tercatat dalam laporan Human Rights Watch. Berdasarkan data, ada 6000 hingga 11000 warga Bahrain yang dilarang untuk berpartisipasi dalam persaingan Pemilu Parlemen dan keanggotaan di dewan-dewan komunitas.
Pemilu ini diselenggarakan pasca satu minggu kunjungan Pop Francis ke Manama dalam rangka menguatkan dialog antar agama. Ini merupakan kunjungan kedua Pop Francis ke negara-negara Arab Teluk Persia. Kunjungan pertamanya ke Emirat di tahun 2019 lalu.
Tanpa menyebut nama negara Bahrain, Pop Francis menegaskan kelaziman untuk menghormati HAM dan tidak melanggarnya.