Oleh Gus Yahya, PB NU akan Mendorong Normalisasi Indonesia dengan Israel?

gus yahya dan israel

Oleh: Ismail Amin

Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama telah usai. KH. Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2021-2026 setelah meraih suara terbanyak, mengalahkan rival terberatnya KH. Aqil Siraj yang kembali mencalonkan diri ketiga kalinya.

Keputusan kemudian ditetapkan pada Sidang Pleno V yang dipimpin oleh Ketua dan Sekretaris Panitia Pengarah Muktamar ke – 34 NU, Profesor Muhammad Nuh dan H. Asrorun Niam Sholeh di Gedung Serba Guna, Universitas Lampung, Jumat, 25 Desember 2021.

Berbeda dengan KH. Aqil Siraj, yang melakukan penolakan mengunjungi Israel meski berkali-kali mendapat undangan resmi sebagai ketua umum PB NU, KH. Yahya Cholil Staquf pernah memenuhi  undangan sebagai pemateri dalam kuliah umum The Israel Council on Foreign Relations yang digelar oleh American Jewish Committee (AJC) Global Forum. Atas lawatannya ke Israel di tahun 2018 tersebut, yang akrab dipanggil Gus Yahya ini menuai kecaman baik dari dalam maupun luar negeri.

Otoritas Palestina melalui Kementerian Luar Negerinya menyatakan kecamannya atas partisipasi delegasi ulama Indonesia yang diketuai oleh Yahya Choli Staquf dalam Global Forum di Yerusalem. “Palestina mengecam kunjungan itu dan tidak terima dengan kunjungan tersebut,” tegas Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al Shun, kepada media.

Gerakan Fatah dan Hamas memberikan kecaman jauh lebih keras. Kunjungan anggota Dewan Pertimbangan Presiden tersebut dalam kehadirannya di Israel menurut kedua faksi ini merupakan bentuk dukungan besar dan pengakuan bagi rezim fasis. Fatah menganggap partisipasi cendekiawan Muslim Indonesia Yahya Cholil Staquf pada konferensi hubungan Yahudi-Amerika di Yerusalem sebagai kejahatan terhadap Yerusalem, Palestina, dan Muslim di dunia. Fatah berpendapat duduk bersama penjajah Israel sama dengan melawan rakyat Palestina.

Sementara Hamas menegaskan, kunjungan itu dilakukan di tengah penolakan masyarakat dan tidak adanya hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel.  Kunjungan, kata Hamas, merupakan bentuk dukungan besar dan pengakuan bagi rezim fasis. Hamas menilai kehadiran Gus Yahya akan memberikan pembenaran bagi Israel untuk melakukan kejahatan lebih lanjut terhadap rakyat dan tempat-tempat suci bangsa Palestina.

Fatah dan Hamas meminta Pemerintah Indonesia dan pejabat pro-Palestina Indonesia dan rakyat Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban mereka yang menjual diri mereka kepada ‘setan’ dan ingin menjadi instrumen di tangan Zionis dan Israel.

Tidak hanya menjadi pembicara, kehadiran Gus Yahya di Israel tersebut diwarnai pertemuan khusus dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Foto bersama keduanya, di gugah Netanyahu di akun Twitternya @Netanyahu, dimana ia mengaku merasa senang melihat negara-negara Arab dan Muslim semakin dekat dengan Israel.

“Pertemuan khusus hari ini di Yerusalem dengan Yahya Cholil Staquf, Sekretaris Jenderal organisasi Islam global Nahdlatul Ulama. Saya sangat senang melihat bahwa negara-negara Arab dan banyak negara Muslim semakin dekat dengan Israel!,” kata Netanyahu.

Unggahan tokoh zionis itu memancing reaksi keras dan kecaman dari sebagian masyarakat Indonesia dan komunitas Islam lainnya yang secara politik dan emosional mendukung kemerdekaan Palestina dari Israel.

PB NU sendiri menegaskan, tidak ada kerja sama antara NU dan Israel. Meski Gus Yahya saat itu memegang posisi sebagai Katib Aam Syuriah PBNU, namun PB NU mengklarifikasi kehadiran Gus Yahya ke Israel bukan kapasitas sebagai Katib Aam PBNU, apalagi mewakili PBNU.

Pemerintah Indonesia baik melalui Presiden Joko Widodo maupun Menlu RI Retno Marsudi menegaskan kehadiran Gus Yahya tidak mengurangi komitmen pemerintah RI untuk tetap mendukung kemerdekaan Palestina. Presiden Joko Widodo yang mengetahui perihal lawatan penasehatnya ke Israel, menegaskan dia berangkat bukan bagian dari diplomasi pemerintah Indonesia, namun atas urusan pribadi.

Meski demikian, Jokowi memastikan bahwa apa pun yang disampaikan Yahya dalam forum tersebut, pemerintah Indonesia tetap memegang teguh pendirian dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. “Beliau kan sudah menyampaikan itu urusan pribadi karena dia diundang sebagai pembicara di Israel. Tetapi berbicara di sana saya melihat, karena saya belum mendapat laporan, beliau belum pulang, intinya juga memberi dukungan kepada Palestina,” ujar Jokowi kepada wartawan di Istana Bogor saat itu.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menambahkan isu Palestina akan terus menjadi prioritas politik luar negeri Indonesia, bahkan setelah Indonesia terpilih sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. “Jadi saya tekankan, tidak ada perubahan, atau justru penebalan keberpihakan pemerintah Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina dalam berjuang untuk merebut hak-hak rakyat Palestina. Sekali lagi, Indonesia selalu bersama dengan Palestina,” ujar Retno. Ia kemudian menjelaskan langkah-langkah yang akan dilakukan Indonesia untuk mendorong kemerdekaan rakyat Palestina. Salah satunya, melanjutkan negosiasi perdamaian yang sudah cukup lama terhenti dengan mendorong anggota Dewan Keamanan PBB agar memulai kembali pembicaraan mengenai perdamaian ini. Selain itu, Indonesia akan mendorong agar resolusi-resolusi dewan keamanan PBB terkait dengan Palestina untuk segera bisa diimplementasikan.

Lawatan ulama NU ke Israel yang dilakukan Gus Yahya bukan yang pertama kali. Presiden keempat RI KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selama masa hidupnya pernah mengunjungi Israel sebanyak tiga kali, termasuk ketika menjabat sebagai Ketua Umum PB NU. Saat menjadi presiden, Gus Dur sempat menyuarakan wacana untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hanya saja, rencana itu ditentang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, termasuk penolakan dari dalam tubuh NU sendiri.

Karena itu, munculnya kekhawatiran terpilihnya mantan juru bicara Presiden Gus Dur tersebut sebagai ketua umum PB NU akan memuluskan langkah terjalinnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel, tidak cukup beralasan. Kurang lebih apa Gus Dur yang terakui sebagai pemimpin NU yang cerdas dan sangat berpengaruh bahkan sempat menjabat sebagai presiden RI, namun tetap gagal untuk bisa membuat Indonesia melakukan normalisasi dengan Israel?. Sikap rakyat Indonesia tegas untuk tidak mengakui Israel sebelum Palestina mencapai kemerdekaannya sebagai negara yang berdaulat dan berdiri sejajar dengan negara-negara lain.

Penentangan terhadap penjajahan dan keberpihakan pada negara yang tertindas adalah garis merah yang diatur dalam konstitusi tertinggi Indonesia. Demikian juga dukungan NU untuk kemerdekaan Palestina tidak berubah. NU konsisten mendukung kemerdekaan Palestina sebagaimana sejak diputuskan secara resmi dalam Muktamar ke-13 NU Tahun 1938 di Pandeglang, Banten. Komitmen membela kedaulatan Palestina dengan ibu kota Yerussalem kembali ditegaskan pada Muktamar ke-33, tanggal 1-5 Agustus 2015. Semoga Gus Yahya membawa PB NU tetap menampilkan Islam sebagai agama pembawa perdamaian dan kebenaran, tanpa harus memilih kompromi dengan rezim penjajah sebagai solusi perdamaian.

One thought on “Oleh Gus Yahya, PB NU akan Mendorong Normalisasi Indonesia dengan Israel?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *