Purna Warta – Al-Masirah mengupas kekalahan koalisi Saudi selama 8 tahun invasi perang ke Yaman.
Dalam laporan hasil invasi koalisi Saudi ke Yaman, al-Masirah, 30/3, menuliskan bahwa Saudi-Emirat tidak mendapatkan target politik serta militer apapun. Keruntuhan kota-kota Saudi dalam kobaran api merupakan bukti kekalahan koalisi di tahun ke-8 invasi ini.
“Perang versus Yaman dideklarasikan dari Gedung Putih. Adel al-Jubeir, Duta Saudi di depan awak jurnalis mengabarkan mula serangan ke Yaman. Satu serangan yang dimulai dengan partisipasi AS. Ribuan mile jauh dari AS, media-media Saudi menlansir foto-foto Mohammed bin Salman, Putra Mahkota Saudi, yang memegang telpon di tangan berbincang dengan kamar operasi udara Riyadh. Sebagai Menteri Pertahanan, MBS kepada para pilot mengucapkan selamat atas serangan pertama. Dunia warta Saudi juga menyampaikan pujian-pujiannya. Tetapi media dunia Arab dan Barat, khususnya Inggris, termasuk BBC tidak menggubris peristiwa tersebut,” lapor al-Masirah dalam pendahuluan analisanya.
Baca Juga : Perseteruan Parlemen dan Presiden Makin Mendalam, Apa Yang Tunisia Lakukan?
“Emirat dan Saudi mengira bahwa mereka bisa masuk Sanaa melalui gerbang dalam beberapa minggu ke depan. Karena situasi dalam negeri Yaman memperlihatkan hal seperti itu. Mereka larut dalam khayalan bahwa para revolusioner 21 September mewarisi satu negara kalah, militer yang lelah dan cerai berai, bahkan aktifitas udara tidak ada. Mereka hanya memiliki satu pesawat tempur tua dan usang sisa perang dingin yang tidak akan mampu terbang di malam hari. Tentang sistem pertahanan udara, Yaman banyak mengoperasikannya di bawah pengawasan AS dan disetir oleh mayoritas antek serta abdi koalisi Saudi seperi Ali Abdullah Saleh, yang merupakan seorang pengkhianat pendukung agresi ke negaranya. Tak sampai 3 tahun sejak perang, Ali Abdullah Saleh mengadakan kudeta lewat dukungan Emirat. Melalui jalan ini, dia berusaha membuka jalan untuk para agresor agar sampai ke ibukota Sanaa. Namun demikian, kudeta gagal dan dia menanggung buah perbuatan jahatnya sendirian,” lanjut al-Masirah.
“Satu-satunya hasil yang diraih koalisi Saudi-Amerika adalah kontrol pelabuhan Aden dan selatan pada bulan Mei 2015. Sedari hari itu hingga sekarang, kami tidak bisa membahas tentang langkah maju perang, kecuali serangan ke al-Hudaidah pada tahun 2018, satu tempat di mana pasukan koalisi berhasil mengepung dan memutus jalan penghubung Sanaa-al-Hudaidah. Setelah itu, perang di Ma’rib juga membuat Saudi kehilangan poin. Sementara Sanaa sejak akhir tahun 2015 hingga 2019 sukses membuka blokade 40 medan tempur. Mereka mengambil satu strategi pertahanan untuk menjaga perbatasan. Medan perang di perbatasan dengan Saudi masih terus sengit hingga akhirnya, pasukan Sanaa tiba di sekitaran kota Najran dan mereka berupaya membangunkan petinggi Saudi dari mimpinya,” hemat al-Masirah.
Al-Masirah dalam jurnalnya kali ini juga mengupas peran rudal serta strategi Yaman dalam merubah perhitungan dan menuliskan, “Rudal Yaman dikembangkan oleh tangan-tangan pribumi dengan pengalamannya dengan mengambil sampel dari Rusia dan Korea hingga menghantam bagian selatan Riyadh secara berseri. Namun pada Februari 2017, satu rudal Yaman menyerbu target di wilayah barat ibukota Saudi. Para petinggi Istana tidak memperhitungkan kemajuan perang ini. Mereka mengira bahwa pasukan bersama dengan para sekutu (yang terus bergerak pelan ke ibukota Sanaa) akan mampu meredam ancaman ini sebelum membesar. Begitu juga Emirat, sama dengan mereka, berfikir salah dan menutup mata atas pesan Sanaa yang dikirim melalui rudalnya. Pasukan Yaman menyerang basis militer Al Dhafra, Abu Dhabi, sebagai peringatan akan peran busuk Emirat dalam pengkhianatan. Meskipun Emirat membayar mahal untuk memperpanjang nyawa koalisi di Yaman, namun pasukan Sanaa menyerbu fasilitas atom Barakah dengan satu rudal sebelum menyerang bandara Abu Dhabi dan Dubai.”
Baca Juga : Pasca Gagal Kudeta, Saudara Raja Yordania Turun dari Kursi Pangeran
Terkait perkembangan militer Sanaa, al-Masirah menjelaskan bahwa pada tahun 2021, Sanaa terus merubah arah melawan koalisi di Yaman. Banyak medan perang yang diambil alih dan menghancurkan kartu kunci koalisi di al-Bayda lalu secepat kilat sampai ke Ma’rib.
“Pasukan Yaman berhasil membuka sekitaran kota Ma’rib dari arah tenggara. Keberhasilan ini membuktikan kekalahan besar Saudi yang telah memobilisasi semua kekuatan militernya untuk mencegah kegagalan militer-politik. Sekarang Riyadh hanya bisa memborbardir sipil siang dan malam demi meraih poin-poin dan terus meningkatkan tekanan blokade. Sejak awal tahun lalu, Sanaa juga menyerbu Emirat dengan pesawat tanpa awak dan rudal. Abu Dhabi terkejut dengan kemajuan kemampuan militer Yaman. Hal ini mendesak Emirat menghentikan intervensi dan keluar dari medan tempur Ma’rib. Balasan Yaman telah menyetop agresi Emirat dari selatan. Pasukan Emirat bercokol di bagian selatan dan mereka terdiri dari sekumpulan orang al-Qaeda dan Salafi ekstrim,” tulis al-Masirah.
“Hingga akhirnya, petinggi Emirat menyadari kesalahan perhitungan. Setelah sempat mengurangi operasi sejak resolusi Swedia akhir tahun 2018, mereka kembali ke medan Yaman. Akan tetapi, operasi Topan Yaman sukses mencuri kartu kunci untuk mengakhiri perang di tahun ke-8 perang. Pada September 2019, Yaman memukul keras fasilitas minyak Saudi, Buqayq dan Khurais lebih dari serangan besar lainnya. Serangan ini mampu membelah garis peta Saudi dari Ras Tanura di bagian timur Teluk Persia hingga Yanbu, wilayah barat Laut Merah. Tapi Saudi bertahan dengan sikap sombongnya dan mengikatkan kemenangannya dengan bantuan AS, blokade dan perang ekonomi. Saudi ingin melukai Yaman dari segi ini dan memaksa Yaman kehilangan poin. Namun tidak begitu yang terjadi, karena Sanaa terus menekankan pengangkatan blokade agar tertulis pemisahan urusan kemanusiaan dengan militer,” lanjut al-Masirah.
Baca Juga : Ini Alasan Barat Asia Netral dalam Sanksi Versus Rusia Menurut Analis Inggris
“Baru-baru ini bersamaan dengan serangan Yaman ke target baru, tertulis operasi penghancuran blokade dalam buku agenda. Wakil Menlu Saudi menyebut blokade sebagai hal tak penting yang tidak dibutuhkan Riyadh. Operasi penghancuran blokade menunjukkan peningkatan kemampuan militer untuk mendesak Saudi membuka pengepungan, bukan hanya menguranginya. Perkembangan dunia di tengah perang Rusia versus AS di Ukraina telah memberikan Sanaa kesempatan emas untuk menghancurkan kawat pengepungan koalisi Saudi. Karena Barat sedang mencari Migas Timur Tengah sebagai pengganti energi Rusia dan ini telah menekan Saudi dan sekutu Barat,” hemat al-Masirah.
Di akhir, surat kabar kondang dunia Arab ini menyimpulkan, “Awan tebal dan hitam kobaran api meninggi di langit fasilitas minyak Aramco di Jeddah. Saudi sudah ingin mengangkat blokade, membuka bandara ibukota Sanaa dan pelabuhan al-Hudaidah, sepertinya ini merupakan inovasi tak tertulis Mahdi al-Mashat. Beberapa sumber di antara pasukan bayaran Saudi mengatakan bahwa Saudi menawarkan 100 miliar dolar ke Sanaa untuk menghentikan serangan militer Ansharullah demi menjaga beberapa titik nadi koalisi di dalam Yaman. Sanaa menolak tawaran tersebut dan menuntut penarikan mundur dari Yaman secara menyeluruh dan permintaan maaf karena invasi.”