Baghdad, Purna Warta – Media asal Amerika Serikat, New York Times, menyebutkan dengan konkret bahwa tidak satupun dari tentara AS yang akan meninggalkan Irak.
Fuad Hussein, Menteri Luar Negeri Irak, memimpin delegasi Baghdad menuju Washington sejak Selasa pekan lalu, menindaklanjuti satu perundingan yang disebut perundingan strategis. Mustafa al-Kadhimi, Perdana Menteri Irak, Minggu siang (25/7), telah melakukan perjalanan ke Amerika demi menemui Presiden AS, Joe Biden, pada hari Senin (26/7).
Sudah sekian lama pemerintah Irak ingin membereskan dan mengakhiri rancangan penarikan mundur militer AS dari Irak. Akan tetapi surat kabar New York Times memiliki pandangan lain dan mengklaim akan tidak adanya rencana penarikan mundur militer Pentagon dari Baghdad. Semua ini hanya taktik politik.
Baca Juga : Dering Telpon Mesir – Hizbullah, Bahas Gaza dan Krisis Lebanon
New York Times melaporkan bahwa PM Mustafa al-Kadhimi akan mengadakan kunjungan ke Washington demi bertemu dengan Presiden Joe Biden dan menyelesaikan rencana penarikan mundur pasukan. Di laman warta Irak juga demikian tertuliskan bahwa kunjungan ini untuk mengakhiri intervensi militer Pentagon di Baghdad.
Melanjutkan analisanya dengan menukil pernyataan beberapa sumber di Kemenhan AS dan lainnya, New York Times mengklaim, “Sepertinya Amerika menyetujui rekomendasi Perdana Menteri Irak untuk menentukan waktu penarikan mundur militer. Akan tetapi tidak ada rencana untuk meninggalkan Irak, tak satupun dari 2500 prajurit. Hal itu hanya berkaitan dengan satu taktik dan bentuk pendekatan lain. Militer AS akan menetap di Irak dengan istilah yang berbeda-beda.”
Dalam kunjungan ini, menurut telaah New York Times, PM al-Kadhimi hanya akan mendapatkan satu wejangan taktik politik yang ditujukan untuk memuaskan para kelompok anti-Amerika di Irak dan di saat yang sama, militer AS akan menetap di sana.
“Mungkin inilah yang akan terjadi besok (Senin, 26/7, waktu setempat) bahwa Perdana Menteri Irak akan berupaya menciptakan satu keseimbangan antara dua poros pro dan kontra intervensi militer AS di Irak,” tulis New York Times mengamati.
Baca Juga : Akhir Bulan Madu Saudi – Emirat
Berdasarkan pengamatan surat kabar Amerika tersebut, pemerintahan Joe Biden mengahadapi satu krisis strategi di Irak. Tidak tahu apa yang akan dilakukan di satu kedaulatan yang telah didudukinya sejak 18 tahun yang lalu yang kini jatuh ke tangan pasukan Iran dengan sistem politik yang efektif.
Mustafa al-Kadhimi akan Menyetujui Eksistensi Militer AS di Irak
New York Times kemudian mengklaim bahwa pemerintahan al-Kadhimi bersama dengan beberapa petinggi militer Irak akan menyepakati kehadiran 2500 militer AS secara diam-diam.
“Akan tetapi teror Martir Jenderal Qasem Soleimani dan Abu Mahdi al-Muhandis bersama 8 orang lainnya tidak akan memberikan kesempatan kepada militer AS untuk eksis di Irak dengan bentuk yang sama selama ini. Intervensi dalam bentuk ini tidak lagi memiliki alasan politik,” hemat New York Times.
Baca Juga : Hari-Hari Buruk Tunisia, Krisis Pasca Melawan Diktator 2011
New York Times mengutip pernyataan beberapa sumber dan melaporkan, “Dengan mendapatkan dukungan AS dan adanya intervensi militer AS, al-Kadhimi tidak akan mampu mendapatkan kepuasan kelompok-kelompok bersenjata dan partai-partai anti Amerika di Irak.”
Kepada New York Times, beberapa politikus Irak mengatakan bahwa tujuan utama Amerika intervensi di Irak bukan untuk memerangi ISIS, akan tetapi untuk menghadapi kedaulatan Republik Islam Iran.
Mohammad al-Rubai’e, Jubir Asa’ib Ahl al-Haq, kepada New York Times menjelaskan, “Amerika sedang menipu opini umum dengan merubah istilah intervensi militernya dengan istilah pelatih dan penasihat.”
Thanassis Cambanis, analis senior think tank Amerika yang sempat mendatangi Irak pekan ini, kepada surat kabar New York Times menjelakan, “Perundingan Irak-Amerika menunjukkan bagaimana (cara) kami hadir dengan efektif tanpa mengeluarkan biaya besar politik.”
Baca Juga : Israel Masuk Anggota Uni Afrika, Lonceng Bahaya untuk Palestina
“Kepentingan kedua belah pihak sangat-sangat bertentangan. Karena Amerika yakin bahwa agresi elemen-elemen bersenjata Irak versus kepentingan Washington sama sekali tidak menguntungkan Gedung Putih,” tambahnya.
Militer Amerika Menetap di Irak
Hari Kamis, 22/7, salah satu petinggi di Kemenhan AS dalam satu wawancara dengan surat kabar Asharq mengklaim bahwa berdasarkan perundingan strategis putaran ke-empat antara AS-Irak, pemerintah Baghdad meminta militer AS agar menetap untuk memerangi ISIS.
“Meskipun sukses serangan versus ISIS diraih, namun kelompok teroris ini belumlah hancur. Kami yakin bahwa berdasarkan tuntutan Irak, kami harus menetap di sini demi mendukung kedaulatan Baghdad dalam tugas penting ini.”
Salah satu anggota tim delegasi Irak, kepada surat kabar Russia Today menjelaskan, “Perundingan terus membahas penarikan mundur pasukan AS.”
Baca Juga : Presiden Tunisia: Saya Bukan Diktator
“Pemerintah Irak menuntut penarikan mundur pasukan bersenjata AS dan hanya meninggalkan pelatih dan penasihat (militer). Akan tetapi Amerika juga ingin sebagian pasukan bersenjatanya menetap,” tambahnya.
Menurut pengakuannya kepada Russia Today, hingga saat ini belum terbentuk kesepakatan metode penarikan mundur Amerika dari Irak.
Sampai detik ini belum ada kabar mengenai keputusan resmi penarikan mundur militer Pentagon dari Baghdad. Beberapa media Amerika, hari Kamis (22/7), melaporkan bahwa militer Amerika akan meninggalkan Irak hingga akhir tahun 2021.
Qasim al-Araji, Penasihat Keamanan Nasional Irak, sedikit membuka jadwal penarikan mundur pasukan AS dari Irak dan menyatakan, “Kami telah menegaskan kepada pihak Amerika bahwa Irak tidak butuh pada pasukan bersenjata asing di kedaulatannya. Tanggal 31 Desember 2021 akan ada rasa baru.”