oleh: Ismail Amin Pasannai
Di tulisan ini, saya menguraikan fakta, bahwa mereka yang anti Iran (dan juga paling sering sekaligus anti Syiah) tidak benar-benar mendukung perjuangan raktyat Palestina. Mereka menggunakan isu Palestina untuk meloloskan agenda sektarian mereka, terutama dengan cara memusuhi Iran dan Syiah.
Kelompok-kelompok anti-Iran dan anti-Syiah di Indonesia kerap menampilkan diri sebagai pembela Palestina, namun kenyataannya mereka lebih tertarik pada permusuhan terhadap Iran dan kelompok-kelompok Syiah, yang sebenarnya adalah kekuatan penting dalam perjuangan Palestina. Alih-alih mendukung Iran yang secara konsisten membela Palestina, mereka justru berusaha meremehkan upaya Iran, bahkan seringkali menggembosi perjuangan ini dengan mengalihkan fokus dari inti masalah.
Diakui sendiri oleh petinggi-petinggi Hamas, bahwa Iran, bersama Hizbullah, telah menjadi aktor terpenting dalam perjuangan melawan agresi Israel. Iran sejak kemenangan revolusi Islam Iran adalah negara yang paling konsisten mendukung perjuangan Palestina, baik secara finansial, militer, maupun diplomasi. Dukungan ini mencakup bantuan kepada Hamas, Jihad Islam, dan kelompok perlawanan lainnya. Namun, kelompok anti-Iran justru terus menyerang Iran dengan berbagai tuduhan, seperti “menggunakan isu Palestina sebagai gimmick politik.” Bahkan, mereka menunjukkan kegembiraan ketika Sayid Hasan Nasrullah, pemimpin Hizbullah, terbunuh oleh jet tempur Israel, tanpa menyadari bahwa perlawanan Hizbullah adalah bagian integral dari perjuangan Palestina. Sikap ini secara tidak langsung menguntungkan Israel dengan melemahkan salah satu kekuatan terbesar dalam perjuangan melawan Zionisme.
Mereka juga tidak memberikan dukungan terhadap Houthi di Yaman yang aktif menyerang Israel dan menggagalkan penyaluran senjata ke Israel melalui Laut Merah. Ini menunjukkan adanya agenda sektarian yang lebih besar, di mana Palestina hanya dijadikan alat untuk menyerang Iran dan Syiah, bukan untuk kepentingan rakyat Palestina. Ibarat orkestra yang konsermasternya Amerika Serikat, kelompok anti Iran ini seirama dengan Israel dalam menyanyikan koor “Iran negara sponsor terorisme nomor satu di dunia.”
Mendukung Jaulani yang Menyetop Kebijakan Pro Palestina
Yang lebih mirisnya lagi, atas nama kesamaan ideologi, mereka justru mendukung Jaulani dan Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) yang sekarang berkuasa di Suriah. Sementara tahukah mereka, Khaled Meshaal yang menghubungi Jaulani menyampaikan selamat dan meminta agar kantor Hamas di Damaskus tetap diizinkan beroperasi, ditanggapi oleh Jaulani dengan memerintahkan HTS untuk melucuti senjata dari kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Suriah, menutup kantor Hamas, markas komando Palestina dan kamp-kamp pelatihan, serta membatasi kegiatan aktivis perlawanan Palestina pada ranah politik, dengan menegaskan bahwa “Suriah baru” tidak akan berfungsi sebagai basis operasi perlawanan apa pun terhadap Zionis Israel. Jaulani juga menegaskan musuh Suriah yang baru, adalah Iran dan Hizbullah.
Pelucutan kelompok bersenjata Palestina; Hamas, Jihad Islam, Brigade al-Aqsa, PFLP dan semua kelompok perlawanan Palestina di Suriah tidak perlu dilakukan oleh Israel atau Amerika, namun justru dilakukan oleh kelompok jihadis dengan teriakan takbir. Sungguh memilukan. Disaat yang sama Jaulani tidak memberi komentar apa-apa atas Israel yang terus melancarkan invasinya dan berhasil merebut sejumlah wilayah strategis Suriah. Langkah-langkah yang diambil Jaulani ini jelas sangat merugikan Palestina, karena telah berkontribusi langsung pada melemahnya perlawanan terhadap Israel. Meski demikian, kelompok-kelompok anti-Iran tetap saja memberikan dukungan moral dan politik kepada HTS.
Kegembiraan mereka dengan kejatuhan rezim Bashar al-Assad dengan dalih bahwa Assad adalah “rezim Syiah yang memusuhi Ahlusunnah.” semakin menunjukkan bahwa fokus mereka sebatas pada kepentingan sektarian. Narasi “Kejatuhan Assad adalah kemenangan Ahlusunnah”, tidak hanya keliru tetapi juga mengabaikan kontribusi besar rezim Assad terhadap perjuangan Palestina.
Suriah di bawah Assad menyediakan jalur logistik dan persenjataan dari Iran untuk kelompok perlawanan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam. Suriah juga menjadi tempat pelatihan militer bagi para pejuang Palestina. Asal tahu saja, operasi Taufan al-Aqsa simulasinya dilakukan pejuang-pejuang Hamas di kamp-kamp pelatihan di Suriah di bawah pengawasan IRGC dan Brigade Al-Quds. Atas nama kebencian pada Syiah, kelompok anti Iran bersorak-sorai merayakan kejatuhan Assad yang juga sekaligus menandai berakhirnya kebijakan pro Palestina di bawah Jaulani.
Mengutamakan Agenda Sektarian Dibanding Membela Palestina
Secara keseluruhan, kebanyakan dari kelompok yang mengklaim membela Palestina sebenarnya memiliki tujuan yang lebih besar dalam permusuhan terhadap Iran dan Syiah. Mereka hanya menjadikan Palestina sebagai alat untuk meraih tujuan politik dan sektarian mereka, alih-alih berfokus pada pembebasan Palestina yang sesungguhnya. Bukannya memperkuat ajakan umat Islam bersatu tanpa memandang mazhab, yang mereka lakukan adalah mengkampanyekan permusuhan terhadap Syiah sebagai prioritas utama. Mereka membangun narasi bahwa Iran dan Syiah adalah musuh utama umat Islam, bukan Zionis Israel. Zionis Israel adalah musuh yang kesekian bagi mereka. Jatuhnya Assad yang mereka cap sebagai rezim Syiah, mereka sikapi dengan penuh efouria dengan menyebutnya sebagai kemenangan Islam, padahal genosida di Gaza masih terus terjadi tanpa sedikitpun terpengaruh dengan kemenangan itu. Narasi “Iran dan Syiah musuh Islam” selaras dengan strategi Zionisme yang ingin memastikan umat Islam terus terpecah dan tidak bersatu melawan mereka.
Fakta lainnya, kelompok-kelompok anti-Iran diam dan menutup mata terhadap negara-negara Arab yang menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti Mesir, Turki, Sudan, UEA, Yordania dan Bahrain (Arab Saudi dalam proses normalisasi tapi terhalangi oleh peristiwa Taufan al-Aqsa). Mereka tidak mengkritik normalisasi tersebut karena fokus mereka lebih kepada menyerang Iran. Mereka lebih doyan menuntut dan ingin mendikte Iran kapan dan bagaimana harus menyerang Israel, sementara negara-negara Arab yang pro AS mereka abaikan saja oportunismenya. Sikap ini menunjukkan bahwa mereka lebih peduli pada permusuhan sektarian dibandingkan membela Palestina.
Kelompok anti-Iran dan anti-Syiah juga tetap saja memberikan dukungan mereka sepenuhnya pada Jaulani yang telah menjalin hubungan justru dengan negara-negara pro-Zionis. Terang saja kebijakan Jaulani tersebut secara langsung atau tidak langsung makin memperkuat eksistensi Zionisme di Timur Tengah. Jaulani, dengan dukungan dari negara-negara ini, telah mengalihkan fokus perjuangan ke arah permusuhan terhadap Iran dan Suriah dengan meninggalkan isu Palestina. Tindakan ini tidak hanya menguntungkan Israel secara strategis tetapi juga melemahkan solidaritas dunia Islam dalam melawan Zionisme.
Dari kesemua fakta yang saya tunjukkan di atas, amat terang bahwa kelompok anti-Iran dan anti-Syiah tidak memiliki komitmen nyata terhadap perjuangan Palestina. Mereka lebih memprioritaskan agenda sektarian di atas solidaritas Islam melawan Zionisme. Apa yang telah mereka lakukan dengan tanpa henti mengkampanyekan seruan kebencian pada Iran dan Syiah telah memperlemah infrastruktur perlawanan terhadap Israel. Sikap ini menjadikan mereka lebih sebagai alat kepentingan Zionisme daripada pembela Palestina.
Narasi yang mereka bangun—menggunakan isu sektarian untuk menyerang Iran, Hizbullah, dan Houthi—pada akhirnya hanya memperkuat eksistensi Israel di kawasan. Jika mereka jujur dengan klaim “Bela Palestina”nya, maka seharusnya mereka rela menanggalkan kacamata sektarian mereka, dan lebih mengutamakan persatuan dalam menghadapi Zionisme sebagai musuh bersama.