Oleh: Ismail Amin*
Jakarta, Purna Warta – Masyarakat dunia yang belum terlepas dari efouria pergantian tahun dihebohkan dengan terbunuhnya seorang perwira senior Iran. Pada Jumat 3 Januari 2020 menjelang dini hari, Panglima Korps Brigade Alquds Iran Mayor Jenderal Qasim Soleimani terkonfirmasi sebagai korban jiwa dari insiden serangan drone di dekat Bandara Internasional Baghdad Irak. Pentagon mengkonfirmasi serangan tersebut atas arahan langsung Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Trump mentweet foto bendera AS di akun twitternya, sebagai tanda kemenangan.
Membenarkan tindakannya, Trump berdalih Soleimani yang terdeteksi secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang para diplomat Amerika di Irak harus segera dihentikan langkahnnya. “Jika orang Amerika di mana saja terancam, kami memiliki semua target yang sudah diidentifikasi sepenuhnya. Dan saya siap untuk mengambil tindakan apa pun yang diperlukan. Dan itu khususnya mengacu pada Iran,” katanya di depan pers.
Peristiwa tersebut menyulut kemarahan besar pemerintah maupun rakyat Iran. Pemimpin tertinggi Iran Ayatullah Sayid Ali Khamanei dalam pidatonya menyerukan aksi balas dendam. Ia menyebutnya intiqam-e sakhte (balas dendam yang menyakitkan). Tidak sampai sepekan dari insiden terbunuhnya Qasim Soleimani, Rabu 8 Januari 2020 pada dini hari, Iran menembakkan 22 rudal dengan target markas militer AS, 17 jatuh di pangkalan udara Ain al-Assad dan 5 di kota Arbil, dengan tembakan yang sangat terukur.
Seorang pejabat senior di kantor Pemimpin Tertinggi Iran mengatakan, serangan rudal adalah yang paling lemah dari beberapa skenario pembalasan. Iran juga menyatakan telah keluar dari kesepakatan nuklir 2015 dan tidak ingin membatasi pengayaan uranium. Dalam perjanjian JCPOA, Iran wajib membatasi pengayaan uranium mereka hanya sampai 3,67 persen. Dengan aksi koboi Trump, Iran bersiap membalas dengan melakukan pengayaan uranium dengan kemurnian hingga 90 persen, level yang diperlukan untuk membuat senjata nuklir.
Seperti yang diketahui sudah lama AS mengembargo Iran. Oleh Trump, embargo dan sanksi pada Iran semakin keras. Akibat sanksi tersebut Iran diambang krisis ekonomi. Harga-harga melonjak tinggi. Mata uang Iran atas dollar terjun bebas. Meski hubungan memanas selama 4 dekade, Iran dan AS tidak pernah berkonfrontasi secara terbuka, sampai terjadinya insiden pembunuhan Mayjend Qasim Soleimani. Konfrontasi AS dan Iran selama ini berlangsung dengan menggunakan proxy masing-masing. Pembunuhan Soleimani atas perintah langsung Trump mengubah peta permusuhan. Konflik AS-Iran memasuki fase baru dengan eskalasi yang tinggi. Sebagian pengamat bahkan menyebut, konfrontasi AS dan Iran yang makin memanas dapat memicu terjadinya perang dunia ketiga. Merunut ke belakang, sejak kapan perseteruan AS-Iran ini dimulai?
Mengapa AS Memusuhi Iran?
Patut diketahui, Iran sebelum Revolusi adalah negara satelit AS di Timur Tengah khususnya saat Iran dikuasai Dinasti Pahlevi selama rentang 1925-1979. Jadi bukan sekedar berbaikan, kedua negara ini sangat harmonis. Sejak era Shah Reza Pahlevi, dengan dukungan AS Iran sudah memulai mengembangkan kekuatan militernya termasuk pengembangan senjata nuklir, yang menjadikan militer Iran paling mengerikan terlima di dunia. Pada tahun 1957, AS-Iran menandatangani perjanjian kerjasama nuklir sipil dan tahun 1967 dibangun instalasi nuklir pertama Iran. AS memberi Iran reaktor nuklir dan senjata uranium.
Sebagai balasan atas bantuan dan investasi dana yang dilakukan oleh AS, AS berhak ikut mencampuri urusan dalam negeri Iran seperti; keikutsertaan AS dalam menyusun perundang-undangan kebijakan publik. Akibatnya, rakyat Iran yang menuai imbas buruknya, sementara Shah dan keluarga kerajaan semakin hidup glamour dan menerapkan gaya hidup barat.
Selain itu, melalui Iran strategi-strategi penjajahan dan penguasaan Timur Tengah dirancang AS. Iran di bawah Shah meski tidak terang-terangan mendukung Israel, namun Iran menjadi importir terbesar senjata Israel sekaligus mengekspor minyak ke negara tersebut. Israel juga memiliki misi diplomatik di Teheran, melalui sebuah kantor konsulat. Kemesraan Tehran-Washington termasuk dengan Telaviv tersebut mulai terusik dengan adanya gerakan revolusi yang dipimpin Imam Khomeini. Bahkan hubungan Iran dan AS benar-benar retak ketika revolusi tersebut berhasil menggulingkan Shah Pahlevi.
Revolusi Iran oleh kaum Mullah pada akhirnya mengubah bentuk negara menjadi Republik Islam Iran. Pada 4 November 1979, mahasiswa-mahasiswa Iran menduduki kedutaan AS di Tehran dengan dalih kantor tersebut menjadi pusat intelejen Amerika. Mahasiswa menuntut pemutusan total diplomatik dengan AS. Imam Khomeini mendukung tuntutan tersebut dan memuji langkah mahasiswa dengan menyebutnya sebuah tindakan revolusioner. 4 November kemudian ditetapkan Imam Khomeini sebagai Hari Mahasiswa, salah satu hari peringatan nasional yang diperingati secara gempita setiap tahunnya. Sebelumnya, kantor konsulat Israel diubah oleh Imam Khomeini menjadi kantor kedutaan besar Palestina. Kunci kantor diserahkan langsung putra Imam Khomeini ke Yasser Arafat yang turut hadir dalam peresmiannya.
Kesuksesan Revolusi Islam Iran tidak semata-mata mengubah sistem pemerintahan di Iran yang mengubur kebesaran Imperium Persia yang sempat diperingati ulangtahunnya yang ke-2500 oleh Shah Pahlevi, namun juga berpengaruh banyak bagi AS yang semakin sulit untuk menjalin hubungan kembali dengan Iran. Bagi rakyat Iran, revolusi terjadi justru biang keladinya adalah AS. Shah memuluskan langkah AS untuk leluasa mengeruk kekayaan yang dimiliki Iran. Ikut campurnya AS dalam penetapan kebijakan publik di Iran membuat kaum mullah gerah karena merasa kehilangan harga diri terutama aturan sosial yang diterapkan banyak yang bertentangan dengan syariat Islam. Terlebih lagi, Shah telah mengantarkan bangsa Iran terperosok ke dalam kebagkrutan. Karena itu, jika sistem telah berubah, namun AS tetap masih memiliki pengaruh, maka kemenangan revolusi tidak ada artinya. Imam Khomeini menyatakan pengaruh AS harus dicabut sampai keakar-akarnya. Tidak sampai disitu, Iran adalah negara kaya minyak dan gas. Meski surplus minyak, Iran ogah menjualnya pada AS, negara nomor satu paling butuh minyak. Kepentingan ekonomi inilah yang membuat AS memusuhi Iran tanpa ampun.
Penguasan Tekhnologi Nuklir Kunci Kedigdayaan Iran
Pasca pemutusan hubungan diplomatik dengan AS, memaksa Iran harus melanjutkan proyek pengembangan tekhnologi nuklir dengan tidak bergantung pada bantuan luar. Pada masa sebelum Revolusi, kegiatan nuklir Iran sangat bergantung dan berada dibawah kontrol ketat dari AS dan Barat. Setelah terjadinya Revolusi Iran, dengan kekayaan sepenuhnya digunakan untuk kepentingan nasional, maka didoronglah pengembangan instalasi-instalasi pembangkit nuklir sehingga peningkatan kuantitas, kualitas dan ilmu teknologi nuklir mengalami percepatan yang mencengangkan. Iran melakukan terobosan-terobosan baru untuk memasuki bidang siklus produksi bahan bakar nuklir dan berbagai macam kategori. Pada 11 Februari 2003, di ulangtahun kemenangan revolusi ke-24 Iran mendeklarasikan kemampuannya dalam memperkaya uranium dan juga memamerkan keberhasilan mereka menguasai teknologi nuklir. Keteguhan serta resistensi rakyat Iran dalam menghadapi tekanan asing menjadi faktor utama dalam pencapaian prestasi tersebut.
Sejak Iran mengumumkan keberhasilannya menguasai teknologi nuklir, AS menjadi semakin khawatir dan berusaha mencegah dan menghentikan program nuklir Iran. AS melakukan pendekatan baru untuk menghentikan Iran. Tiga tahapan yang ditempuh AS adalah penangguhan, penghentian, dan pemusnahan. Sementara sebagai langkah pamungkas, AS melimpahkan masalah nuklir Iran ke DK-PBB dengan klaim Iran sedang memproduksi senjata nuklir yang bisa membahayakan keamanan dunia.
Bagi AS, jika Iran berhasil mencapai seluruh proses dalam pengembangan reaktor nuklir, maka kekuatan nasional Iran dan pengaruhnya di tingkat kawasan maupun internasional akan menguat. Iran pun jadi makin tidak bisa didikte. Iran yang secara terbuka anti Zionis bisa membahayakan eksistensi Israel di kawasan. Israel yang selama ini memberi banyak keuntungan bagi negara-negara Barat khususnya AS, terancam masa depannya jika Iran bisa tampil sebagai negara paling digdaya di Timur Tengah. Terlebih lagi Imam Khomeini memberi garis tegas, revolusi Islam Iran belum sempurna tanpa terhapusnya rezim Zionis dari peta dunia. Selain itu, kebesaran Iran akan mengganggu kepentingan AS. Karenanya langkah yang harus ditempuh untuk menggembosi Iran adalah memaksanya menghentikan aktivitas nuklir.
Menekan Iran dari segi ekonomi dengan memberlakukan embargo, justru tidak efektif. Harapan AS jika tekanan secara maksimal kepada ekonomi Iran berhasil, maka Iran dengan sendirinya akan menghentikan program tekhnologi nuklir dan fokus pada perbaikan ekonomi. Namun yang terjadi, embargo malah membuat negeri kaum Mullah itu makin mandiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi Iran mengalami perkembangan yang sangat pesat. Para pengamat menyebut, dengan independensi dan kepercayaan rakyat yang tinggi, Iran adalah negara terkuat di kawasan. Cara lain, AS hendak mengucilkan Iran secara politik dari panggung internasional dengan tuduhan kepemilikan senjata nuklir. AS memasukkan angkatan militer Iran dalam daftar organisasi teroris. Namun International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai lembaga yang mengawasi nuklir setelah melakukan investigasi terhadap Iran menyebut Iran tidak mengembangkan senjata nuklir.
Dari sini jelas, AS memusuhi Iran karena keinginan Iran untuk tampil sebagai negara yang mandiri dan merdeka 100 persen. Pengalaman pahit puluhan tahun berada di ketiak AS, membuat Iran tidak ingin lagi mengulangi kebodohan yang sama, meski dengan itu konsekwensinya sangat berat. Perlawanan dan kekeraskepalaan Iran untuk tidak tunduk pada AS membuatnya banyak kehilangan putra terbaiknya. Pada 3 Januari 2020, Jenderal Qasim Soleimani sebagai figur politik yang paling berpengaruh di Iran setelah Ayatullah Ali Khamanei gugur oleh serangan roket AS. Di tahun yang sama, ilmuan nuklir Iran Dr. Mohsen Fakhrizadeh dibunuh di pinggiran Teheran pada 26 November 2020 oleh Mossad, badan intelijen Israel untuk operasi di luar negeri. Namun oleh bangsa Iran, kematian putra-putra terbaiknya akan membuatnya makin kuat dan makin keras dalam melakukan perlawanan.
*Mahasiswa S3 Universitas Internasional Al-Mustafa Iran
(Tulisan ini pernah dimuat sebelumnya di Majalah Syiar Edisi I: Tahun ke-21/Januari-Februari 2022)