Purna Warta – Hanya beberapa jam setelah serangan bersenjata pada 14 Desember 2025 (23 Azar 1404) terhadap perayaan Hanukkah di pantai Bondi, Sydney, yang menewaskan dan melukai sejumlah warga Yahudi, Benjamin Netanyahu dalam acara di Akademi Kepolisian Israel mengklaim: “Tempat paling aman bagi Yahudi di dunia adalah Israel.” Ia memperingatkan bahwa “serangan lebih lanjut akan terjadi”; pernyataan yang dianggap pengamat sebagai bagian dari taktik lama Netanyahu untuk memanfaatkan setiap insiden anti-Yahudi di dunia guna mendorong Yahudi bermigrasi ke wilayah pendudukan.
Namun, data statistik menunjukkan gambaran yang sangat berbeda. Berdasarkan laporan Pusat Penelitian dan Informasi Knesset (Parlemen Israel) yang diterbitkan pada Oktober 2025, lebih dari 125 ribu warga Israel meninggalkan wilayah pendudukan antara 2022 hingga pertengahan 2024, yang dianggap sebagai kehilangan sumber daya manusia terbesar dalam sejarah rezim ini.
Gilad Kariv, Ketua Komite Imigrasi Knesset, menyebut fenomena ini sebagai “tsunami,” memperingatkan: “Ini bukan lagi tren, ini tsunami. Banyak warga Israel membangun masa depan mereka di luar Israel, dan semakin sedikit yang kembali.” Media berbahasa Ibrani Walla juga menyoroti hal ini dengan laporan kritis berjudul: “Apakah Israel Tempat Paling Aman bagi Yahudi? Statistik Menentang Klaim Netanyahu.”
Migrasi Balik dan Krisis Strategis
Pergerakan warga Israel meninggalkan wilayah pendudukan dapat dibagi dalam tiga tahap yang terkait dengan dinamika politik dan keamanan:
Tahap Pertama (Awal 2023) – Gelombang protes besar menentang reformasi peradilan Netanyahu. Penelitian Universitas Tel Aviv yang dipublikasikan di Yedioth Ahronoth menunjukkan gelombang keluar warga Israel meningkat tajam pada Januari 2023, dengan protes jalanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Banyak warga Israel kehilangan harapan terhadap masa depan politik negara.
Tahap Kedua (7 Oktober 2023) – Operasi Storm Al-Aqsa dan dimulainya perang Gaza menimbulkan guncangan keamanan dan menghancurkan kepercayaan warga Israel terhadap jaminan keamanan. Data Biro Statistik Israel menunjukkan, pada 2024 saja, sekitar 83 ribu warga Israel meninggalkan wilayah pendudukan, sementara hanya sekitar 32 ribu yang masuk.
Tahap Ketiga (2025) – Serangan agresif terhadap Lebanon, Suriah, dan serangan terhadap Iran berlanjut. Menurut Yedioth Ahronoth September 2025, sekitar 79 ribu warga Israel meninggalkan wilayah pendudukan dalam setahun terakhir, sementara hanya 21 ribu kembali. Times of Israel Oktober 2025 melaporkan tren ini kemungkinan akan berlanjut hingga akhir tahun, dengan total keluar antara 2022–2025 melebihi 170 ribu orang.
Bahkan, di kota pemukiman “Kiryat Shmona” di perbatasan utara dengan Lebanon, setengah penduduk belum kembali ke rumah mereka satu tahun setelah gencatan senjata, dan tidak ada bantuan yang memadai bagi mereka yang kembali.
Dampak Ekonomi dan Demografis
Sebagian besar migran adalah generasi muda, profesional teknologi, dokter spesialis, dan pemegang gelar doktor, menurut penelitian yang diterbitkan di media Ibrani seperti Calcalist dan Yedioth Ahronoth. Dalam tujuh bulan pertama 2024, warga Israel mentransfer 7 miliar dolar AS ke luar negeri, menunjukkan “brain drain” sekaligus “capital flight.”
Dampak ekonomi sangat signifikan: menurut studi Universitas Tel Aviv, hilangnya tenaga kerja terampil selama 20 bulan (Januari 2023–September 2024) menyebabkan hilangnya sekitar 1,5 miliar shekel (~400 juta USD) dari pendapatan pajak Israel. Meski tenaga kerja sektor teknologi hanya <8%, pada 2021 sektor ini menyumbang 35% pendapatan pajak penghasilan negara.
Dampak demografis juga terlihat: pertumbuhan populasi menurun dari 1,6% (2023) menjadi sekitar 1,1% (2024), terendah dalam beberapa dekade, akibat migrasi negatif. Populasi warga Israel di wilayah pendudukan pada September 2025 mencapai 10,1 juta, termasuk 216 ribu warga asing dengan izin tinggal panjang, pertama kali dicatat dalam statistik resmi, yang menutupi penurunan nyata jumlah Yahudi.
Kegagalan Netanyahu Menarik Diaspora
Upaya Netanyahu menarik Yahudi diaspora juga mengalami kegagalan. Menurut OECD (November 2025), migrasi ke wilayah pendudukan melalui “Hukum Kembali” turun 30% pada 2024 dibanding 2023. Times of Israel September 2025 melaporkan jumlah imigran baru tidak menutupi separuh warga yang keluar.
Lebih dari 60 ribu pemukim di perbatasan utara dan selatan dievakuasi, dan banyak yang masih takut kembali setelah lebih dari setahun. Hal ini bertentangan dengan klaim Netanyahu soal “tempat paling aman.”
Eric Michelson, Direktur Imigrasi Israel, mengakui di Knesset Oktober 2025: “Kami bukan kementerian untuk menghentikan migrasi balik, dan tidak punya wewenang menghentikannya.” Pernyataan ini menunjukkan kabinet Netanyahu tidak memiliki rencana menghadapi “tsunami” ini.
Serangan Sydney sebagai Alibi Politik
Beberapa jam setelah serangan bersenjata ayah dan anak terkait ISIS di perayaan Hanukkah Sydney, Netanyahu segera memanfaatkannya secara politik. Ia menyatakan: “Israel adalah tempat aman bagi Yahudi di dunia,” sambil menambahkan, “Kami tahu serangan akan terus terjadi.”
Media Ibrani menanggapi klaim Netanyahu yang dianggap retoris dan propaganda. Walla menulis: “Netanyahu mengundang Yahudi diaspora untuk datang, tapi data dan realitas keamanan mempertanyakan klaim ini.”
Anthony Lowenstein, aktivis Yahudi Australia, menyebut Netanyahu “manusia yang memalukan,” mengatakan: “Apa yang dilakukan Israel di Palestina membahayakan semua orang, terutama Yahudi. Israel menggunakan identitas Yahudi sebagai justifikasi kekerasan brutal, memicu antisemitisme global.”
Kontradiksi mendasar klaim Netanyahu adalah bahwa Israel selama 77 tahun eksistensinya tidak pernah mengalami keamanan nyata. Lebih dari 60 ribu pemukim dievakuasi, ribuan roket dan drone menyerang wilayah pendudukan dalam 15 bulan terakhir, ekonomi runtuh meski ada bantuan miliaran dolar; semua ini menunjukkan tidak ada keamanan nyata di wilayah pendudukan.
Upaya Netanyahu menjadikan insiden Sydney sebagai alat menarik imigrasi Yahudi gagal total dan justru menegaskan paradoks mendalam proyek Zionis. Laporan Knesset tentang “tsunami” lebih dari 125 ribu warga Israel yang meninggalkan wilayah pendudukan dalam tiga tahun terakhir dan prediksi kelanjutan tren ini menunjukkan rezim berada dalam krisis eksistensial. Peringatan pemenang Nobel tentang “ancaman eksistensial,” pengakuan Kementerian Imigrasi tidak memiliki rencana menghentikan migrasi balik, serta kritik media Ibrani seperti Walla terhadap klaim “teraman” semuanya menunjukkan bahwa narasi ini bahkan tidak diterima di dalam wilayah pendudukan sekalipun.
Secara keseluruhan, yang terjadi adalah siklus rusak: kebijakan agresif Israel meningkatkan antisemitisme global, tetapi alih-alih mendorong migrasi ke Israel, warga Yahudi justru meninggalkan wilayah pendudukan dan memilih tetap di negara-negara Barat.


