HomeAnalisaMengaji Ulang Hukum Hijab

Mengaji Ulang Hukum Hijab

oleh: Haryati Ismail

Purna Warta – Maraknya penggunaan hijab di kalangan muslimah belakangan ini, tentu menjadi fenomena yang menggembirakan. Hanya saja, harus diakui, trend hijab masih belum sepenuhnya menunjukkan tingkat kesadaran keberagamaan. Fakta, tidak sedikitnya perempuan berhijab melakukan perbuatan-perbuatan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai hijab dan Islam itu sendiri, berhijab tapi berjoget tanpa rasa malu di media sosial.

Ini adalah fenomena miris yang menyertai trend hijab. Terlebih lagi, munculnya sebuah pemahaman bahwa hukum hijab tidak wajib, sehingga banyak kalangan termasuk generasi Z memanfaatkannya. Jika demikian, trend hijab pun pada akhirnya tak ubahnya dengan bentuk fashion lain, yang hanya sekedar gaya populer saja saat ini. Tanpa disertai kesadaran, bahwa hijab adalah hukum wajib Islam, akan ada momennya, hijab akan ditinggalkan ramai-ramai sebagaimana baju kodok dan celana cutbray yang pernah popular era 70-80an.

Baca Juga : Pentingnya Yaumul Quds di Mata Imam Khamenei

Pandangan hukum hijab tidak wajib, dimulai dari munculnya penafsiran yang berbeda terkait perintah hijab dalam surah Al-Ahzab ayat 59. Awalnya, semua ulama klasik sepakat, ayat ini adalah dalil utama diwajibkannya hijab bagi muslimah. Namun, ayat ini dicoba ditafsirkan ulang oleh sejumlah intelektual kontemporer untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai HAM yang diberlakukan di Barat dan juga paham kebebasan “My body, my choice” oleh kalangan aktivis feminis. Maka disebutlah pewajiban hijab tidak sesuai dengan semangat modernitas yang mendengungkan kebebasan dan tidak lagi kompatibel dengan life style yang senantiasa membutuhkan kebaruan.

Dari riwayat masyhur yang digunakan sebagai sebab turunnya ayat hijab, menyebutkan ketika istri nabi pada suatu malam keluar untuk memenuhi kebutuhannya, kaum munafikin menggoda dan mengganggu. Ketika Nabi menegur ketidaksopanan mereka, mereka menjawab bahwa mereka mengira perempuan yang mereka ganggu tersebut adalah perempuan budak. Maka turunlah kemudian ayat perintah hijab, untuk membedakan antara perempuan merdeka dengan perempuan budak.

Bersandar pada riwayat ini, maka disebutlah, hijab tidak lebih dari sebuah sarana untuk membedakan perempuan merdeka dan budak. Dengan terhapusnya perbudakan saat ini, maka dianggaplah  kebutuhan hijab sudah tidak relevan lagi, sebab sudah tidak perlu ada sarana pembeda lagi.

Meninjau Ulang Isi Riwayat

Kesimpulan yang diambil dari riwayat yang dinilai menjadi asbabun nuzul ayat ini adalah tidak semua perempuan mukmin menjadi audiensi hukum hijab dan budak-budak perempuan muslimah tidak termasuk di dalamnya. Padahal sesungguhnya ayat hijab ditujukan kepada seluruh perempuan beriman, dalam ayat ditulis tegas, “Nisaul Mukminin”, yang artinya adalah perempuan-perempuan mukminin, tidak terbatas hanya pada istri-istri mukminin, tidak hanya pada perempuan merdeka. Sebab jika ajakan berhijab ini dimulai dari istri-istri Nabi, maka mereka memiliki surah Al-Ahzab ayat 32-33 untuk mereka.  Dengan diturunkannya surah Al-Ahzab ayat 59 menjadikan audiensi ayat hijab lebih diperluas lagi menjadi perempuan-perempuan mukmin. Artinya, perempuan budak mukmin pun termasuk dalam perintah hijab.

Baca Juga : Pidato Pertama Imam Khomeini Mengenai Hari Quds Sedunia

Berikutnya, jika dikatakan bahwa perintah hijab agar istri-istri mukminin dan perempuan merdeka tidak diganggu, maka riwayat tersebut tidak sesuai dengan ruh Al-Qur’an dan semangat Islam yang menilai semua manusia setara, dan yang membedakan hanya ketakwaan. Karena itu, sangat tidak mungkin Allah SWT hanya memperhatikan perempuan yang merdeka, dan mengabaikan nasib budak perempuan, yang di antaranya juga ada budak perempuan muslim. Apa iya, perintah hijab hanya untuk perempuan merdeka agar mereka tidak diganggu dan dengan tidak diwajibkan pada perempuan budak, maka perempuan budak boleh saja diganggu dan Allah SWT abai pada kesucian dan kehormatan mereka?.

Ulama pada umumnya, dengan bersandar pada kritik matan, menekankan bahwa hadis ini lemah. Mereka menyebutkan, bahwa isi hadits ini tidak sesuai dengan hakikat syariat atau dengan akal manusia, yang merupakan cara terbaik untuk memahami fakta. Pandangan terkuat terkait ayat ini, adalah perintah hijab agar perempuan muslimah dikenal dengan kesuciannya dan membawa pesan khusus kepada laki-laki yang memiliki hati dan jiwa yang rusak, bukan sarana pembeda antara perempuan merdeka dengan perempuan budak.

Selanjutnya, mereka yang berpandangan hijab tidak wajib, mengatakan bahwa dalam surah Al-Ahzab ayat 59 disebutkan, “sehingga mereka tidak diganggu” sebagai dalil bahwa jika perempuan berada pada lingkungan yang aman dan tidak ada potensi kejahatan maka mereka bisa tidak menggunakan hijab. Oleh karena itu, mereka mengambil kesimpulan bahwa ayat ini tidak menunjukkan wajibnya berhijab, karena menilai sebagai sebab diturunkannya perintah hijab.

Sebab Hukum dan Hikmah Hukum

Dalam ushul fiqih, tidak semua putusan hukum syar’i ada hikmahnya, walaupun tidak ada hikmahnya, putusan hukum itu tetap berlaku, ini dikatakan hikmah hukum. Dan kadang pula, putusan hukum itu ada karena ada sebabnya dan jika sebab itu tidak ada maka hukum pun tidak ada, itulah disebut sebab hukum.

Baca Juga : Jutaan Orang Sedunia Berunjuk Rasa pada Hari Quds Kutuk Genosida Israel dan Dukung Palestina

Pertanyaan yang timbul adalah “Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu” itu hikmah atau sebab hukum? Perbedaan antara sebab dan hikmah hukum, jelas. Salah satu ciri penting dalam mengenali sebab hukum adalah adanya alasan yang pasti. Alasan pasti itulah yang menjadi nash tasyri’ tentang konsep prioritas, dan jika kita tidak mempunyai alasan yang pasti, maka kita tidak bisa menetapkan bahwa inilah sebabnya hukum karena tidak ada yang mengetahui kecuali Allah.

Muhammad Baqir Shadr seorang ulama besar ushul fiqh terkemuka mengatakan “untuk sebab hukum, kita membutuhkan dalil. Mengambil sebab hukum bagi kita itu tidak mungkin. Oleh karena itu, harus ada nash dari Allah SWT tentang penyebab sesuatu hal. Ketika kita tidak punya dalil dan kita ragu apakah sesuatu itu penyebabnya atau bukan, maka kita harus bilang itu bukan penyebabnya”.

Banyak bentuk yang sama seperti ayat ini bahwa ini adalah hikmah, artinya kita tidak bisa menggunakan kalimat dan frasa ini sebagai sebab hukum. Contoh serupa di banyak ayat Al-Qur’an, salah satunya dikatakan, “Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”. Tercegahnya dari perbuatan keji dan mungkar bukanlah sebab wajibnya salat. Sebab tidak ada yang berpandangan, bahwa jika seseorang sudah mampu terbebas dari perbuatan keji dan munkar maka tidak wajib lagi baginya mendirikan salat.

Banyak sekali contoh permasalahan ini dalam Al-Qur’an, yaitu manfaat dan kepentingan yang diperoleh setelah melakukan perkara-perkara yang diwajibkan. Jadi bisa dikatakan, inilah kepentingan dan manfaat yang diperoleh setelah mengikuti perintah tersebut. Karenanya, “..agar mudah dikenali sehingga mereka tidak diganggu”, bukanlah sebab diperintahkannya berhijab bagi muslimah, melainkan hikmah diperintahkannya berhijab.

Baca Juga : Mengapa Zionis Selundupkan Sapi Merah dari Texas ke Tepi Barat?

Jadi kewajiban berhijab bagi muslimah adalah hukum syariat yang akan terus berlaku, sebab inti dari perintah berhijab adalah selain sebagai identitas muslimah juga sebagai penjagaan terhadap kesucian dan kehormatan perempuan.

*Mahasiswi S2 Kajian Studi Perempuan dan Keluarga Jamiah Az-Zahra Qom Iran/ Founder Perempuan Bersuara

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here