Oleh: Lukman Nurhakim*
Pada masa kejayaan Pajajaran yang dipimpin oleh Sri Baduga Maharaja,(1482-1521), sang Raja yang bertahtakan di Pakuan Pajajaran (Bogor), akhirnya berhasil mengkonsolidasikan kekuasaan dengan menyatukan Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh di Kawali, Ciamis, Sang Prabu dinobatkan kembali di Pakuan Pajajaran. Di tempat inilah raja menyiapkan jauh-jauh hari ibu kota negara di Pakuan dengan membangun infrastruktur pengairan / irigasi, parit pertahanan, jalan-jalan, danau buatan dan istana yang sangat megah, yang kesemuanya didirikan menopang aktifitas kenegaraan, ekonomi, aksesibilitas rakyatnya, menjaga kelestarian alam bagi lingkungan sekitarnya, memperkuat militer khususnya pasukan darat dan menjaga hubungan diplomatik dengan berbagai kerajaan di sekitarnya, bahkan bangsa-bangsa lain yang jauh, seperti Portugis.
Dalam prasasti Batutulis, sang Prabu menuliskan:
“Semoga selamat, ini tanda peringatan Prabu Ratu almarhum Dinobatkan dia dengan nama Prabu Guru Dewataprana,dinobatkan (lagi) dia dengan nama Sri Baduga Maharaja Ratu Ajidi Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.Dialah yang membuat parit (pertahanan) Pakuan. Dia putera Rahiyang Dewa Niskala yang dipusarakan di Gunatiga, cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancanayang dipusarakan ke Nusa Larang. Dialah yang membuat tanda peringatan berupa gunung-gunungan, membuat undakan untuk hutan Samida, membuat Sahiyang Telaga Rena Mahawijaya (dibuat) dalam (tahun) Saka “Panca Pandawa Mengemban Bumi.” (Terjemahan dari naskah asli aksara Palawa dan bahasa Sunda sansekerta).
Sang Prabu menyadari pentingnya membangun Ibukota Kerajaan menjadi lebih strategis, akomodatif, kuat dan bermakna bagi rakyatnya, karena waktu berkuasanya sepertinya tidak akan lama lagi, hingga dalam beberapa hal beliau sudah menyiapkan penerus kepemimpinan kerajaan melalui suksesi yang berkelanjutan kepada keturunanannya yang dipandang layak untuk melanjutkan kegiatan kenegaraan, yakni Putra Mahkota Pangeran Surawisesa.
Dalam konteks yang lain, sang Sri Baduga Maharaja, mulai memahami konteks geopolitik yang telah berubah di lingkungan regional kerajaan, Kerajaan Majapahit yang selama ini dipandang sebagai ancaman kuat di Nusantara, telah runtuh oleh dinamika internal dan perang saudara yang berkepanjangan, sebuah faktor yang menurut penulis menjadi pemicu dibandingkan kedatangan pengaruh Islam di Kesultanan Demak yang mulai tumbuh tak terbendung yang turut mempercepat kemunduran dan kehancuran “Kekaisaran Nusantara” ini menjadi paripurna. Namun perkembangan ini tidak serta merta bukan ancaman bagi Pajajaran, Demak telah tumbuh menjadi kekuatan baru pengganti Majapahit, sebuah Kesultanan yang kuat secara politik, ekonomi dan militer ekspansionis, yang ditandai dengan usahanya memperluas pengaruh dari mulai penaklukan wilayah-wilayah di pesisir Pulau Jawa, bahkan hingga Melaka di Semenanjung Malaya (Malaysia kini).
Pengaruh Demak, telah memasuki beberapa wilayah Pajajaran yang semi vassal yakni Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten yang juga tumbuh dan masih ada kait mengkait hubungan keturunan dengan keluarga sang Prabu, hingga Cirebon menyatakan diri lepas dari Pajajaran dan didukung secara ekonomi, politik dan militer oleh armada laut Kesultanan Demak saat itu. Di satu sisi Pajajaran telah melihat kekuatan adi daya lain yang datangnya jauh dari eropa yang mulai menancapkan pengaruhnya di dunia dan Asia Tenggara (Nusantara) yakni Portugis.
Pajajaran dimasa pengganti Sri Baduga Maharaja, yakni Prabu Surawisesa, melihat kedatangan delegasi Portugis ke Sunda Kelapa sebagai peluang untuk menjaga perimbangan geopolitik antara pengaruh kekuatan-kekuatan regional dan dunia disekelilingnya untuk menjaga kelangsungan eksistensi kerajaan dengan cara-cara damai dan bijaksana. Tercatat dalam sejarah, Kerajaan Pajajaran menjadi kerajaan pertama yang menjalin hubungan diplomatik, dagang dan militer secara damai dengan bangsa asing eropa pertama di Nusantara.
Dikisahkan pada naskah Nagara Kertabhumi dan sumber Portugis mengisahkan bahwa Pangeran Surawisesa pernah mendapat mandat dari ayahnya untuk menghubungi Alfonso d’Albuquerque seorang Laksamana Bunker di Malaka. Ia pun sebisa mungkin menjalankan amanah tersebut dengan pergi dua kali ke Malaka, dan memperkuat perjanjian kerjasama bilateral ke dua negara.
Dalam ruang sosial kemasyarakan di dalam wilayah kerajaan, Islam telah berkembang di tengah masyarakat, dan banyak dianut oleh rakyatnya, bahkan salah seorang istrinya adalah seorang muslimah yang taat. Raja mulai memandang bahwa faktor internal justeru akan menjadi sumber ketegangan kelanjutan kerajaan, sehingga dia harus mengelola konflik sedemikian rupa agar masa depan kerajaan tidak berakhir sebagaimana halnya Majapahit. Tercatat dalam sejarah dan berbagai prasasti, dimasa Sri Baduga Maharaja inilah konflik internal, perang saudara dan perang perbatasan dan wilayah dengan kerajaan lain tidak pernah terjadi, masa Sri Baduga Maharaja adalah masa damai yang banyak penulis sejarah menyebutnya sebagai masa keemasan Pakuan Pajajaran. Namun dimasa penerus Sri Baduga Maharaja, yakni Prabu Surawisesa konflik internal antar Pajajaran dan Banten, Pajajaran dan Cirebon menghebat, sejarah mencatat 14 kali pertempuran yang sama-sama antar kekuatan tidak ada yang menang dan kalah salah satunya.
Semangat Ibu Kota Pakuan, dalam konteks kekinian
Pakuan Pajajaran yang dalam catatan sejarah Tomi Pires dari Portugis adalah Kota Bogor saat ini, adalah ibukota pemerintahan kerjaan Pajajaran, dimana hampir semua wilayah Jawa Barat saat ini dan sebagian wilayah Jawa Tengah diperintah, Pakuan telah menjadi pijakan cita-cita persatuan, pembangunan, kemakmuran, kesejahteraan dan harmoni masyarakat terus berkembang dari masa ke masa. Bahkan dimasa kolonial, Bogor yang dinamakan Buitenzorg saat itu, artinya kampung aman “tanpa kekhawatiran”, para penguasa kolonial Belanda – Perancis – Inggris yang saling bergantian karena perjanjian para penguasa eropa yang bancakan hasil perang Napoleon, Penguasa Hindia saat itu saat itu “Sir Thomas Stanford Raffles” menjadikan Pakuan sebagai kota khusus yang sangat aman, dengan dibangunnya “Istana Bogor”, maka sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris, yang terletakdi tengah-tengah Taman Hutan (Hutan Raya Bogor) yang banyak orang meyakininya sebagai Hutan Larangan Sri Baduga Maharaja. Dalam pertemuan Kepala negara Indonesia – AS 2006 misalkan, Presiden Indonesia saat itu, Soesilo Bambang Yudhoyono mengundang Presiden AS, George Walker Bush ke Indonesia dan menyambutnya kedatangannya di Istana Bogor sebagai tamu kenegaraan.
Kota Bogor yang berjarak lebih kurang 45 Km dari Ibu Kota Negara Jakarta saat ini, memang menjadi kota yang mudah dijangkau, melalui Jalan Tol Jagorawi, jarak kota ini menjadi sangat singkat waktu perjalanannya yakni 30 – 40 menit dari Jakarta. Istana Bogor menjadi salah satu istana kepresidenan resmi bagi kepala negara untuk beristirahat dan tempat yang sangat nyaman untuk menerima kunjungan tamu-tamu kenegaraan dari negara sahabat. Kota Bogor dengan cuacanya yang sejuk, hijau dan curah hujan yang tinggi menjadi lokasi Istana Kepresidenan yang sangat nyaman bagi tamu negara sahabat untuk melakukan pembicaraan bilateral diplomatik dan perjanjian antar kepala negara saat ini.
Jokowi dan Hubungan Bilateral Indonesia – Iran
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo, Selasa (23/5/2023), menyambut kunjungan resmi Presiden Iran Seyyed Ebrahim Raisi di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat. Kunjungan kali ini merupakan kunjungan perdana Presiden Seyyed Ebrahim Raisi ke Indonesia sejak dilantik sebagai Presiden ke delapan Republik Islam Iran pada 2021. Berbeda halnya dengan kunjungan Presiden AS G. W Bush saat dimasa lalu, kunjungan saat ini terasa hangat, Kota Bogor tidak berubah bagaikan zona perang. Tidak ada ribuan pasukan keamanan berjaga di kawasang ring satu, tidak ada kesatuan anti terror dan kendaraan penyemprot air, panser dan kelengkapan penjinak bahan peledak.
Pertemuan dengan Presiden Iran membahas mengenai situasi geopolitik dunia dan penguatan kerja sama bilateral. Terkait kerja sama ekonomi, Indonesia dan Iran telah menandatangani preferential trade agreement (PTA),dimana ke dua negara dapat bertransaksi langsung menggunakan mata uang masing-masing, tanpa harus ketergantungan kepada nilai tukar mata uang dollar AS, diharapkan dengan penandatangan perjanjian ini nilai perdagangan antar kedua belah pihak akan semakin meningkat.
Nilai kerja sama perdagangan Indonesia-Iran mencapai 257,2 juta dollar AS pada 2022. Angka tersebut meningkat 23 % dari tahun 2021. Indonesia dan Iran juga menjajaki pembentukan kesepakatan B to B,investasi pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan solusi untuk investasi sektor migas. Selain itu, kedua pemimpin negara juga membahas tentang teknologi sinyal perkeretaapian.
Di bidang kesehatan, pembahasan antara lain tentang pilot project untuk telerobotic surgery, pilot project untuk telemedicine, dan kolaborasi telemedicine di 11 puskemas yang telah berjalan. Jokowi juga menyampaikan terkait dengan alih teknologi dan produksi bersama dengan BUMN Indonesia dan kerja sama bioteknologi dan nano teknologi untuk kesehatan, energi pertanian, dan lingkungan.
Sebanyak 10 kesepakatan kerjasama Indonesia-Iran telah ditandatangani. Kerja sama tersebut adalah kerja sama: preferensi perdagangan; pemberantasan peredaran gelap narkotika, zat psikotropika, dan prekursornya; ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi; jaminan produk halal, pengembangan sektor energy, regulasi di bidang produk farmasi, biologi, obat tradisional, kosmetik dan pangan olahan, pembebasan visa bagi pemegang paspor diplomatik dan dinas, bantuan administrasi timbal balik di bidang kepabeanan, promosi perdagangan, dan program pertukaran kebudayaan.
Hal yang lebih penting Jokowi menyampaikan harapan untuk kerja sama riset bersama, alih teknologi, dan assembly, harapan ini tentunya sangat realistis mengingat pencapaian Iran dalam pengembangan bidang ini sedang mengalami kemajuan yang sangat pesat di antara negara-negara di kawasan Timur Tengah lainnya. Dalam kesempatan yang sama kedua negara juga bersepakat untuk lebih meningkatkan peranan masing-masing dalam berbagai isu internasional yang memerlukan perhatian dan keterlibatan bersama, seperti masalah Palestina dan kesempatan dan peranan pendidikan perempuan di Afghanistan, dan kegiatan kemanusiaan lainnya.
Epilog
Akhir dari rangkaian peristiwa sejarah yang bisa kita petik mengenai kota Bogor dan hubungannya dengan moment-moment kenegaraan di masa lalu dan kekinian, bagi penulis sangat menarik, Jokowi seperti berkomunikasi secara simbolik. “Penggunaan simbol merupakan sesuatu hal yang unik karena hanya dilakukan manusia. Simbol merupakan suatu bentuk komunikasi yang tidak langsung, artinya di dalam komunikasi tersebut terdapat pesan-pesan tersembunyi sehingga makna suatu simbol sangat bergantung pada interpretasi individu. Selain sebagai pedoman sosial, simbol juga dapat berfungsi sebagai alat untuk melakukan budaya”, (Sindung Haryanto, Dunia Simbol Orang Jawa, 2013).
Berbagai pertemuan penting di Istana Kepresidenan Bogor, seakan-akan ada benang merah yang bisa dijadikan pesan simbolis, simbolisme sebagai bentuk komunikasi itu penting, bahwa sejarah masa lalu dengan berbagai peristiwa yang menarik adalah cerminan kita menatap ke depan. Pentingnya agenda negara terkait pengembangan ibukota negara (IKN) yang sudah disahkan menjadi UU No.3 Tahun 2022 misalkan, sebagaimana yang telah ditunjukkan sejarah Pakuan Pajajaran melalui Sri Baduga Maharaja yang membangun ketahanan ekonomi dan militer di ibukota masa depannya di Pakuan, akan membuat kota negara yang berkelanjutan, menjadi penggerak ekonomi masa depan dan semakin diperhitungkan dalam pergaulan internasional karena posisinya yang strategis. Hubungan bilateral antar negara sahabat harus dipupuk sedemikian rupa, mengingat situasi geopolitik dunia saat ini juga sedang dinamis, ketergantungan terus menerus terhadap satu negara adidaya juga tidaklah sesuai dengan cita-cita pembukaan Undang-Undang 1945, dimana Indonesia menerapkan politik luar negeri bebas aktif. Dunia saat ini sedang menuju multipolarisme, dan meninggalkan unipolarisme setelah sekian lama Barat khususnya Amerika Serikat telah mendominasi pengaruhnya di negara-negara di dunia, dan efeknya juga dirasakan negara kita. Kehadiran Rusia, Brasil, India dan China (BRICS) diikuti negara-negara besar lain seperti Iran dan Arab Saudi yang memiliki kekuatan ekonomi yang semakin tumbuh kuat, harus menjadi pertimbangan kembali bagaimana hubungan bilateral dibangun secara lebih demokratis, adil, setara, saling menghormati, saling percaya dan menghormati prinsip-prinsip hukum internasional yang diterima secara umum dan piagam PBB.
Hubungan bilateral yang sehat adalah “Koentji” sebagaimana yang ditunjukkan dalam kunjungan Presiden Iran ke Indonesia kemarin, dan Presiden Reisi menyatakan komitmennya sebagai sahabat yang siap bekerjasama jangka panjang, hingga dapat menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang saling menguntungkan bagi ke dua belah pihak yang tentunya akan diuji saat implementasinya nanti. Pada kesempatan itupula Jokowi seakan-akan siap memberikan legacykepada calon penerusnya nanti “demi kepentingan negara” (Tempo, 29/5), tanpa ada bisikan-bisikan dari sekelilingnya yang memintanya melanjutkan masa Jabatan Presiden hingga 3 Periode misalkan, sebagaimana Sri Baduga memberikan amanatnya kepada Putra Mahkota Surawisesa, bahwa dia sudah meletakkan pondasi masa depan Indonesia yang lebih baik ke depan, bahwa meneruskan kesinambungan pembangunan pemindahan ibu kota negara dan hubungan bilateral haruslah terus semakin berkembang.
Jokowi sebagai pemimpin negara yang sudah bekerja membangun Indonesia selama hampir 10 tahun ini dengan segala pencapaian dan kekurangannya, bersiap menyerahkan estafet kepemimpinan nasional dengan damai dan bijaksana, jika Pemilu Presiden 2024 nanti jadi berlangsung, rakyat dan bangsa ini telah siap menentukan pemimpin selanjutnya dari stockyang tersedia saat ini.
Pertanyaannya sekarang adalah…” Oo Siapa dia??”
*Penulis adalah Pemerhati Gerakan Civil Society, Juru Bicara Presidium 98 Bandung
Sumber Tulisan: https://kabarkampus.com/