Purna Warta – Dalam rangka mengenang 33 tahun wafatnya Imam Khomeini, Bapak Pendiri Republik Islam Iran, yang diakui oleh dunia sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam dunia Islam pada abad 20, redaksi menurunkan tulisan berupa transkrip ceramah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada haul ke-3 Imam Khomeini di Aula Pertemuan Kantor Kedutaan Besar Iran di Jakarta.
Berikut transkrip ceramah Gus Dur bagian kedua yang pada saat menyampaikan menjabat sebagai Ketua Umum PB Nahdatul Ulama. Bagian pertama dari transkrip ceramah ini dapat diakses di sini.
___________
Karenanya bagi kaum Muslimin di Indonesia dan kaum Muslimin di bagian-bagian lain dari dunia ini, kalau memang benar-benar mereka merasa terpanggil untuk mengembangkan ajaran Islam, tidak bisa lain harus bersikap jelas, yaitu merasa senasib seperjuangan dengan bangsa Iran, yang telah atau yang sedang berada dalam masa konsolidasi dari sistem yang diwariskan pemimpin besar mereka itu.
Ini adalah sesuatu yang sifatnya historis, sesuatu yang sifatnya hukum sejarah, dimana-mana berlangsung, dalam keadaan dan bagi sistem apapun. Kita semua adalah orang yang mempelajari sejarah secara luas, bukan orang yang sempit pandangan, yang sekedar hanya mengambil sisi-sisi kita saja. Kita belajar dari kejayaan dan kemudian kehancuran peradaban-peradaban di seluruh dunia, baik peradaban Islam maupun peradaban-peradaban lainnya.
Peradaban Islam, yang menjadi salah satu Oikumene dunia dari 16 Oikumene dunia yang diklasifikasi oleh Arnold Jacob Twenty. Kita lihat dari masa oikumene Islam sebenarnya sangat panjang. Ia tidak berhenti hanya dengan hancurnya kerajaan-kerajaan Islam, dia tidak berhenti hanya dengan munculnya kerajaan-kerajaan baru, negara-negara baru yang menentang negara-negara Islam. Bahkan dia tidak berhenti hanya karena bangsa-bangsa lain mengadu domba, memecahbelah dan membuat kaum muslimin bercerai berai.
Tidak, peradaban Islam berjalan terus, karena dia berlandaskan tauhid, dan dibungkus di dalam bungkusan rapat berupa syariah, akhlak dan ilmu-ilmu tradisi keilmuan Islam.
Itulah yang diwariskan oleh para ulama kita dari masa ke masa, dari mulai al-khulafa ula sampai kepada masa sekarang dan insya Allah ke masa yang akan datang. Dalam tradisi sedemikian itu, sekali-kali bila waktunya tepat, kondisinya memungkinkan dan kematangan pandangan telah dapat dicapai, maka akan muncul pemikir, pejuang dan perintis seperti yang kita lihat pada tokoh Imam Khomeini.
Ini adalah suatu hal yang sangat menyejukkan hati, karena bagi kita setelah sekian lama, mengalami kemunduran, keterbelakangan, dan penindasaan serta kehinaan, maka kita masih bersyukur pada bagian kedua abad ke-20 ini kita masih melihat terwujudnya cita-cita Islam dalam bentuk negara Islam di Iran.
Tentu kita tidak dapat menutup mata, melupakan kenyataan terhadap hambatan-hambatan, mungkin kesalahan-kesalahan dan mungkin juga penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dimanapun karena memang sudah sedemikian watak manusia.
“Al insaanu mahal al-khatha’i wa al-nisyaan” (manusia adalah tempatnya salah dan lupa). Karenanya kita belajar dari pengalaman, apa yang telah diwariskan dan kita laksanakan sama-sama oleh kaum muslimin seluruh dunia. Baik dalam bentuk langsung mengikuti apa yang telah diwariskan oleh Ruhullah Imam Khomeini, maupun dalam bentuk dialogis, termasuk mereka yang berbeda pandangan dan menentang pendapat-pendapat beliau. Semuanya adalah proses belajar dari masyarakat Islam yang besar, yang sekarang jumlahnya sudah sedemikian banyak, merupakan tidak kurang dari seperempat umat manusia.
Ini adalah suatu proses besar dimana kita satu sama lain, di dalam bersama-sama sependirian tidak boleh lalai untuk saling mengingatkan dan saling menjaga.
Tetapi apabila kita mendapatkan perbedaan dan kalau perlu pertentangan pendapat, maka kita senantiasa sadar bahwa orang yang berbeda dengan kita pendapatnya itu adalah saudara kita, adalah orang yang sama cita-citanya dengan kita. Karena itu saya menganggap bahwa kita menyelenggarakan majelis semacam ini, yaitu untuk mengenang 3 tahun wafatnya Imam Khomeini, sebagai suatu kesempatan berharga untuk meneguhkan kembali persatuan diantara kita sesama muslimin, yang kebetulan di sini adalah antara kita kaum muslimin di Indonesia dan kaum muslimin di Iran.
Tentu kita masih merasakan pedihnya penderitaan saudara-saudara kita sesama muslimin di bagian-bagian lain dari dunia. Kita melihat bahwa masih sangat banyak penindasan dialami oleh kaum muslimin, juga pertentangan dan bahkan konflik-konflik fisik terjadi antara kaum muslimin dengan orang-orang lain maupun diantara sesama kaum muslimin.
Dan kita harus jujur itu juga terjadi di negeri kita. Jadi ini adalah suatu kenyataan pahit yang sebenarnya akan mematahkan semangat kita, akan memudarkan harapan kita, akan melembekkan tekad kita. Tetapi justru dengan mengajak, melakukan refleksi atas apa yang telah dicapai oleh al-maghfurlah Imam Khomeini, semangat kita, tekad kita, harapan kita menguat kembali dan muncul kembali dalam bentuk yang lebih baik daripada yang sudah-sudah.
Ini saya rasa adalah suatu hal yang sangat perlu mendapatkan perhatian kita, karena kadang kala di dalam kita bertikai ke dalam, atau kita bertentangan dengan orang di luar kita, maka kita seringkali dihadapkan kepada rasa keputus-asaan. Tetapi justru seseorang yang hanya dengan modal tikar sembahyang, hanya dengan modal ayat-ayat Al-Qur’an yang ada di dalam dadanya, telah mampu merubah sejarah.
Maka saya rasa kita semua juga secara kolektif kalau tidak secara individual akan mampu melakukan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan masyarakat kita, menuju kepada keadilan yang tuntas, menuju kepada kesejahteraan yang diinginkan oleh Islam. Menuju kepada pembebasan diri manusia dari segala hambatan untuk mewujudkan arti dan nilai dirinya sendiri bagi kehidupan ini secara keseluruhan.
Nilai-nilai Islam adalah nilai-nilai esensial dari kemanusiaan dan karenanya Islam merupakan suatu rahmat bagi seluruh alam. Nah, tinggalan dari Imam Khomeini untuk kita semua adalah bagaimana mewujudkan sistem yang membawakan nilai-nilai Islam itu secara tuntas, secara utuh, bukan hanya sekedar secara sepotong-potong.
Mungkin kemampuan kita, mungkin peluang kita untuk melaksanakan nilai-nilai Islam secara menyeluruh itu belum ada atau kita sendiri masih jauh dari kekuatan untuk itu, kemampuan untuk itu. Tetapi saya rasa, selama kita bertekad terus untuk mewujudkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat secara utuh, maka betapapun kita berbeda dari segi umur, terutama bagi saudara-saudara generasi muda, saya sudah berumur 51 tahun, karenanya sudah waktunya merasa diri sebagai negerasi tua. Tentu melihat bahwa, tantangan yang ada di hadapan kita, untuk mewujudkan keadilan yang tuntas, untuk mewujudkan kehidupan yang membawakan nilai-nilai yang hakiki dalam kemanusiaan sebagaimana yang dibawakan oleh Islam, tentu tantangan ini tidak mudah untuk diwujudkan.
Tapi dengan datang ke majelis ini, kita akan pulang dengan perasaan kuat bahwa hal itu akan dapat kita wujudkan, lambat atau cepat.
Saya rasa, saya tidak akan berpanjang-panjang karena nanti akan mendengarkan amanat dari Hujjatul Islam Murtadhawi. Karena itu saya cukupkan dengan permintaan maaf apabila disana-sini ada kekurangan dan kesalahan dalam apa yang saya kemukakan tadi.
Wabillahi taufik walhidayah, wa ridho wal inayah.
Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh
_________________
Untuk mendengarkan langsung audio dari ceramah ini dapat diakses di chanel Sahara TV.