HomeAnalisaMediasi Rapuh

Mediasi Rapuh

Purna Warta – Ketika Presiden Rusia Vladimir Putin merayakan ulang tahun ke-70 Oktober lalu, tidak ada satupun petinggi Eropa yang mengucapkan selamat kecuali Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Sejak perang Ukraina, tidak ada satupun pihak anggota NATO yang berbicara dengan Putin kecuali Erdogan. Presiden Turki adalah satu-satunya pihak Benua Biru yang menemui Presiden Ukraina dan Rusia.

Meskipun Ankara mengirim pasukan ke Kiev, namun dari satu sisi mereka terus meningkatkan kerja samanya dengan Beruang Merah di tengah kecaman petinggi Benua Biru hingga mempertanyakan kesetiaan mereka ke NATO. Enggan menetapkan sanksi ke Rusia mampu mempertahankan hubungan baik Erdogan dengan Putin. Para petinggi Ankara meyakini bahwa menjaga hubungan dengan Rusia ini akan mampu menjadikan mereka mediator perang Rusia-Ukraina dan di saat yang sama, mereka juga mampu mempertahankan kepentingan geo-politik.

Mediasi bisa bermanfaat positif ke Kawasan menurut keyakinan petinggi Turki. Ibrahim Kalin, Penasihat senior Presiden Erdogan mengamati bahwa kebijakan perang Rusia ini harus dianalisa secara lebih luas dari sisi geo-politik dari sekedar strategi menjaga keamanan wilayah. Turki membuka kamar diplomatik di tengah konflik bersenjata ini, meskipun hal itu sulit direalisasikan.

Dukung Ukraina Tapi Tidak Benci Rusia

Petinggi Ankara menyebut kedudukan negara sebagai pendukung Ukraina, tapi tidak membenci Rusia. Presiden Erdogan telah mengadakan hubungan telpon dengan Presiden Putin membahas kerja sama bilateral di bidang energi, perdagangan dan impor biji-bijian dari Ukraina melalui laut Hitam. Namun di saat yang sama, mereka mengirim pasukan ke Kiev yang sangat mempengaruhi peta perang.

Menurut analisa banyak petinggi Eropa, relasi Erdogan dengan Putin meskipun berdampak posotif pada diplomatik, akan tetapi urusan tersebut telah menjadi penghalang upaya Benua Biru untuk mengusir Putin dari kancah internasional dan memukul ekonomi Moskow.

Kritik Eropa ke Turki

Perang Ukraina telah mengungkap perselisihan mendalam antara Turki versus NATO. Presiden Erdogan berupaya menjadi aktor utama hubungan Beruang Merah dengan poros Barat lalu menumpangi kelemahan Moskow di luar perbatasan negara. Akan tetapi upaya Erdogan ini bisa membahayakan relasinya dengan petinggi Barat.

Luke Coffey, Analis Hudson Institute, menjelaskan, “Turki ingin menjadi negara yang bisa dipercaya dua negara sekaligus, Ukraina dan Rusia demi mendudukan keduanya di meja yang sama.”

“Tidak ada yang meragukan bahwa kelemahan Rusia karena perang akan menguntungkan Turki,” tambahnya.

Foreign Policy melaporkan bahwa dialog Turki dengan beberapa Legislatif AS, petinggi Eropa dan Amerika menunjukkan bahwa opini umum dalam tubuh NATO adalah the North Atlantic Treaty Organization tidak mampu meneruskan nafas hidupnya tanpa Ankara. Namun di saat yang sama, mempertahankan keanggotaan Turki menguras modal besar.

Kartu Kemenangan Turki

Menurut opini orang luar, politik Turki terkait Ukraina menunjukkan kemenangan geo-politiknya. Presiden Erdogan mengecam agresi Rusia ke Ukraina, tidak mengesahkan wilayah-wilayah pendudukan Kremlin di Kiev dan mengirim pasukan besar ke Ukraina untuk menghadapi gerak maju militer Moskow.

Namun di sisi lain, di tengah serangan sanksi Eropa ke Rusia, Presiden Erdogan mengusulkan kepada Presiden Putin untuk menggunakan pelabuhan aman ekonomi. Jadi Erogan telah memulai langkah untuk menjadi kiblat gas alami Rusia. Namun menurut permainan yang lebih besar diplomatik dan politik antar negara, Turki telah membantu pertukaran tahanan Ukraina-Rusia. Mereka adalah tahanan asal AS dan Inggris yang berperang untuk Ukraina.

Erdogan menjadi mediator tanda tangan resolusi Rusia dan Ukraina yang telah mengizinkan kapal-kapal besar Kiev mengarungi lautan, aman dari gangguan Kremlin hingga berefek pada ketahanan pangan dan menjaga stabilitas harga pakan pasar dunia.

Menarik Rusia ke Meja Perundingan

Recep Tayyip Erdogan meyakinkan diri sebagai satu-satunya petinggi negara yang bisa menarik kaki Rusia ke meja perundingan, meskipun Presiden Rusia menangguhkan ekspor biji-bijian, namun Erdogan berhasil meyakinkannya untuk kembali.

Dalam wawancaara dengan televisi, Presiden Turki menyatakan bahwa Putin tidak suka membuka koridor perdagangan biji-bijian melalui negara ketiga.

“Namun saat saya yang menelpon, dia langsung setuju,” yakinnya.

Dengan semua rekor ini, pengkhianatan Erdogan kepada NATO tidak bisa diaanggap remeh. Turki telah membeli sistem pertahanan Rusia meski dikecam habis oleh para sekutunya. Ditambah lagi, Turki merupakan satu-satunya negara yang menolak keanggotaan Finlandia dan Swedia di NATO karena perang Ukraina.

Sudah menjadi rahasia umum di antara anggota NATO bahwasannya Erdogan telah memikirkan secara matang sebelumnya untuk mengamankan diri sendiri, baik manuver ini berdampak baik pada NATO maupun tidak.

“Tanpa melewati garis merah, Turki berupaya menjalin hubungan baik dengan kedua pihak (Rusia-Ukraina),” terang salah satu petinggi Barat.

Mediasi Merupakan Bantuan ke Ekonomi Turki

Dengan poin-poin istimewa geo-politik sebagai pintu gerbang laut Hitam, Turki tidak ingin melepas kontrol wilayah ini. Di lain sisi, kedekatan ekonomi Turki-Rusia akan menjadi senjata kemenangan Pemilu Ankara yang menghadapi krisis, inflasi dan pengurangan anggaran dalam jumlah besar.

James Jeffrey, eks Duta AS di Turki, menjelaskan, “Menguntungkan Turki dan di saat yang sama mencegat hegemoni Rusia serta tetap menjaga hubungan baik dengan AS dan Eropa. Rusia adalah pihak utama dalam melanggengkan ekonomi Turki di tengah krisis paling buruk dalam sejarah Ankara.”

“Di akhir Turki akan menemani Barat demi mencegah Rusia dalam perang. Turki juga akan bersedia untuk melangkah lebih dan berupaya lebih di hadapan Rusia, Ukraina, Barat dan Timur Tengah,” tambah Jeffrey.

Meskipun Erdogan mengembangkan kerja sama ekonominya dengan Rusia, petinggi Eropa bersedia untuk diam, tidak mengecam dan merahasiakan perselisihannya dengan Ankara bahkan menunjukkan kontrol krisis Ukraina di tangan Erdogan.

Jens Stoltenberg, Sekjen NATO, mengucapkan terima kasihnya kepada Turki karena memediasi pertukaran tahanan perang dan perdagangan biji-bijian antara Rusia-Ukraina serta mendukung hak Kiev.

Julianne Smith, Duta AS di NATO, juga mengucapkan terima kasihnya kepada Turki saat menjawab pertanyaan Foreign Policy tentang peran Turki di NATO serta relasinya dengan Rusia.

“Peran Turki dalam perdagangan biji-bijian merupakan hal nyata penting dan kami sangat berterima kasih karenanya,” tegas Julianne.

Tetapi dengan semua manuver politik ini, Capitol Hill masih geram dengan Ankara. Jeanne Shaheen, Senator Demokrat, menekankan, “Kami harus menyadari bahwa Turki mampu mengirim pasukan penting ke Ukraina. Sebaiknya bantuan ini tetap dalam tubuh NATO dari pada keluar.”

Shaheen meyakini bahwa karena langkah buruk Turki, AS harus mencari jalan untuk menyelidiki Erdogan di waktu yang tepat nanti.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here