Tripoli, Purna Warta – Masa depan Libya teranca semenjak dimulainya krisis Libya pada Februari 2011 dan tumbangnya Muammar Gaddafi karena demonstrasi dalam negeri serta agresi NATO.
Meskipun pihak-pihak politik dalam negeri Libya mengajukan pemaparan baru akan sistem pemerintahan, namun pro-kontra kepentingan dan intervensi asing mengakibatkan perang dalam negeri tahun 2014 antara Khalifa Haftar, Komando Militer Nasional Libya, dan Pemerintah Kesepakatan Nasional pimpinan Fayez al-Sarraj.
Pemerintah Fayez al-Sarraj mendapatkan dukungan dari Turki, Qatar, Uni Eropa dan PBB. Sedangkan Jenderal Khalifa Haftar didukung oleh Saudi, Emirat, Mesir, Rusia dan Prancis.
Baca Juga : RWB: Bin Salman Memerintah dengan Penindasan, Spionase dan Pembunuhan
Berdasarkan laporan PBB, kelompok Wagner (Wagner Group) asal Rusia dengan aktif melawan pemerintahan Fayez al-Sarraj, bahkan mengirim Sukhoi-24. Pemerintah Turki dengan serius turun ke medan melawan Haftar pasca izin Parlemen untuk intervensi militer di Libya. Begitu juga Italia, sebagai mantan penjajah Libya, terjun ke Tripoli untuk memulai eksploitasi baru dan bersejarahnya atas ekonomi dan emas hitam. Emirat turun gunung mendukung Haftar demi kepentingan ekonomi dan penguasaan pelabuhan-pelabuhan strategis Libya.
Pasca Turki turun ke medan perang dan kekalahan militer pimpinan Khalifa Haftar, semua pemain menegaskan jalan keluar diplomatik di bawah gencatan senjata. Kemudian, perundingan demi perundingan politik terkait krisis Libya terus berjalan; Oktober 2020 di Geneva dan November 2020 di Tunisia.
Konferensi lanjutannya adalah konferensi Berlin II berlangsung di Jerman, diramaikan oleh Uni Eropa, AS, Rusia, China, Turki, Liga Arab dan Uni Afrika pada tanggal 23 Juni 2021. Di awal pertemuan, Sekjen PBB, Antonio Guterres menuntut penyelidikan sumber krisis dan tanggung jawab para pejabat atas pelanggaran HAM di Tripoli.
Baca Juga : 30 Rudal Menghantam Pangkalan AS, Ain Al-Assad di Irak
Konferensi Berlin jilid II adalah plan kedua pihak-pihak internasional dalam upaya mengakhiri krisis Libya. Konferensi ini adalah mata rantai konferensi jilid pertama Berlin yang diselenggarakan pada bulan Januari 2020. Hasil konferensi Berlin jilid pertama yang paling penting adalah penegasan akan gencatan senjata, peran Forum Dialog Libya dan menutup impor senjata ke Tripoli.
Di konferensi Berlin II, Najla Mangoush, Menlu Libya, memaparkan inisiatif ‘Stabilitas Libya’. Program yang disusun oleh Forum Dialog Libya ini berisi tentang penyerahan urusan-urusan Libya ke rakyat dan menarik dukungan negara-negara pendukung untuk menciptakan stabilitas.
Program stabilitas Libya, yang menyerahkan urusan dalam negeri ke tangan rakyat, akan diimplementasikan melalui upaya penyatuan militer Libya di bawah satu kepemimpinan, pengaktifan keputusan gencatan senjata dan penentuan jadwal penarikan mundur pasukan asing dan bayaran. Dalam konferensi jilid dua ini, para utusan Amerika Serikat dan Jerman meyakini efek penarikan mundur kekuatan asing dalam jalan stabilitas transisi Libya.
Baca Juga : Sumber Saudi Leaks Bongkar Detail Pertemuan Bin Salman-Al Sisi
Harus diketahui bahwa agresi pasukan NATO bersama oposisi dalam negeri Libya tahun 2011 adalah titik awal sengitnya perang saudara berkepanjangan, krisis kemanusiaan, ekonomi dan sosial Tripoli.
Sekarang, konferensi Berlin jilid II telah membuka harapan penarikan pasukan asing dari negeri Libya dan pintu pulang stabilitas, karena di deklarasi terakhir konferensi Berlin II ditegaskan Pemilihan Umum kepresidenan dan Parlemen pada tanggal 24 Desember 2021.