Purna Warta – Pada tahun 2019, tepatnya di saat pelengseran Presiden Omar al-Bashir terbentuklah Dewan Transisi Sudan dan kesepakatan pembagian kekuasaan hingga Pemilu tahun 2024 antara militer dan aliansi kelompok-kelompok sipil bernama Kebebasan dan Reformasi. Kepemimpinan Dewan ditanggung oleh Abdel Fattah al-Burhan. Adapun Abdalla Hamdok didapuk menjadi Wakil dari para kelompok sipil di kursi Perdana Menteri.
Akan tetapi pada pagi hari Senin, 15 Oktober 2021, media mengabarkan kudeta militer di Sudan. PM Abdalla Hamdok ditahan bersama beberapa petinggi lainnya di pemerintahan Dewan Transisi Khartoum.
Beberapa saat setelah pemberitaan awal kudeta Sudan, Abdel Fattah al-Burhan, Ketua Dewan Transisi, mengumumkan situasi darurat akan pembubaran Dewan Pemerintahan dan Dewan Kementerian Khartoum.
Surat kabar al-Akhbar dalam salah satu tulisannya mengupas situasi Sudan dan menuliskan, “Pada bulan Juni lalu, tersebar pernyataan Mohamed Hamdan Dagalo, Komando Pasukan Bersenjata. Saat itu dia menyatakan, “Kami tidak boleh menipu diri sendiri. Tidak ada perubahan, satu-satunya perubahan yang terjadi adalah Omar al-Bashir dan petinggi militer dicebloskan ke penjara. Kami harus transparan, harus akui bahwa Kamilah yang menjerumuskan mereka ke jeruji.” Ini adalah penjelasan situasi Sudan yang paling detail. 2 tahun setengah sejak pelengseran Omar al-Bashir di tahun 2019, Sudan menjadi satu pemerintahan militer dukungan negara-negara Arab Teluk Persia dan rezim Zionis, yang dibintangi oleh dua sosok: Pertama: Abdel Fattah al-Burhan dan kedua: Mohamed Hamdan Dagalo (Hemeti).
Sebelum Omar al-Bashir lengser, Abdel Fattah al-Burhan memainkan peranan utama dalam keanggotaan Sudan dalam koalisi Saudi di perang Yaman. Setelah al-Bashir jatuh, pada tanggal 11 April 2019, Abdel Fattah al-Burhan memimpin Dewan Transisi dan tertanggal 12 April, dirinya menduduki Kepala Dewan Militer Sudan.
Surat kabar Lebanon, al-Akhbar mengamati dengan seksama penanganan segala urusan pemerintahan Sudan yang berputar di tangan Abdel Fattah al-Burhan ini dan menuliskan, “Abdalla Hamdok beserta para Menterinya dicebloskan ke penjara dalam satu malam. Dan kini Sudan dipimpin oleh pihak yang mengulurkan tangannya agar Khartoum bergabung dalam perjanjian Abraham (Normalisasi Israel) bersama Mesir, Emirat dan Bahrain.”
Bukan satu hal yang mengherankan kecuali bagi orang yang meyakini bahagia Sudan pasca tandatangan pembagian kekuasaan antara militer dan non-militer pada tahun 2019. Sejak awal, neraca militer lebih berat dalam kekuasaan, terkhusus tidak ada jaminan dalam kesepakatan ini yang bisa menjamin realisasi Dokumen UUD.
Sementara Hemeti dalam pertemuannya dengan Omar al-Bashir pada tahun 2006 mengungkapkan 3 permintaan: Ikut dalam kekuasaan, memberikan kursi militer dan memajukan keluarga. Semuanya ini telah terbukti. Militan di bawah pimpinan Dagalo telah diresmikan pemerintah. Dia menjadi pemimpin pasukan tanggap darurat yang dilengkapi senjata. Kemudian dia dikirim untuk operasi kotor dan besar di luar maupun di dalam Sudan, khususnya di Yaman sehingga keahliannya di medan tempur diketahui Emirat dan Saudi. Demikian al-Akhbar mengamati.
Di kelanjutan laporannya ini, surat kabar Lebanon tersebut mengupas tidak aktifnya pasukan non militer di pemerintahan Sudan pimpinan Hamdok dalam menghadapi militer pemerintah di bulan lalu.
“Bahkan di waktu Abdel Fattah al-Burhan bertemu dengan PM Benjamin Netanyahu pada bulan Februari 2020 di Uganda, banyak pihak seperti Hamdok yang menampakkan dukungannya dengan langkah politik militer. Karena mereka hanya berupaya membatasi perbedaan dalam bentuk seni. Koalisi Pembebasan dan Reformasi berfikir bahwa dengan sikap ini mereka bisa mendapatkan persetujuan Barat dan menggerakkan poros Barat tersebut ke arah anti pemerintahan militer Sudan,” jelas al-Akhbar.