Purna Warta – Pemerintah Amerika Serikat pimpinan Donald Trump berupaya keras menghancurkan kesepakatan internasional bernama JCPOA atau resolusi nuklir Iran dan negara 5+1 dengan siasat ‘tekanan ekstrim’ dalam 4 tahun terakhir. Akan tetapi Joe Biden, Presiden baru terpilih Pemilu 2020 membuka indikasi kembali ke JCPOA dengan tujuan perluasan negosiasi ke berbagai bidang.
Associated Press (AP), dalam tulisan Ellen Knickmeyer, mengamati tema ini dan menjelaskan bahwa pemerintahan Joe Biden akan menghadapi pelbagai masalah dalam negeri Amerika, yang bisa merubah siasatnya di hadapan Iran.
Tuduhan miring, ancaman dan tekanan ekstrim pemerintah Donald Trump terhadap Iran, menurut Ellen Knickmeyer, bisa dijadikan contoh masalah ini dan menjelaskan, “Bahkan sebelum serangan di Kongres, krisis dalam negeri Amerika telah melemahkan tangan Gedung Putih untuk mengadakan transaksi deal-deal internasional, salah satunya mengenai masalah nuklir di Timur Tengah. Pertarungan politik sangatlah sengit, tingkat kematian tinggi karena pandemi, pengangguran hingga saat ini masih berada di garis atas,” jelas Ellen Knickmeyer mengamati.
Krisis Dalam Negeri, Layu Dalam Negosiasi Luar Negeri
“Para sekutu dan lawan Amerika menimbang-nimbang seberapa besar perhatian Joe Biden beserta tim kepada masalah nuklir Iran atau masalah lainnya yang menjadi kekhawatiran asing. Apakah resolusi-resolusi internasional yang dijalin Joe Biden akan hangus di tangan kepemimpinan setelahnya atau tidak?,” lanjutnya.
Mengutip pernyataan dari Wendy Sherman, Menteri Luar Negeri pilihan Joe Biden, dalam wawancara terbarunya dengan Boston News, Associated Press melaporkan, “Kami harus kerja keras dalam hal ini, karena kami telah kehilangan validitas dan nama. Sekarang kami lebih lemah dari perkiraan.”
Salah satu koresponden, yang tahu seluk-beluk pemikiran tim Joe Biden (yang namanya tidak ingin disebut), menjelaskan kepada Associated Press, “Jika Iran kembali menjalankan isi resolusi nuklir, kami juga akan melakukan hal yang sama (yaitu kembali ke JCPOA). Ini adalah langkah awal kami.”
Membahas sedikit indikasi yang mungkin dilakukan oleh penentang JCPOA, baik dalam Demokrat maupun Republik, Ellen Knickmeyer menjelaskan, “Mereka tidak ingin melepas siasat tekanan ekstrim begitu saja sebelum mendapat keyakinan bahwa Tehran bukan lagi ancaman bagi Israel, Amerika dan Arab. Hal ini mencakup masalah hegemoni dan pengaruh Iran di Yaman, Lebanon, Irak dan Suriah.”
“Para legislator di Kongres mencegah pencabutan sanksi atas Sepah Pasdaran (IRGC Iran) dan pemain-pemain Tehran lainnya yang dalam pandangan Washington disebut pendukung teroris. Mereka juga tidak ingin mengugurkan siasat tekanan ekonomi yang bertujuan untuk menghalangi Iran mengembangkan senjata atom,” tambah Ellen Knickmeyer.
Sementara Iran, pada tanggal 4 Januari 2021 kemarin, telah mengambil keputusan untuk meningkatkan pengayaan uranium hingga 20%. Iran menegaskan bahwa ini untuk kepentingan bangsa dalam kerangka siasat melawan tekanan ekstrim AS.
Meskipun Josep Borrell, Menlu Uni Eropa, mengkhawatirkan kebijakan Iran ini, namun dia menegaskan bahwa dirinya mendukung langkah diplomasi untuk melancarkan jalan pulang AS dan Iran ke JCPOA.
Baca juga: Jihad Islami: Trump Pergi, Iran Menang