Klaim Normalisasi-Kontinuitas Pendudukan: Faktor Pencegah Kerja Sama Turki-Suriah

Klaim Normalisasi-Kontinuitas Pendudukan: Faktor Pencegah Kerja Sama Turki-Suriah

Purna Warta – Dalam kesempatan kali ini, al-Mayadeen mengupas klaim normalisasi Turki dengan pemerintah Suriah. Kontinuitas Ankara dalam upaya menduduki wilayah Damaskus serta dukungan mereka terhadap kelompok teroris dan kasus imigrasi merupakan beberapa faktor pencegah utama kerja sama dua kedaulatan.

Al-Mayadeen dalam analisanya mengamati perkembangan kondisi realisasi normalisasi Suriah-Turki. Di awal pengamatannya ini dituliskan bahwa ada banyak pertanyaan mengenai pesan serta dampak pernyataan Mevlut Cavusoglu, Menlu Turki, tentang keinginan Ankara akan normalisasi atau kesepakatan antara pemerintah Damaskus dengan oposisi Suriah.

Baca Juga : Pengumpulan Pasukan Tentara Turki untuk Operasi Militer Baru Lawan Suriah

Pertanyaannya sekarang adalah apakah kesepakatan ini akan terealisasi di tengah perselisihan antara Suriah-Turki? Al-Mayadeen mengupayakan menjawab persoalan ini dalam kelanjutan analisanya.

Bagaimana Nasib Intervensi Turki di Suriah?

Salah satu faktor yang menjadi pencegah normalisasi hubungan Suriah-Turki adalah pendudukan Ankara, yang mencaplok 9% luas geografi kedaulatan Damaskus. Pendudukan tanah Suriah oleh Turki dilakukan secara bertahap, karena Ankara secara resmi mendeklarasikan intervensi militer dalam krisis Suriah pada tahun 2016 lalu. Target dari intervensi ini adalah mencapai satu istilah yang digunakan kala itu yaitu pertahanan nasional Turki dan menghapus unit-unit pasukan bangsa Kurdi yang bercokol di perbatasan negara.

Secara militeris, pasukan Turki mendukung penuh kelompok teroris yang menyebut diri sebagai oposisi, termasuk yang disebut Militer Nasional Suriah. Dukungan ini mampu membangun 4 wilayah perbatasan, di mana setiap satu dari 4 wilayah itu memiliki nama tersendiri pasca operasi militer Ankara untuk mengontrol tanah Suriah.

Antara tahun 2016 dan 2017, operasi Perisai Furat militer Ankara membuahkan kontrol mereka atas sekitaran wilayah utara provinsi Aleppo. Pada tahun 2018, kelompok oposisi dengan bekerjasama dengan militer Turki, berhasil mengontrol pinggiran wilayah barat laut provinsi Aleppo di bawah operasi Ranting Zaitun.

Baca Juga : Moskow: Tidak Perlu Senjata Nuklir di Ukraina

Kemudian pada tahun 2019, Turki kembali berupaya menduduki daerah-daerah mayoritas dari wilayah timur Furat di bawah operasi militer bernamakan Mata Air Perdamaian, ini berartikan bahwa mereka telah membangun satu jalur perbatasan sepanjang 100 kilometer dengan kedalaman 33 kilometer.

Operasi ini mencakup sebagian dari pinggiran utara Raqqa, di mana itu adalah satu wilayah di bagian utara jalan besar internasional M4 (jalan besar Aleppo-Laziqiya) dan mencaplok bagian lain dari daerah utara pinggiran wilayah barat laut al-Hasakah. Dalam beberapa kesempatan, militer Turki berusaha menebar hegemoninya di bagian timur Furat, namun mendapatkan protes dari Rusia, Amerika Serikat, poros Muqawamah dan pasukan Demokratik Suriah dukungan Washington.

Sementara pada tahun 2020, operasi Perisai Musim Semi dimulai di provinsi Idlib. Ini adalah operasi terakhir tingkat provinsi yang dilakukan oposisi Suriah mukim Idlib. Saat ini, pasca kecaman serta protes pemerintah Suriah atas manuver Turki, militer Ankara bersama militan bersenjata mampu menduduki sekitar 16.666 km wilayah geografi Suriah. Jadi, seandainya kesepakatan Suriah-Turki dilaksanakan, maka penarikan mundur militer akan tertulis di nomer satu teks resolusi, sebagaimana yang dinyatakan oleh kedaulatan Damaskus dalam setiap kesempatan.

Para analis sedikit mengajukan satu usulan jalan keluar dengan mengamati fakta pendudukan ini, di mana hal itu didasarkan pada pengosongan kuasa dan kontrol Suriah-Turki atas wilayah utara Suriah dan menjadikan wilayah tersebut sebagai wilayah tembok penghalang dua negara, namun di saat yang sama, memerankan peranan penting dalam pengembangan ekonomi dua kedaulatan.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terus mendengungkan proyek privasinya yaitu menciptakan daerah aman meskipun telah berpartisipasi konferensi tingkat tinggi di Tehran dan Sochi. Ide ini mengungkapkan hasrat Ankara untuk menciptakan wilayah aman sepanjang perbatasan wilayah utara Suriah sedalam 30-40 km. Ini merupakan satu hal yang diyakini pemerintah Suriah sebagai faktor pertarungan Ankara-Damaskus.

Nasib Teroris Dukungan Turki, Militer Nasional Suriah

Militer Nasional Suriah dukungan Turki adalah titik kekuatan darat pemerintah Ankara. Khususnya kelompok-kelompok bersenjata Suriah yang berhasil mengontrol wilayah-wilayah utara Suriah. Dengan satu fakta bahwa Turki mendukung mereka dengan senjata dan makanan bahkan pelatihan, Militer Nasional mencakup beberapa militan bersenjata oposisi pemerintah Damaskus yang bernamakan Gerakan Pembebasan Nasional Suriah sebelum Turki beroperasi. Kelompok-kelompok ini diistilahkan Perisai Furat oleh pemerintah Ankara pada Agustus 2016.

Jika Turki-Suriah menginginkan perdamaian, faktor kedua dari penghadang normalisasi ini adalah Militer Nasional Suriah. Di sinilah, Militer Nasional Suriah akan memiliki dua jalan. Pertama; memasuki opsi normalisasi dan tutup mata atas perselisihannya dengan Suriah. Jalan keduanya adalah meneruskan pertarungan dan menolak damai. Jika jalan kedua dipilih, mereka akan binasa. Khususnya di tengah situasi pemutusan dukungan Turki saat menjalin normalisasi dengan Suriah.

Baca Juga : Ekonom Top Amerika Peringatkan Resesi AS Akan Panjang dan Parah

Bagaimana Erdogan Memainkan Kartu Imigrasi Suriah dalam Pemilu?

Faktor pencegat ketiga normalisasi Suriah-Turki adalah urusan imigran Damaskus.  Berdasarkan data statistik, sekitar 3.7 juta penduduk Suriah bermukim di tanah Turki. Pada Agustus 2022 hingga sekarang, Turki memberikan kewarganegaraan kepada 200.950 warga Suriah.

Menteri Dalam Negeri Ankara mengumumkan, “Hingga 31 Maret 2022, ada 113.654 warga Suriah memiliki hak suara dalam Pemilu (Turki).”

Melihat krisis ekonomi Ankara, imigran Suriah mendiktekan masalah besar kepada Recep Tayyip Erdogan yang bernafsu ikut Pemilu kepresidenan untuk ketiga kalinya. Erdogan memanipulasi imigran dengan dua cara:

Pertama; menarik mereka ke arahnya agar dia dipilih. Atas hasrat inilah, Presiden Turki terus membangun kompleks pemukiman untuk mereka dan menyiapkan semua fasilitas di seluruh wilayah kontrol Turki.

Yang kedua berkaitan erat dengan politik dalam negeri. Kartu imigran Suriah, yang masalahnya dipikul pemerintah Turki, ada di tangan Recep Tayyip Erdogan. Pernyataan-pernyataan Erdogan menunjukkan upayanya untuk memeragakan kemenangan di depan semua partai dan pemilik hak suara Ankara. Pernyataan itu diutarakan dalam pidatonya yang ingin memulangkan 1 juta setengah warga Suriah ke perbatasan bawah kuasanya. Hal ini dilakukan pasca pembangunan proyek pemukiman imigran di 13 kota kecil dan daerah penduduk dari Jarabulus hingga Ain al-Ras. Selain itu, Mendagri Turki diutus ke kota Sarmada, provinsi Idlib, untuk mengoperasikan proyek, menegaskan kontrol perbatasan di Suriah dan mempertontonkan hegemoni Turki.

Selain itu, ada target lain yang tak kalah berpengaruh. Salah satunya, menciptakan perubahan populasi dan mengusir warga etnis Kurdi Suriah dari wilayah perbatasan dengan tujuan membangun satu populasi sosial pendukung Erdogan di perbatasan, yaitu satu sosial masyarakat yang takkan mengancam keamanan nasional. Tema adalah ke-Kurdi-an, perubahan nilai di perbatasan di bawah kontrol Turki, pembangunan sekolah hingga universitas, perubahan nama jalan dan bundaran-bundaran Suriah. Ini merupakan masalah-masalah yang manjadi faktor pencegat normalisasi Suriah-Turki.

Baca Juga : Iran Desak Barat Untuk Berhenti Menyangkal Sistem Apartheid Israel dan Kekejamannya

Terkait semua faktor, harus dikatakan bahwa ada daftar tersendiri, karena jumlah aktor utama dalam perhitungan Suriah juga banyak. Semuanya mengantongi kepentingan masing-masing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *