Baghdad, Purna Warta – 1 bulan telah lewat sejak konferensi Dewan Parlemen Irak dan para Wakil sampai sekarang belum berhasil menunjuk seorang Presiden, bahkan sebagian wakil mewanti-wanti kekosongan politik dan vacum of power.
Parlemen baru Irak telah melakukan pelanggaran aturan perdananya karena mereka tidak mampu menunjuk seorang Presiden dan berlalu tanpa penentuan jadwal untuk pemilihannya.
Baca Juga : Serangan Udara dan Rudal Rezim Zionis Israel di Damaskus
Mengutip dari al-Araby al-Jadeed, menurut UUD, para Wakil Parlemen harus memilih sosok Presiden 30 hari setelah konferensi perdana mereka. Pengunduran ini bukan hanya dikarenakan perbedaan akan opsi Presiden, tetapi dikarenakan perbedaan yang lebih besar hingga menjalar ke urusan kepresidenan.
Pertemuan kemarin tidak terlaksanakan karena sebagian memboikot konferensi. Konferensi hanya dihadiri oleh 58 Wakil. Sebagian menyatakan bahwa jika sampai Rabu depan, Presiden belum terpilih, Irak akan menghadapi vacum of power dan kekosongan politik.
Sebelum pertemuan, koalisi pimpinan Nouri al-Maliki menyatakan bahwa para Wakil koalisi ini tidak akan menghadiri konferensi. Aliansi al-Fath pimpinan Hadi al-Amiri juga menegaskan bahwa pemilihan kembali wajah-wajah eks politikus dalam kepemimpinan segitiga akan memberatkan tuntutan bangsa dan Marjaiat Irak. Karena faktor, mereka tidak akan menghadiri konferensi Parlemen.
Gerakan Sadr bersama dengan para mitranya, termasuk partai Demokrat Kurdi dan koalisi al-Siyadah, sudah sejak lama memboikot konferensi. 7 Wakil Parlemen fraksi Turk juga tidak meramaikan konferensi.
Baca Juga : Persidangan Netanyahu Ditunda Lagi, Ada Apa?
Hassan al-Adari, Ketua fraksi Parlemen Sadr, mendapatkan perintah dari atasannya di Gerakan Sadr untuk mengundur masa perundingan fraksi-fraksi Parlemen Irak untuk pembentukan pemerintahan baru. Dia juga memutuskan agar semua Wakil Gerakan Sadr untuk tidak menghadiri perundingan pemilihan Presiden pada hari Senin, 7/2, kemarin, kecuali Wakil Ketua Pertama Parlemen.
Pada hari Minggu, Pengadilan Federal Irak menangguhkan pendaftaran kandidat Hoshyar Zebari untuk kursi Presiden karena pengaduan beberapa Wakil Parlemen dengan alasan buruknya kinerja Hoshyar sebagai Menlu di periodenya.
Di tengah krisis pemilihan Presiden ini, Barham Salih, Presiden Irak, hari Sabtu telah memperingatkan kontinuitas krisis ini dengan menuntut Parlemen agar membangun pemerintahan baru dalam waktu cepat.
PM Mustafa al-Kadhimi juga menegaskan bahwa perseteruan politik tidak boleh menjalar ke pondasi pembentukan pemerintahan.
Baca Juga : AS-Saudi Mencari Jalan Keluar dari Rawa Yaman dan Lebanon
Dengan demikian, konferensi Parlemen kemarin hanya dihadiri oleh 58 Wakil bebas, para Wakil koalisi Pasukan Rakyat dan Wakil dari partai Persatuan Islami Kurdi.
Dua partai utama Kurdi Irak juga berbeda pendapat tentang kandidat Presiden. Partai Demokrat mengajukan Hoshyar Zebari sebagai pilihannya dan partai Persatuan Bangsa Kurdi menuntut pemilihan Barham Salih untuk kedua kalinya.
Gerakan Sadr: Kami Bisa Menggagalkan Konferensi Parlemen
Terkait hal ini, salah satu anggota koalisi Sadr kepada al-Araby al-Jadeed tanpa menyebutkan nama menjelaskan, “Koalisi Sadr bersama anggota Ahlu Sunnah dan Kurdinya telah menunjukkan kemampuannya dalam membatalkan pertemuan Parlemen. Pertemuan Parlemen depan bergantung pada keputusan Pengadilan Federal tentang kandidat Hoshyar Zebari. Gerakan Sadr menghormati pemilihan sekutu Kurdinya di partai Demokrat Kurdi. Jika Pengadilan Federal memutuskan untuk tidak menerima pendaftaran Zebari, Gerakan Sadr menanti opsi lain dari partai Demokrat.”
Baca Juga : PBB Umumkan Pengurangan Bantuan Makanan ke Yaman
Akan tetapi, salah satu anggota Komisi Syiah dalam hubungan telpon kepada al-Araby al-Jadeed menyatakan, “Antar kelompok politik telah membahas kesepakatan dengan koalisi Sadr. Perundingan ini bisa menghasilkan kesatuan pendapat dalam segala segi politik.”
Anggota Komisi tersebut juga menolak segala jenis syarat Muqtada Sadr untuk menyingkirkan Nouri al-Maliki dan menyatakan, “Menerima syarat ini berartikan kehancuran Komisi Syiah dan dari sisi lain, pasca penolakan Nouri al-Maliki, tidak ada jaminan bahwa Sadr tidak akan menuntut pengunduran (kandidat pilihan) kelompok dan partai lainnya.”
Butuh Dialog Lebih
Dari segi lain, Majid Shingali, anggota partai Demokrat Kurdi Irak, kepada media menyatakan, “Perselisihan tentang kursi kepresidenan bukan hanya karena pembatalan pertemuan Parlemen kemarin. Akan tetapi ada perselisihan lain yang menjadi faktor pembatalan pertemuan ini dan perundingan pemilihan Presiden tidaklah mungkin tanpa adanya opsi umum politik.”
Menurut Majid Shingali, pemilihan Presiden Irak berkaitan dengan semua kelompok politik di semua segi. Selain itu, dia juga menganggap Hoshyar Zebari sebagai kandidat partai Demokrat dan mengharap Pengadilan Federal untuk mengambil keputusan positif pendaftarannya.
Baca Juga : Ukraina Kecewa, Jerman Tegaskan Tidak Jual Senjata ke Zona Konflik
Ahmed Sharifi, Analis politik Irak, kepada site al-Mesalla menjelaskan, “Ada indikasi kasus pemilihan Presiden akan diundur hingga dua minggu ke depan, khususnya karena Kurdi masih belum membuat kesepakatan. Semua perbedaan ini butuh pada dialog lebih.”
Jalan buntu pemilihan Presiden terjadi di akhir kesempatan 1 bulan Parlemen dan semuanya diam akan masa setelahnya. Dengan demikian, Barham Salih tetap di kursi kepresidenan tanpa adanya pengaruh dan lainnya.
Ali al-Tamimi, pakar hukum Irak, dalam hal ini kepada al-Araby al-Jadeed menjelaskan, “Kekosongan politik akan terjadi ketika tidak ada Parlemen dan pemerintahan baru. Namun ketika Presiden tidak terpilih, belum bisa mengatakan tentang vacum of power.”
Dalam hukum Irak, sejak dihancurkannya pemerintahan Saddam Hussein, pos kepemimpinan Parlemen berada di tangan Ahlu Sunnah, pos kursi kepresidenan berada di tangan Kurdi sedangkan kursi Perdana Menteri ada di tangan Syiah.
Baca Juga : Penghancuran Sebuah Universitas di Suriah oleh Pasukan Amerika Serikat
Berdasarkan pada kesepakatan antara partai Persatuan Bangsa Kurdi dan Demokrat Kurdi, pemilihan Presiden berada di tangan partai Persatuan Bangsa Kurdi. Akan tetapi di periode sebelumnya dan tahun 2018, partai Demokrat berupaya untuk intervensi di dalamnya dan upaya inilah yang telah menghancurkan kesepakatan dua partai Kurdi.