Purna Warta – Di tahun 2023 pemerintahan Turki pendirian Mustafa Kemal, yang saat ini dipimpin oleh Recep Tayyip Erdogan, akan berumur 100 tahun. Seandainya Mustafa Kemal dibangkitkan dari kubur dan membandingkan situasi saat dirinya meninggal dengan sekarang, dia akan lebih memilih untuk kembali ke liang kubur.
Sebenarnya periode Recep Tayyip Erdogan bisa dijadikan simbol dalam lembaran sejarah baru Ankara. Seorang politikus yang pernah dipenjara karena syiirnya tentang menara-menara masjid, sekarang telah menjadi simbol kebangkitan di Turki.
Pasca kudeta tahun 2016, puluhan ribu orang ditahan dan dilengserkan dari kursi kerjanya. Undang-Undang Dasar Negara beberapa kali mengalami perubahan. Militer, yang sebelumnya menjadi simbol pembela Kemalisme, juga mengalami perubahan berarti.
Baca Juga : Resmikan Ilisu Dam, Bener-Bener Turki Ajak Ribut Tetangga
Jelas perubahan tidak hanya terjadi di kancah politik dalam negeri, tetapi mencakup politik luar negeri, ekonomi bahkan budaya. Akan tetapi masih terselip pertanyaan utama dan itu adalah apakah Erdogan bisa mencapai apa yang di benak rakyat Turki atau tidak?
Politik Nir-Konflik Sirna Tertiup Angin
Dalam 20 tahun periode kepemimpinan Erdogan, sang Presiden telah mengaplikasikan berbagai macam cara dan strategi di kancah politik dalam maupun luar negeri, yang terkadang saling bertentangan 180 derajat.
Erdogan, di periode Kementerian Luar Negeri dan Perdana Menteri Ahmet Davutoglu, berusaha menggali lebih dalam siasatnya untuk Turki di negara-negara Kawasan Timur Tengah dan menihilkan konflik dengan para tetangga. Namun dalam perubahan di tahun 2011 dan periode ricuh terorisme di Suriah, politik ini berubah dan terlupakan.
Sekarang Turki bertarung dengan para tetangganya. Militer Ankara secara transparan intervensi di dua kedaulatan, Suriah dan Libya. Dari sisi lain, republik Azerbaijan juga menjadi pangkalan pasukan bersenjata mereka. Di situ adalah tempat yang menurut analisis para pengamat dikategorikan sebagai medan bermanuver langsung versus Negeri Para Mullah, Iran, dan dukungan atas strategi politik Baku yang berhasrat melebarkan sayap pendudukan di wilayah Kaukasus.
Baca Juga : Unjuk Kekuatan Iran di Selat Hormuz
Diprediksikan bahwa politik intervensi Erdogan saat ini di Azerbaijan adalah manuver baru demi proyek anyar. Faktanya, politik Turki di Libya dan Suriah menemui jalan buntu. Semua negara dunia sepakat penarikan mundur seluruh pasukan asing dari kedaulatan Tripoli. Di Suriah, militer kesatuan Turki akan menjadi bulan-bulanan serangan bersenjata pemerintah Suriah bersama sekutu-sekutunya.
Bahkan pertemuan terakhir di Rusia, antara Erdogan dan Putin, tidak membuahkan hasil dan Moskow tetap melaksanakan operasi pembersihan provinsi Idlib dan Jabhat al-Nusra serta kelompok-kelompok teroris lainnya. Meskipun posisi kawasan Nagorno-Karabakh telah membuka kesempatan untuk Turki agar merealisasikan impiannya membangun koridor agung dari Azerbaijan ke Turmanistan hingga China.
Akan tetapi sangat disayangkan sekali, Erdogan hanya mementingkan nafsu pribadinya dan menutup mata akan kepentingan negara-negara sebelah, sebagaimana yang terjadi di Damaskus.
Turki dan Azerbaijan berupaya melakukan perubahan di wilayah Karabakh, di mana Iran menganggapnya sebagai langkah kontra dengan kepentingan keamanan nasionalnya dan Timteng. Iran menyebut koridor Tehran ke Karabakh dan dari sana ke Rusia sebagai salah satu bagian dari ranah khusus keamanannya.
Baca Juga : Latihan Militer Iran: Generasi Muda dan Senjata Dalam Negeri
Adalah hal alami, aplikasi strategi privasi Erdogan tersebut akan melahirkan sesuatu yang tak lain perselisihan di Kawasan dan jelas bahwa kebijakan ini akan berdampak buruk pada Turki, sebagaimana urusan Suriah dan Libya.
Mungkin tidaklah buruk, jika Presiden Turki menegaskan politik Ahmet Davutoglu yang hanya fokus pada kedalaman strategis nihilisme konflik dan minimalisir tensi dengan tetangga. Sekarang politik ini hanya tertulis dalam lembaran agenda Erdogan.
Efek politik kontroversial Turki berjalan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan instabilitas Irak karena intervensi Ankara di utara Baghdad.
Sama seperti di Suriah, Turki juga membangun pangkalan militer di bagian utara Irak dengan alasan perlawanan versus kelompok Kurdi. Dan saat ini, Muqawamah Irak mendeklarasikan perang menghadapi intervensi arogan Turki.
Baca Juga : China Bangun Basis Militer di Emirat, Apakah Abu Dhabi Ragukan AS?
Apakah Ekonomi Bisa Menjerat Turki-nya Erdogan?
Di bidang ekonomi, Presiden Erdogan tidak memanen buah yang memuaskan. Dalam peta sejarahnya, Turki dibangun berdasarkan kapasitas tinggi perdagangan energi, bahan mentah dan ekspor hasil pertanian serta pabrik.
Keberhasilan Erdogan bersama partainya ke tampuk kekuasaan politik disebabkan krisis ekonomi berkesinambungan Ankara pada dekade 90-an. Krisis bank dan penurunan anggaran pemerintah Turki telah menjatuhkan ekonomi di akhir tahun-tahun abad ke-20 dan awal abad ke-21. Di situasi inilah, Recep Tayyip Erdogan, dengan suksesnya merubah Istanbul, mampu menjadikan dirinya sebagai penyelamat manajemen Ankara.
Setelah Partai Erdogan mencapai tampuk kekuasaan, Turki menguji satu periode renaissance ekonomi. Meskipun jelas-jelas bahwa sukses ini tak luput dari kehadiran Kemal Dervis, Pakar Ekonomi Turki, yang telah mencurahkan keringatnya untuk reformasi sumber cuan. Hanya dalam waktu 2 tahun, ekonomi Turki mencapai rekor tertinggi. Namun demikian, revolusi ekonomi ini berubah menjadi musibah universal karena beberapa masalah dalam dua tahun terakhir.
Baca Juga : Tawaran Israel ke Mesir: Ubah Perjanjian Camp David
Nilai mata uang Lira terus mengalami penurunan bertahap. Jumlah investor juga menurun. Adalah fakta pandemi telah memukul telak pertumbuhan ekonomi Ankara.
Penurunan pendapatan dari pariwisata dibarengi dengan ketidaksingkronan bank Amerika dalam mengeluarkan batas validitas ke bank pusat Turki telah menyebabkan krisis di Ankara. Bank pusat Turki terus berusaha menjaga nilai mata uang Lira, akan tetapi belum jelas sampai kapan usaha ini memungkinkan.
Tekanan ke Turki semakin besar. Dalam pekan kemarin, beterbaran hastag tuntutan pengunduran diri Erdogan di dunia maya. Tekanan ekonomi yang menyebabkan warga semakin miskin juga merespon dan badan-badan sosial Turki menolak imigran Suriah. Salah satu contohnya, pengusiran beberapa pemuda Suriah dengan alasan balasan mereka akan hinaan seorang Turki atas seorang perempuan asal Damaskus.
Diprediksikan bahwa dalam hari-hari ke depannya, nilai mata uang Lira akan tertunduk lesu di hadapan Dolar. Fakta menyebutkan bahwa belum ada kinerja ekonomi untuk lepas dan mengurangi tekanan sumber-sumber mata uang Lira.
Baca Juga : Hamas Masuk Buku Teroris, Apa Bias Hukumnya?
Krisis Lain di Kedaulatan Pimpinan Erdogan
Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, juga menghadapi krisis dengan negara-negara Barat aliansinya. Mungkin yang paling urgen adalah krisis pembelian jet tempur F-35 dan pengusiran Ankara dari program strategis karena pembelian sistem pertahanan S-400 Rusia.
Meskipun Presiden Erdogan mengindikasikan pembelian jet tempur Moskow sebagai pengganti F-35 Amerika dalam beberapa kesempatan, namun nyatanya adalah hingga detik ini, produksi pesawat perang Rusia tersebut belum terproduksi mencukupi, bahkan dalam jumlah yang dibutuhkan Rusia sekalipun.
Dari segi ini, Turki tidak memiliki jalan lain selain pulang ke pangkuan Amerika Serikat. Permohonan Menteri Pertahanan Turki untuk kembali membeli pesawat F-16 bisa dijadikan bukti akan putar arah ini.
Baca Juga : Masihkah Erdogan Mengimpikan Aneksasi Utara Suriah?
Di ranah dalam negeri, sosial Ankara telah terbagi dua dalam dukungannya ke partai pimpinan Erdogan, partai Keadilan dan Perkembangan. Hasil Pemilu lalu dan survei sekarang mempertontonkan jalan kelam yang diarungi partai Keadilan dan Perkembangan, yang mana di setiap waktunya, partai bisa terjatuh. Meskipun perselisihan antar pesaing Erdogan bisa menjadi penyelamat dalam nihilnya aliansi baru untuk melawan sang pemimpin yang telah berkuasa 20 tahun.
Diprediksikan bahwa Erdogan hanya berjarak sejengkal dengan rawa. Insiden jatuh ke rawa ini pernah dialami Perdana Menteri-Perdana Menteri sekular. Sudah bisa digambarkan bahwa Erdogan tak lagi berpengaruh di wilayah-wilayah sekitar dan kuno Turki. Meskipun peristiwa terakhir pekan-pekan lalu menunjukkan kontradiksinya.
Dan mungkin saja titik lemah ini memaksa Erdogan untuk mengarungi satu adventure baru di Armenia dan wilayah Karabakh. Presiden Erdogan menyadari dukungan kuat para nasionalisme Turki dalam hal ini. Tapi mungkin Erdogan akan membayar lebih mahal daripada di Suriah dan Libya untuk bangun.
Baca Juga : Krisis Saudi-Lebanon, Apakah Operasional Skenario Anti-Beirut Israel-AS?
Analisis pendek bidang militer dan ekonomi Ankara menunjukkan bahwa pidato membara tidak akan mampu menyelesaikan krisis Ankara sekarang. Ekonomi dan situasi dalam negeri hanya butuh tekanan kecil agar bisa meledak. Jika terjadi hal seperti ini, pihak yang paling bersalah adalah Recep Tayyip Erdogan karena nafsu kekuasaan tak rasionalnya.