Purna Warta – Rezim Zionis Israel pada Selasa (17/9) melancarkan serangan siber terhadap Lebanon yang menyebabkan sedikitnya 9 orang tewas dan 2,800 lainnya luka-luka. Serangan siber ini dilakukan dengan meledakkan perangkat komunikasi nirkabel yang dikenal dengan pager di sejumlah lokasi di Lebanon secara serentak.
Baca juga: Iran Kutuk Serangan Teroris Israel di Lebanon
Di antara mereka yang tewas terdapat seorang gadis berusia 9 tahun dan putra seorang anggota parlemen yang berafiliasi dengan Hizbullah. Gadis kecil itu telah diidentifikasi sebagai Fatima Jafar Abdullah sementara pemuda itu adalah Mahdi Ammar, putra anggota parlemen blok ‘Loyalitas kepada Perlawanan’ Ali Ammar.
Berdasarkan penyelidikan awal, para pejabat dikutip mengatakan bahwa ledakan tersebut tampaknya disebabkan oleh serangan siber jarak jauh yang diatur oleh rezim Israel di tengah meningkatnya ketegangan.
Dalam pernyataan terakhirnya, Hizbullah mengatakan setelah memeriksa semua fakta dan informasi yang tersedia tentang serangan tersebut bahwa mereka menganggap rezim Israel “bertanggung jawab penuh atas agresi kriminal ini yang juga menargetkan warga sipil dan menyebabkan beberapa orang menjadi martir dan banyak lainnya terluka.”
Dalam situasi seperti ini, hal yang harus ditanyakan adalah mengapa rezim Zionis Israel sampai terpikir dan merasa perlu melakukan serangan ini? Jawabannya adalah karena serangan ini merupakan balasan atas terbunuhnya jajaran komandan Zionis di Unit 8200 yang notabene adalah satgas intelijen militer rezim Zionis Israel.
Tentunya Israel tidak akan mengkonfirmasi maupun membantah analisa seperti ini sebagaimana militer pendudukan Israel (IOF) juga belum angkat suara mengenai serangan tersebut hingga saat ini. Perdana Menteri rezim, Benjamin Netanyahu juga meminta para pejabatnya untuk tetap bungkam mengenai hal itu. Sampai salah satu pejabat Israel yang telah mengklaim tanggung jawab atas serangan itu melalui sebuah unggahan di media sosial pun akhirnya menghapus unggahan tersebut.
Israel telah secara teratur bertukar tembakan dengan Hizbullah sejak Oktober lalu, tak lama setelah rezim tersebut melancarkan perang genosida di Gaza setelah kelompok perlawanan Hamas melakukan Operasi Badai Al-Aqsa sebagai balasan atas kekejaman yang tak henti-hentinya terhadap rakyat Palestina. Konflik yang paling signifikan antara Hizbullah dan Israel adalah sebuah serangan yang dikenal dengan kode “Operasi Arbain”.
Operasi tersebut merupakan tahap pertama pembalasan atas pembunuhan komandan senior Hizbullah, Fuad Shukr, melibatkan sejumlah serangan strategis.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Hizbullah, tahap awal operasi strategis tersebut dianggap berhasil sepenuhnya, menargetkan barak dan lokasi militer utama Israel untuk memfasilitasi penyebaran pesawat nirawak serang di dalam wilayah pendudukan.
Target tersebut mencakup enam pangkalan militer Israel, tiga barak, dan dua posisi artileri, yang semuanya diserang oleh lebih dari 320 roket Katyusha sebagaimana yang disampaikan Hizbullah.
Target pertama adalah Pangkalan Meron, yang terletak di Gunung Meron (Jabal al-Jarmaq), puncak tertinggi di wilayah Palestina yang diduduki.
Pangkalan ini, yang secara strategis penting, menampung kontrol lalu lintas udara, radar, pengawasan, komunikasi, dan fasilitas pengacauan, dan berfungsi sebagai pusat komando militer utama untuk peperangan udara dan intelijen bagi militer Israel di garis depan utara.
Pangkalan Meron membentang sepanjang 1 km dan lebar 200 m, pada ketinggian 1200 m. Saat ini sedang mengalami perluasan di bagian baratnya dan dapat dikenali oleh tiga kubah radar besar, yang menampung antena radar yang kuat.
Baca juga:Anggota Hizbullah dan Warga Sipil Tewas dan Terluka dalam Ledakan Pager di Lebanon
Antena ini, bersama dengan kamera canggih, perangkat pengawasan, dan sistem penentuan posisi topografi, menyediakan kemampuan intersepsi sinyal dan spionase yang sangat baik di wilayah yang luas di Lebanon dan Suriah.
Pangkalan ini juga digunakan untuk peperangan elektronik, sebagaimana dibuktikan selama minggu pertama setelah Operasi Badai Al-Aqsa, ketika sistem lokasi berbasis satelit sepenuhnya terganggu di Lebanon selatan dan Palestina utara yang diduduki.
Setelah pemantauan yang cermat terhadap sinyal pengacauan yang mengganggu kemampuan penerima untuk mendeteksi gelombang satelit, Pangkalan Meron diidentifikasi sebagai sumber gangguan ini, yang kemungkinan ditujukan untuk mencegah perlawanan di Lebanon menggunakan perangkat serangan presisi.
Pangkalan Meron telah sering menjadi sasaran serangan balasan Hizbullah karena perannya dalam mengoordinasikan operasi udara Israel dan serangan bom di Lebanon dan Suriah.