Purna Warta – Editor Rai al-Youm menelisik perundingan petinggi keamanan AS dengan Rusia dari senyap menjadi transparan dan menuliskan bahwa pemerintahan Joe Biden mengibarkan bendera putih dalam perang Ukraina.
Perundingan di balik kamar petinggi keamanan negeri Paman Sam dan Beruang Merah sudah terbuka dan transparan, pertemuan pertama dilangsungkan di Turki. Namun apa alasan penarikan mundur Washington dalam perang Kiev versus Kremlin ini? Apa alasan pertemuan Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping di Indonesia?
Abdul Bari Atwan, Analis serta Editor kondang surat kabar Rai al-Youm, mengenai upaya mengakhiri perang Ukraina menjelaskan, “Bukanlah hiperbola jika di sini kami katakan bahwa Amerika Serikat berupaya menyelenggarkan pertemuan tatap muka dengan petinggi Rusia demi mengakhiri perang secepat mungkin, mencegah perang dua negara adi daya dan perang nuklir. Khususnya pasca peringatan 3 kali Presiden Rusia Vladimir Putin yang menegaskan tidak akan segan-segan untuk meluncurkan bom atom jika wilayahnya, termasuk 4 wilayah Ukraina yang telah menyatu dengan Rusia menjadi incaran senjata. Presiden Putin menegaskan bahwa Kherson, yang ditinggalkan oleh pasukan Beruang Merah kemarin, merupakan daerah Rusia.”
“Pasca pertemuan senyap dua minggu lalu, Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional AS, 14 November kemarin menyatakan bahwa Kepala CIA sekarang berada di Ankara, Turki untuk bertemu dengan Sergey Naryshkin, Direktur Intel Internasional Rusia. Kepala CIA membawa pesan yang harus disampaikan kepada Rusia tentang penggunakan senjata pembunuh massal,” lapor Rai al-Youm.
Abdel Bari Atwan meyakini bahwa tujuan dari pertemuan ini bukan menyampaikan pesan tentang dampak negatif penggunaan senjata nuklir, karena Rusia bukan satu negara kecil yang tidak menyadari efek negatif ini. Akan tetapi Rusia adalah negara besar yang memiliki 6500 ujung nuklir dan rudal Balistik yang mampu membawa ujung nuklir. Rudal itu mampu mencapai pinggiran timur AS dan menghancurkannya dalam waktu kurang dari 7 menit.
“AS menyadari bahwa jeritan Eropa telah meninggi, baik melalui demonstrasi, protes, maupun jaringan-jaringan resmi tersembunyi yang menuntut akhir perang lebih cepat dan mengangkat sanksi Rusia pasca kekalahan, penarikan mundur serta efek samping perang terhadap warga Benua Biru, bahkan atas sistem Uni Eropa sendiri,” tulis Abdel Bari Atwan.
“Dan AS untuk keluar dari kegagalannya di Ukraina dan Tenggara Asia melewati dua jalur,” tambah Atwan.
Pertama: Membuka pintu perundingan di tingkat paling tinggi dengan dua negara besar, Rusia dan China mengenai Ukraina di Eropa dan Taiwan di Asia. Yang jelas, setelah AS menyadari semua program dan proyeknya untuk menghancurkan Beruang Merah dan Tirai Bambu telah menjadi satu hal mustahil.
Kedua: Kepada Presiden Ukraina, AS mengirim pesan untuk tidak berharap penuh pada impiannya. Karena Zelensky mengatakan bahwa dia tidak akan berunding selama Putin di atas singgasana.
Berdasarkan target inilah, Joe Biden, Presiden AS, menemukan kesempatan tepat untuk menemui Presiden Xi Jinping dengan menghadiri KTT G20 di Indonesia. Pertemuan ini dilaksanakan atas permintaan Presiden Joe Biden.
Di tengah pertemuan, kepada sekutu Chinanya, Presiden Joe Biden menyatakan, “Sungguh sangat baik sekali saya bertemu dengan Anda.” Dan Presiden Xi Jinping hanya meresponnya dengan senyum lebar dan panjang.
Dalam analisa sebelumnya, Editor Rai al-Youm ini mengupas tujuan dan hasil pertemuan Presiden AS dan China di sela konferensi G20 dan menulis, “Presiden Joe Biden dalam pertemuan ini berupaya untuk menipu China demi menghancurkan persekutuan China-Rusia, namun dia tidak akan pernah mampu merealisasikannya.”
“Jelas bahwa krisis di laut selatan China dan Taiwan menjadi tema pembahasan Rusia-Amerika. Namun tidaklah jauh-jauh amat Washington meminta China menjadi penengah antara Paman Sam dan Beruang Merah melihat hubungan dekat Tirai Bambu dengan Rusia. Dan sekarang dukungan kepada upaya AS semakin meningkat di bawah target menemukan jalan keluar layak secepat mungkin,” tegas Abdel Bari Atwan.
“Kami telah katakan sejak awal perang Ukraina bahwa Rusia tidak akan merugi sama sekali, sementara AS pasca kekalahannya di Irak dan Afganistan, tidak akan pernah mengirim pasukannya ke Kiev walaupun satu prajurit. Kami telah menegaskan bahwa warga Ukraina yang pertama dan kemudian warga Eropa yang akan menjadi korban perang dari sisi kemanusiaan, material serta ekonomi. Sekarang yang terjadi adalah apa yang telah kami katakan. Pemerintah AS telah mengibarkan bendera putih dan ingin mengakhiri perang secepatnya. Para delegasi Washington telah dikirim ke Ankara dan lainnya demi membahas hal ini bersama Rusia,” tekan Editor Rai al-Youm ini.
Analis kondang dunia Arab ini menambahkan, “AS telah mengalahkan Nazisme dan menang di perang dunia II, karena memiliki senjata pembunuh massal. Namun sekarang situasi berbalik, karena petinggi mereka telah melupakan dua hal mendasar. Pertama: mereka mengajak perang dua musuh nuklir, China dan Rusia, lebih dari itu, Korea Utara. Kedua: AS bukan lagi negara adi daya satu-satunya, yang bisa menguasai dunia dan fasilitas ekonomi, militer serta politik. Sepertinya, Rusia telah membukakan kelopak mata AS untuk melihat fakta pahit ini dengan mengirim pasukan ke Ukraina dan mengembalikan 4 wilayah ke pangkuannya, sebelumnya kepulauan Krimea.”
“Kami menanti beberapa hari ke depan gencatan senjata di Ukraina berasaskan syarat-syarat negeri Beruang Merah,” jelasnya.
Ancaman Presiden Putin telah mmbuahkan hasil dan AS ketakutan.