Purna Warta – Recep Tayyip Erdogan, Presiden Turki, Senin (1/2), malam waktu setempat menegaskan bahwa sudah waktunya undang-undang dasar baru Ankara diteliti. Presiden Erdogan dan sumber-sumber Turki lainnya tidak menyebutkan undang-undang yang dimaksud. Tidak jelas apa yang ada dalam benak Presiden pasca referendum tahun 2017 dan perubahan sistem parlementer.
Tidak ada yang tahu mengenai isi benak Presiden Recep Tayyip Erdogan, tapi bisa dipastikan bahwa perubahan apapun itu akan tetap memihak partai penguasa. Pada tanggal 26 Desember 2020 Erdogan menyebut tahun 2021 sebagai tahun ‘reformasi diplomatik dan ekonomi’.
Tapi pertanyaannya sekarang adalah apa yang mendorong partai penguasa untuk melakukan perubahan?
Harus diketahui bahwa Turki telah mengalami perubahan besar dalam identitas dan ekonomi. Partai Keadilan dan Pembangunan pada tahun 2002 mengambil alih Turki yang mengalami erosi ekonomi. Krisis yang menuntut reformasi mendasar dan hal itu berhasil diraih beberapa tahun setelahnya.
Turki merombak struktur keuangan hingga sukses mengangkat peringkat ekonomi dari 111 dunia ke peringkat 17. Setiap tahun berturut-turut, Ankara mengalami peningkatan ekonomi 4.5%. Diplomatik ekonomi dan ambisi Erdogan telah mengangkat perusahaan-perusahaan Turki ke atas langit.
Meskipun politik Recep Tayyip Erdogan memiliki bayang-bayang hitam, namun situasi sekarang tidak bisa dibilang lebih buruk dari krisis 2002. Seni partai Keadilan dan Pembangunan dalam 19 tahun terakhir berhasil menggerakkan motor (partai) ke depan dengan siasat pembangunan ekonomi dan penyebaran bipolaritas.
Mengingat fakta di atas, terus atas dasar apa Erdogan dan partainya masih menuntut reformasi? Apa faktor di belakang yang memaksa Erdogan untuk merespon hal tersebut?
Mungkin yang bisa diperkirakan dalam menjawab soal ini adalah bahaya politik yang dirasa oleh para pejabat.
Siasat keuangan Turki menghadapi masalah dalam tahun-tahun terakhir. Ada sinyal-sinyal krisis ekonomi dan inflasi yang mulai terasa. Pada bulan Oktober 2018 nilai inflasi di Turki telah mencapai 25%, ini adalah inflasi tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Meskipun ini merupakan pukulan kecil namun pandemi Corona telah menghantam bagian kerja dan menurut laporan institut KONDA, generasi muda Ankara marah karena inflasi mata uang dan pengangguran.
Bekir Agirdir, salah satu analis KONDA, mengatakan, “20 juta pemuda di bawah umur 30 tahun pada tahun 2023 akan berpartisipasi di Pemilu dan 4 juta dari mereka akan pergi ke kotak suara untuk pertama kalinya.”
Para pemuda ini, dalam sorot Bekir Agirdir, akan merubah peta pemilihan umum. Dalam satu survei di antara generasi muda dikatakan bahwa mayoritas mereka masuh ragu untuk ikut Pemilu. Bahkan sebagian dari mereka tidak ingin partisipasi, politik partai penguasa telah membuat mereka marah.
“Warga menderita karena masalah ekonomi, sedangkan pemerintah masih pegang siasat bipolar, padahal siasat ini telah berakhir,” jelas Bekir Agirdir menganalisa.
Berdasarkan hasil survei, disebutkan bahwa jika Pemilu diselenggarakan sekarang, partai Keadilan dan Pembangunan tidak akan meraih suara lebih dari 40%.
Dalam survei lainnya pada bulan Desember 2020 lalu, KONDA melaporkan jumlah dukungan rakyat atas partai Keadilan dan Pembangunan yang hanya mencapai 36.7%. Partai Gerakan Nasional (sekutu politik partai penguasa) mendapatkan dukungan 10.6%. Ini berartikan bahwa hanya 47.3% saja yang menjawab dukungan terhadap partai penguasa dan koalisinya. Ini membuktikan akan tiadanya jumlah yang diharapkan dalam Pemilu.
Fakta lain tentang Pemilu tingkat kotamadya pada tahun 2019 lalu. Partai Keadilan dan Pembangunan menghadapi kekalahan suara untuk pertama kalinya. Partai penguasa ini kalah dalam pemungutan suara di kota Ankara, Izmir, Antalya dan Adana, namun kekalahan paling menusuk adalah kekalahan di kota Istanbul, kota lahir partai. Di Istanbul mereka kalah dari Ekrem Imamoglu dan tempat kedua diraih oleh Binali Yildirim, mantan PM.
Setelah melihat fakta pahit ini, baru Erdogan menjanjikan reformasi dan analisa dalam politik kepada para anggota partai.
Reformasi UUD Turki
Pasca keruntuhan kerajaan Ottoman, Turki mengalami 5 kali reformasi undang-undang dasar.
Pertama dilakukan pada tahun 1921 perang kemerdekaan. Mereka merangkai UUD pendek yang hanya mengandung 23 pasal yang menjadi cikal bakal pendirian pemerintahan Turki tahun 1923.
Pasca kemerdekaan dan pembentukan Turki baru, mereka butuh pada undang-undang yang lebih detail untuk menjawab kebutuhan negara. Dan pada tahun 1924 UUD disetujui. UUD baru ini tidak merubah UUD pertama yang hanya memiliki 23 pasal. UUD ini hanya menambah detail dalam pasal kekuasaan. Namun demikian, UUD ini mengalami perubahan-perubahan partikal sebanyak 7 kali.
UUD ketiga ditandatangani pada tahun 1961. 18 bulan pasca kudeta 27 Mei 1960, terselenggara referendum nasional hingga disetujui adanya UUD baru. UUD ini lebih dikenal dengan undang-undang militer dan setelahnya menghadapi gerakan Liberal nasionalis.
Pada tanggal 12 September 1980 untuk kedua kalinya, militer mengadakan kudeta atas pemerintahan Suleyman Demirel. Lalu dibentuk tim komite UUD baru. Pada tahun 1982, UUD baru diserahkan kepada rakyat. Referendum ribut dan banyak yang menyebut UUD hanya memihak kepentingan pengkudeta.
Semenjak 1982 tidak terendus adanya upaya perubahan UUD, meskipun undang-undang itu mengalami perubahan detail sebanyak 10 kali. Hingga akhirnya tahun 1987 terjadi perubahan dan yang paling utama perubahan dilakukan oleh partai Keadilan dan Pembangunan.
Pasca tahun 2002, Turki menyaksikan tuntutan perubahan UUD sebanyak 3 kali, tepatnya pada tahun 2007, 2010 dan terakhir tahun 2017 sehingga melahirkan reformasi dari sistem parlementer ke kepemimpinan dan untuk pertama kalinya, Recep Tayyip Erdogan terpilih menjadi Presiden.
Parlemen juga mengalami reformasi dan merubah sepertiga dari undang-undang tahun 1982. Perubahan mendasarnya antara lain pengembangan demokrasi yang bertujuan untuk masuk dalam Uni Eropa dan undang-undang pembatasan militer.
Meski demikian, Presiden Recep Tayyip Erdogan masih yakin akan ruh UUD 1961 yang masih bernafas dalam undang-undang baru sekarang dan tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat.
Jalan Terjal Erdogan
Untuk mencapai tujuan tersirat, Erdogan akan menghadapi banyak rintangan. Berdasarkan UUD berlaku sekarang, pertama 2/3 anggota Parlemen menuntut pembentukan tim pengedit UUD baru kepada Ketua Parlemen.
Tahap kedua dan pasca analisa isi UUD baru, draf harus kembali ke Parlemen dan kali ini masih perlu suara 2/3 anggota keseluruhan Parlemen, yaitu 400 anggota. Namun jika suara tidak cukup, Presiden bisa mengajukan tuntutan pemungutan suara lagi, kali ini hanya butuh pada 3/5 suara anggota.
Dua tahap di atas sangatlah sulit bagi Recep Tayyip Erdogan, karena perselisihan dalam tubuh partai Keadilan dan Pembangunan, pembentukan partai baru dan pula krisis. Jadi jalan sangatlah terjal bagi Recep Tayyip Erdogan.
Baca juga: Turki Laporkan Penangkapan Petinggi ISIS