Purna Warta – Sejak tahun 2003 hingga kini, perundingan selalu menjadi hal utama dalam pernyataan petinggi politik, diplomatik bahkan militer Barat. Sekalipun di masa paling panas nuklir Iran, perundingan tetap menjadi titik urgen mereka. Namun demikian, setelah dua periode konferensi Wina hingga pengundurannya karena Pemilu Tehran, sampai sekarang belum juga terjadwalkan tanggal pertemuan. Iran juga sedang menganalisa situasi.
Satu titik urgen di tengah-tengah periode ini adalah Barat terburu-buru, dengan kata lain memaksa untuk segera memulai perundingan. Baik dari pihak Amerika Serikat maupun pihak Eropa, keduanya menyindir masalah kesempitan waktu yang membuat mereka mendesak dan menuntut pemerintah Iran untuk kembali ke meja bundar.
Adapun pihak Iran, meskipun menekankan perundingan, tapi mereka menolak untuk pelaksanaan pertemuan tanpa hasil.
Ini bukanlah kali pertama kedua belah pihak mensyaratkan hal seperti ini. Dalam beberapa tahun sebelumnya, banyak kekosongan yang menyelip di tengah-tengah upaya perundingan, namun ini adalah kali pertama Barat mendesak dan terasa terburu-buru menebar undangan perundingan.
Kemajuan Nuklir Iran
Sudah banyak analisa mengenai dalil dan alasan desakan Barat ini. Salah satu hal yang paling mendasar dalam hal ini berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan program nuklir Iran dalam bidang pengayaan.
Yang paling urgen di mata Eropa dalam program nuklir Iran adalah menciptakan pembatasan garis merah untuk mendapatkan satu unsur senjata nuklir. Berdasarkan garis merah ini, maka nuklir Iran sekarang berada dalam titik terbawah setelah JCPOA.
Saat ini, Iran mengusahakan pengayaan 60%. Kemajuan Tehran dalam tehnik pengayaan dengan alat modern menjadi salah satu hal yang membuat gonjang-ganjing petinggi Barat, yang sebelumnya menegaskan bahwa Iran tidak boleh mengadakan pengayaan.
Antony Blinken, Menlu AS, dalam banyak kesempatan menyatakan bahwa kemajuan ini telah memandulkan batasan-batasan JCPOA di lapangan, karena pengalaman Iran dalam realisasi proses ini tidak bisa diulang.
Begitu pula Israel. Mereka ingin garis merah ini dijadikan ancaman. Padahal Tel Aviv satu-satunya pihak yang memiliki senjata pembunuh massal di Kawasan Barat Asia.
Yang jelas, sebagian banyak analisa ini tidaklah mengandung nilai spesifik dan politik. Mayoritas mereka tidak mengisyaratkan satu fakta ini bahwa standar dan batasan ini hanya untuk membuat unsur pecah yang harus ada dalam upaya pembuatan senjata nuklir. Untuk membuat satu ujung nuklir rudal balistik mungkin membutuhkan waktu 3 tahun dan jelas butuh pada banyak eksperimen. Dengan demikian maka garis merah atau standar ini bukanlah satu batasan teknisi nyata.
Sebagai contoh, untuk membangun senjata nuklir Korut butuh waktu puluhan tahun dan beberapa kali eksperimen nuklir. Mengoperasikan hal ini mustahil dilakukan secara diam-diam. Para jaringan intelijensi Barat pasti langsung mengungkap dan menyelidiki.
Hal yang sengaja tidak dibahas oleh Barat adalah Iran tidak memiliki garis strategis militer untuk menggunakan senjata nuklir. Sedari pertama, Tehran tidak berniat membangun bom atom. Dari sisi inilah serangan dan kekhawatiran Barat terhadap nuklir Iran dalam kurung siasat militer hanyalah menargetkan propaganda media. Paling tidak, diaksikan bertujuan menarik paksa Iran ke meja perundingan.
Akan tetapi, ada indikasi lain untuk membaca desakan Barat ini. Satu kacamata yang menjurus ke masalah ekonomi dunia Barat. Kondisi percuanan Barat bisa mendasari desakan ini.
Apa Kabar Pasar Energi?
Di antara tahun 2010-2012, yaitu tahun sanksi energi yang mulai membatasi gerak Iran, pasar energi dan minyak berada dalam situasi ideal. Meningkatnya perkembangan minyak Shell memakan bagian terurgen pasar dunia. Negara-negara produsen minyak memiliki kapasitas untuk memenuhi kelangkaan energi.
Di sisi lain, 1 juta barel minyak Iran terhapus dari pasar energi. Hal yang sama terjadi di periode Donald Trump. Perusahaan AS, Shell sedang berada di atas awan, apa yang lebih baik dari penyingkiran minyak Iran, Venezuela dan Libya? Dengan peningkatan 4 juta barel produksi minyak Shell Amerika, terhapus pula 4 juta barel minyak tiga negara tersebut.
Namun demikian, Corona sepertinya merubah banyak hal. Di samping itu, ada upaya untuk menggantikan energi fosil dengan energi terbarukan. Hal ini menambah lambat impian dan target.
Di tengah meningkatnya produksi dan menurunnya investor, Shell mengalami gangguan. Mengembalikan peningkatan produksi tidaklah mudah dilakukan, ditambah lagi politik Joe Biden yang mengupayakan pengurangan penggalian tanah di kawasan-kawasan federal. Krisispun mulai mendesak.
Ada banyak sinyal yang terasa akan krisis di pasar minyak dunia. Terjun payung pasar batu bara dan terbatasnya sumber gas telah membuat Eropa terhimpit. Bahkan ada desas-desus peningkatan harga gas hingga 300%.
Dalam bentuk lain, bukti krisis di pasar energi terasa di China. Kebijakan pengurangan produksi batu bara demi menyurutkan karbondioksida telah menciptakan krisis tertentu di bagian timur Beijing. Saat ini, ada 10 provinsi China mengalami gangguan listrik. Sudah terjadwalkan pembagian-pembagian listrik perusahaan dan tempat pariwisata.
Bahkan diprediksikan bahwa krisis ini akan menjalar dan memengaruhi produksi di bidang besi. Hal ini tidak berefek apapun kecuali kebutuhan bermusim China pada impor minyak dan energi.
Berdasarkan hasil analisa, krisis ini akan terus berlanjut hingga musim semi tahun depan. Efeknya tidak mungkin diselesaikan dalam waktu dekat. Krisis ini akan meningkatkan harga minyak dan diprediksikan bahwa harga akan menjulang tinggi hingga 90 dolar perbarel. Dalam 3 tahun lalu, ini adalah rekor.
Meskipun para negara anggota OPEC masih memiliki kekayaan produksi minyak fosil, akan tetapi dimungkinkan bahwa masuknya Iran ke pasar minyak dan gas akan menjadi jalan keluar paling logis untuk mengurangi harga. Jika perundingan berjalan sukses sesuai keinginan Amerika dan minyak Iran memenuhi pasar, mungkin jalan keluar bisa ditemukan dalam waktu dekat.
Gerak Cepat Iran ke Sisi Timur
Perubahan politik yang terjadi di dalam Iran juga bisa dijadikan alasan Barat untuk menyegerakan konferensi nuklir. Dalam beberapa bulan terakhir, Tehran telah melakukan perubahan-perubahan serius menyongsong wilayah timur.
Salah satu langkah awal Iran adalah bergabung dalam Organisasi Kerjasama Shanghai. Meskipun organisasi tersebut fokus dalam hubungan keamanan, namun segi ekonominya mulai mengental dalam beberapa tahun terakhir. Iran melihat keanggotaanya ini sebagai kesempatan untuk meningkatkan hubungan kerja ekonomi.
Sekarang ini, koridor ekonomi sekitar Iran terus bergeliat. Salah satunya koridor ekonomi China-Pakistan. Bahkan Turki juga berupaya bersaing dalam koridor ekonomi ini dengan ambisi sampai ke Asia Tengah dan Beijing melalui Azerbaijan. Iran melihat Organisasi Kerjasama Shanghai sebagai jalan khusus dalam koridor proyek One Belt-One Road. Khususnya pasca diketahui bahwa dari 6 koridor ekonomi yang ingin dibangun, Iran akan dilalui oleh 3 proyek ekonomi.
Dengan berkembangnya kerjasama-kerjsama seperti ini, maka sanksi tidak akan berpengaruh apapun. Karena Iran mampu kembali ke pasar dunia melalui proyek-proyek ekonomi tersebut. Sebagai contoh, Irak sangat berambisi untuk mengekspor produksi minyaknya ke China. Dalam hal ini, Iran adalah jalan paling lapang dan mudah untuk proyek ini.
Mungkin langkah pertama dalam siasat ini sangatlah sulit. Namun titik urgennya adalah sejauh apapun Iran berkembang di bidang ini, maka untuk mendiktekan syarat-syarat Barat sangatlah kecil kemungkinannya. Dan mungkin hingga di titik bahwa poin JCPOA tidak lagi menggiurkan bagi Tehran.
Dengan membaca sisi-sisi ini, bisalah difahami desakan Barat untuk segera kembali ke perundingan. Dan Iran juga menyadari situasi sedang memihaknya. Oleh karena itu, Iran tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan dengan sedikit harapan mencuri poin dari Amerika.
Namun pihak manakah yang akan lebih dahulu sampai ke tempat tujuan, hanya waktu yang bisa menjawab.