Purna Warta – Di awal abad 20, ketika ada persaingan antar poros Eropa untuk menguasai pasar dunia ketiga, khususnya di koridor barat daya Asia, Kerajaan Inggris Raya memenangkan pertandingan ini sebagai satu kekuatan yang diklaim tidak pernah terbenam di barat.
Posisi geografi strategis Britania, sebagai satu pulau di Barat Eropa, membuka potensi Inggris untuk memusatkan investasinya menjadi kiblat kekuatan laut selama 300 tahun.
Dengan fokus ini, akhirnya Inggris menguasai teluk-teluk dan terusan-terusan perairan dunia dengan kapal dagang dan perusahaan judinya. Karena hal ini, Britania menjadi kutub perdagangan dunia.
Baca Juga : Pakar Asia: Pemerintahan Raeisi Redam Situasi Panas Timteng
Meskipun AS dan Jepang kala itu sedang bekerja keras untuk meningkatkan potensi dan kemampuannya, akan tetapi pasukan laut Britania Raya masih menjadi gurita raksasa laut internasional, belum terkalahkan.
Di tengah situasi ini, Imperatur Jerman di awal dekade abad 20 sukses berevolusi menjadi kekuatan raksasa industri Eropa. Berlin bersaing ketat dengan London untuk menjual lebih barang-barang dagangnya.
Kapal laut kerajaan Jerman tidak memiliki potensi untuk menyaingi kekuatan laut Inggris karena wilayah geografi dan darurat pembentukan pasukan besar darat. Di sisi lain, Jerman juga tidak memiliki kesempatan untuk meneruskan pengembangan ekonomi tanpa satu aliran perdagangan laut yang bisa transpor ekspor produk dan impor barang mentah. Karena alasan iniah, Jerman berupaya membuka jalur darat.
Sebenarnya Berlin berhasrat untuk membangun jalur penyambung ke wilayah Timur Tengah lalu dari sana ke Timur Jauh dan India demi menciptakan jalur perdagangan internasional.
Baca Juga : Emmanuel Macron di Teluk Persia; Prancis Menuju Pasar Iran
Proyek pertama dalam upaya ini adalah pembangunan rel kereta dari Berlin ke Baghdad yang dengan bantuan kerajaan Ottoman, Jerman akan bisa menjamah India. Kerajaan Ottoman, yang menyadari urgenitas jalur ini untuk menghadapi Inggris, berusaha menanggung semua kebutuhan keuangan proyek.
Hingga akhirnya, pada tahun 1914, hanya tersisa 300 kilometer untuk mencapai kedaulatan Irak, meletuslah perang dunia I hingga menghentikan proyek ini. Di PD I ini, dengan kekalahan kerajaan Ottoman dan separasi kedaulatan, rel kereta ini dikuasai oleh Kerajaan Inggris.
Tapi yang jelas di akhir dekade 30-an, bagian tersisa dari rel kereta ini diselesaikan, namun dalam kontrol Britania Raya.
Rel Kereta yang Selalu Jadi Target Serangan
Satu titik pentingnya di sini adalah beberapa tahun setelahnya, setiap ada kesempatan untuk menghidupkan jalur darat ini, intervensi asing selalu menggangu bahkan menggagalkannya.
Seperti contoh, pasca keruntuhan Uni Soviet dan persatuan dua bangsa Berlin, di saat Jerman bersama Jepang sebagai kiblat industri dunia memiliki potensi untuk menghidupkan jalur ini, sebagian dari jalur ini dihancurkan oleh Amerika melalui pemboman rel dan jembatan-jembatan selama perang Teluk Persia pertama.
Baca Juga : Hamas Bangun Cabang Militer di Lebanon, Klaim Media Zionis
Baru tahun kemarin, tepatnya ketika ISIS lahir pada tahun 2014, kelompok teroris ini juga menghancurkan jalur rel kereta ini.
Dari sisi ini, bisa dikatakan bahwa sepertinya persaingan kutub perdagangan dunia belumlah berakhir dan tidak banyak mengalami perubahan. Kali ini Amerika sebagai ganti Inggris menghadapi China.
Sebagai pengganti perseteruan rel kereta Berlin-Baghdad, koridor proyek ‘one belt-one road’ yang menjadi pusat konflik. Satu koridor yang akan menyambungkan dua kiblat dagang dunia terkini antara China dan Eropa. Di tengah pembangunan ini, banyak negara-negara yang akan dilibatkan dan dipertemukan.
Koridor ini adalah pesaing koridor laut, yang mayoritas dikuasai oleh Amerika Serikat bersama para antek-anteknya. Seperti contoh, melalui wilayah Kashgar (daerah otonom etnis Uighur) di barat China akan menyambung ke pelabuhan Gwadar, Pakistan, yang akhirnya bisa menjamah pasar Afrika, kemudian melalui rel kereta akan sampai dari provinsi Rohingya, Myanmar, ke Teluk Andaman dan Samudera tanpa jasa perairan Selat Malaka.
Sebagian dari koridor ini juga, via rel kereta Siberia dan jalur panjang Timur-Barat wilayah Rusia akan tersambung hingga laut Baltik untuk transportasi barang-barang China. Tapi yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah jalur tengah koridor dan sambungannya ke wilayah timur Eropa, karena orang-orang Eropa Timur tidak mau menjadi bagian dari koridor ini melalui Rusia.
Baca Juga : AS Melirik Perih Poros India-Rusia
Secara umum, tidak ada kekuatan yang mampu menghalangi koridor ini, Amerika juga ingin pembangunan sempurna jalur darat ini karena keinginan mereka untuk melibatkan negara-negara sekutunya dalam koridor.
Di mata Washington, perkara utama jalur koridor baru ini adalah negara-negara yang mereka kuasasi secara militer, budaya ataupun ekonomi.
Koridor untuk Menyaingi Iran
Saat ini ada dua koridor berlainan yang sedang dikembangkan. Koridor pertama bernama koridor Lajward di tangan Turki, di mana negara-negara Bahasa Turk akan saling tersambung.
Untuk menyempurnakan koridor ini, mereka harus mempertemukan Republik Azerbaijan dan Nakhchivan yang kemudian menuju Turki. Satu fakta yang menjadi faktor perubahan peta dalam konflik di Kaukasus.
Wilayah paling penting dari koridor ini adalah jalur yang akan melewati garis yang disebut ‘Zangezur’ di wilayah selatan Armenia.
Baca Juga : Putra Mahkota Saudi Mulai Kunjungan ke Arab Teluk Persia
Koridor kedua adalah koridor Mediterania Arab-Mediterania India hingga Eropa yang pula berada dalam tahap pengembangan. Koridor ini akan membawa barang produksi India dari Bombai dan beberapa titik lainnya, diangkut ke Eropa dalam batas waktu kurang dari 10 hari, tepatnya 40% lebih cepat dari koridor laut Terusan Suez.
Bagian urgen dari proyek ini berada dalam efek struktur perjanjian Abraham atau normalisasi dengan Israel, yang akan membuka potensi barang India sampai ke Eropa melalui jalur pelabuhan Jabal Ali dan jalur rel kereta Emirat-Saudi menuju Yordania lalu dari sini ke Palestina Pendudukan.
Secara alami, Iran, yang memiliki geografi strategis, akan dilibatkan dalam dua koridor. Iran bisa menjadi bagian kunci untuk menyambungkan pasar Turki dan China hingga mempertemukan pula Asia Tengah. Bahkan dalam proyek ini, Iran akan menjadi titik awal dalam jalan menuju pelabuhan Beirut.
Jalan itu akan dimulai dari Iran, melalui rel penyambung antara Irak dan Suriah menuju ke pelabuhan Beirut menuju arah laut Mediterania. Jalan ini akan menjadi jalan paling singkat nan pendek dari semua koridor, bahkan menyeberangi wilayah kaya gas serta emas hitam Tehran dan Baghdad.
Baca Juga : 100 Hari Raisi, Gabung Blok Besar Hingga Buka Perundingan Wina dengan Wibawa
Mungkin upaya mengaktifkan koridor ini yang mengharuskan Irak dan Suriah melewati hari-hari paling bergejolak dalam sejarahnya. Gejolak yang saling terkait hingga ledakan nitrat di pelabuhan Beirut. Satu pelabuhan yang berpotensi menjadi pesaing terberat pelabuhan Tel Aviv, Israel.
Apa Target Gedung Putih?
Sebagai satu kiblat kekuatan lautan, Amerika Serikat berusaha untuk mencegah realisasi koridor darat Timur Tengah ini. Menciptakan hiruk-pikuk bahkan konflik dalam negeri di negara-negara koridor ini, tentu ditujukan untuk target ini.
Dapat dipastikan bahwa politik ini juga mencakup siasat Joe Biden di Afganistan, tepatnya untuk mencegah proyek opsi jalur penyambung Wakhan ke Herat, Afganistan, menuju arah Tehran. Sebagaimana yang mereka lakukan dalam strategi provokasi Pakistan membeli gas dari jalur Afganistan dan pipa gas TAPI (Turkmenistan-Afganistan-Pakistan-India Pipeline) hingga terus mencegah Iran masuk dalam peta pasar ini.
Dengan kacamata ini, maka bisa difahami bahwa AS akan terus intervensi dan bercokol selamanya di wilayah al-Tanf dan Barat Laut Suriah. Ini adalah satu wilayah di mana Amerika bisa terus mengamati koridor Tehran-Beirut dan mencegah setiap gerak transportasi yang bertentangan dengan kepentingan Gedung Putih.
Baca Juga : Peringatan!!! Otoritas Palestina Segera Runtuh
Berdasarkan bukti ini, jelas bahwa Amerika tidak akan pernah menon-aktifkan sanksi Iran sampai terbuka invenstasi berpengaruh dalam perkara ini.
Di bawah siasat inilah, setiap langkah realisasi proyek koridor ini akan mendapatkan pertentangan dari pihak Washington. Resolusi 25 tahun Iran dan China langsung mendapatkan respon negatif dari pihak AS. Mayoritas pembebasan sanksi akan ditulis dalam bentuk perjanjian jangka pendek penjualan minyak Tehran.
Titik ini memperlihatkan jelas darurat analisis ulang politik luar negeri Iran dan upaya realisasi program dalam negeri untuk mengeksploitasi poin pengembangan koridor perdagangan, khususnya koridor yang menjadi perhatian Iran. Ini adalah opsi yang jika dijalankan secara benar, negara setingkat Amerikapun akan terpukul mundur.
Baca Juga : Bikin Pusing, Amunisi Patriot Menipis Habis