HomeAnalisaKemarin Donald Trump, Sekarang Emmanuel Macron Perah Sapi Susu di Teluk Persia

Kemarin Donald Trump, Sekarang Emmanuel Macron Perah Sapi Susu di Teluk Persia

Purna Warta – Sejarah akan terus berulang dan apa yang dilakukan oleh Trump kini dilakukan oleh Emmanuel Macron yang menjadikan sebuah negara di teluk Persia sebagai Sapi Perah.

200 juta dolar adalah harga sangat mahal untuk sebuah pesawat tempur biasa, bukan anti-radar. Harga ini sebanding dengan jet tempur F-22, bahkan F-35 dijual di bawah harga ini kepada para sekutu AS. Akan tetapi Emmanuel Macron, Presiden Prancis, berhasil menjalin kesepakatan penjualan 80 jet tempur Rafale dengan harga 16 miliar dolar dalam kunjungan ke Emirat.

Pesawat tempur ini adalah pesawat tempur biasa dan hal ini tidak boleh dijauhkan dari analisa. Detik ini, orang-orang Paris bersama dengan para ahli negara lain berupaya menciptakan satu jet tempur anti-radar generasi ke-5. Britania Raya telah membeli F-35, Rusia dan China juga mengembangkan jenis pesawat tempur eksklusifnya.

Baca Juga : Menjawab Hoax; Predator Seks Berkedok Pengasuh Pesantren Penganut Syiah

Di tengah situasi ini bisa dipahami keuntungan Prancis dalam dagang bersama Emirat. Yang jelas, para tengkulak Paris tidak akan mencukupkan perkara hanya di kapasitas ini saja. Prancis dengan Saudi juga menyepakati satu perjanjian bersama untuk pengembangan satu pusat produksi pesawat terbang.

Tidak jelas apakah kuantitas segunung amunisi perang ini berguna untuk satu medan Emirat ataukah tidak, tapi dapat dipastikan bahwa ini merupakan dorongan psikologis yang tidaklah kecil untuk Prancis setelah disingkirkan dalam perjanjian dengan Australia oleh Amerika dan Inggris.

Siasat Ulang Donald Trump, Sapi Perah

Selain umbar-umbar, siasat Prancis di Teluk Persia adalah pengulangan dari siasat perah sapi susu Donald Trump dengan para Sultan Teluk Persia. Namun ada satu perbedaan kecil dan itu adalah kemampuan mereka dalam meracik tuntutan di goresan kertas diplomatik.

Yang perlu diperhatikan di sini adalah Emmanuel Macron, Presiden Prancis, menyadari mimpi besar para Sultan Arab Timur Tengah. Dengan tuduhan perundingan buntu JCPOA, Presiden Macron mengklaim bahwa perundingan ini tidak akan berhasil tanpa melihat kepentingan Arab dan Israel.

Baca Juga : Apakah Separatis Maois Memang Menargetkan Helikopter Jenderal Top India?

Sangatlah alami, Saudi dan Emirat bergembira mendengar pernyataan ini. Karena ini adalah klaim yang selalu didengungkan oleh dunia Arab kepada Amerika dengan harapan pemerintahan Joe Biden bersikap sama dengan pemerintahan Donald Trump.

Yang pasti ini bukanlah kali pertama, (karena) Paris terus berupaya mengumpulkan poin untuk berunding dengan Iran. Jangan dilupakan bahwa di tahap pertama perundingan Geneva, Prancis berusaha keras menghancurkan program nuklir di Arak. Negeri mode tersebut hanya melunak pasca kesepakatan serius tentang peran mereka dalam produksi kendaraan dan emas hitam Negeri Para Mullah.

Tapi itulah, Paris lagi-lagi tidak bisa menepati janji. Seperti contoh dalam kasus perusahaan Total. Total bersama perusahaan Sinopec bertanggungjawab pengembangan fase 11 Pars Selatan. Dengan keluarnya AS dari JCPOA, Prancis mengumumkan bahwa mereka tidak mampu merealisasikan perjanjian dan mendeklarasikan penarikan mundur dari proyek ini. Begitu pula dalam perannya dalam produksi kendaraan di dalam pasar Tehran, mereka juga melakukan hal yang sama.

Sudah lumrah setiap negara berupaya mencari keuntungan privasi sebanyak-banyaknya, akan tetapi Prancis dikancah internasional bukanlah termasuk satu negara yang benar-benar kuat merealisasikan klaim-klaimnya, mereka hanya satu negara yang mengambil untung ekonomi sebagai negara ber-nuklir dan anggota Dewan Keamanan PBB.

Baca Juga : Kenapa AS Ingin Hancurkan Koridor Barat Daya Asia?

Prancis adalah Negara Tingkat Regional yang Klaim Internasional

Untuk memahami Prancis sebagai kekuatan tingkat Kawasan bukan internasional, cukuplah memperhatikan satu titik bahwa sebenarnya Prancis sudah bertahun-tahun mengamati dan ingin membangun satu militer Eropa dengan target mengurangi ketergantungan kepada NATO, khususnya dalam menghadapi Rusia. Akan tetapi mereka belum mampu hingga sekarang merealisasikan impiannya ini, bahkan dalam lingkup kerja sama mereka dengan Jerman sekalipun.

Prancis hanyalah satu pihak dalam koalisi internasional bersama Amerika Serikat sehingga bisa menjamah dunia. Tanpa Washington, Paris tidak akan memiliki kekuatan logistik dan amunisi internasional.

Di kancah Timur Tengah, Prancis harus diakui memang memiliki pengaruh dan hegemoni di beberapa negara, seperti Suriah dan Lebanon. Akan tetapi di lapangan, hegemoni mereka telah menurun drastis di manapun.

Sebagai permisalan, di Lebanon, meskipun Prancis telah melakukan banyak kunjungan dan mengeluarkan ultimatum pembentukan pemerintahan pasca ledakan di pelabuhan, tetapi koar-koar mereka tidak didengarkan. Penyusunan pemerintahan baru terus mengalami pengunduran waktu, bahkan tidak berdampak dalam rekonstruksi dan Pemilu.

Baca Juga : 1 Hari Pasca Gencatan Senjata Selesai, Taliban Pakistan Langsung Bunuh Polisi

Hal paling sukses Macron terkait krisis Lebanon adalah upaya penengahan Paris dalam perselisihan Beirut-Riyadh hingga bisa mengembalikan Duta Besar Saudi ke Lebanon. Inipun terjadi pasca pengunduran diri si menteri kontroversial.

Demikian pula di medan Suriah, masih saja Paris tidak mampu mengentalkan poin intervensi dalam urusan Damaskus meskipun telah mengeluarkan ancaman dan dukungan ke para oposisi. Khususnya pasca mayoritas kelompok-kelompok moderat hancur di depan ekstrimis.

Fakta inilah yang membuat Prancis hanya terbatas pada aktifitas penjualan senjata atau kesepakatan perdagangan dengan para Sultan Arab. Meskipun akhir-akhir ini, Prancis didukung beberapa negara Benua Biru untuk melakukan pengawasan atau dengan istilah lainnya, operasi keamanan di Selat Hormuz dan Teluk Persia, akan tetapi kapasitas mereka masihlah sedikit dibanding para pesaing, salah satunya Amerika.

Faktanya adalah militer Eropa tidak memiliki kemampuan untuk bertahan di tengah perang sengit nan panas di kawasan Teluk Persia, mereka adalah kekuatan bersenjata yang tidak terlalu berpengaruh di Timteng.

Baca Juga : Bikin Pusing, Amunisi Patriot Menipis Habis

Prancis Memang Ingin AS Keluar dari Timteng

Satu hal lagi yang mungkin menambah nafsu Prancis untuk meningkatkan kuantitas dan kapasitas hegemoninya di Timur Tengah adalah keluarnya Amerika dari Kawasan.

Sebenarnya, banyak negara Kawasan yang menilik kesempatan untuk membangun koalisi dan aliansi baru sebagai bentuk persiapan menyambut masa anyar setelah AS menarik mundur militer secara berangsur dari Timur Tengah. Hanya sedikit pihak yang meragukan bahwa Amerika lebih fokus pada persaingan yang lebih besar yaitu China.

Ada banyak bukti jika Amerika memang benar-benar ingin keluar dari Timteng, salah satunya penarikan mundur tentaranya dari Afganistan. Jelas bahwa target memenuhi kekosongan ini menjadi proyek besar negara-negara Teluk Persia. Di samping itu, Eropa ingin meningkatkan potensi kepentingannya.

Sebagai contoh, berdasarkan hubungan historikalnya dengan Kawasan, Inggris berupaya mengisi kekosongan ini. Mereka mengoperasikan satu pangkalan maritim baru di Bahrain dan mengembangkan pelabuhan Duqm di Oman dengan maksud menambah kekuatan angkatan lautnya.

Baca Juga : Peringatan!!! Otoritas Palestina Segera Runtuh

Begitu juga dengan Prancis, Paris terus berupaya meningkatkan kerja samanya dengan Arab Teluk Persia melalui kesepakatan politik dan keamanan. Tapi yang jelas bahwa sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Prancis tidak memiliki kemampuan untuk operasi ini di potongan waktu sekarang, tetapi mereka masih mampu melangitkan kedudukannya di Timteng berasaskan kekuatan ekonomi.

Dengan kacatama inilah, negara-negara Timteng melihat Prancis. Bisa diprediksikan perjanjian pembelian jet tempur Emirat dari Prancis merupakan langkah penyempurna dari penjualan tak selesai F-35 Amerika. Abu Dhabi sangat meragukan keputusan Joe Biden dalam penjualan jet tempur ini, selain itu Gedung Putih juga menuliskan syarat-syarat berat karena kerja sama Abu Dhabi dengan Beijing.

Amerika tidak suka melihat pengembangan internet Emirat bersama China dalam proyek 5G. Selain itu, Abu Dhabi sudah unjuk kesepakatan perdagangan dengan Beijing, mulai dari penjualan minyak dan gas hingga proyek pengembangan energi terbarukan.

Kerja sama ini sangatlah luas dan penuh potensi, bahkan Emirat tidak bisa menutup urgenitas kerja sama ini meskipun harus kehilangan jet tempur F-35. Selain itu, Emirat juga telah mengumumkan niatannya untuk investasi proyek pengembangan jet tempur generasi ke-5 dengan Rusia.

Baca Juga : 100 Hari Raisi, Gabung Blok Besar Hingga Buka Perundingan Wina dengan Wibawa

Secara historis, Prancis bukanlah aktor berprestasi di kancah internasional. Tapi sejarah membuktikan bahwa setiap ada kesepakatan perdagangan senjata, di sana pasti ada jalinan relasi yang bagus. Sebagaimana di periode perang Irak-Iran, miliaran dolar senjata dijual ke pemerintah Saddam Hussein dengan bentuk hutang minyak oleh Saudi dan Prancis. Metode masihlah sama, hanya tampang luarnya yang berbeda.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here