Kebobrokan Inggris dan Kasus Eksploitasi Anak Berkepanjangan

Purna Warta – Elon Musk pada 14 April 2022 membeli Twitter seharga 44 miliar dollar yang kemudian resmi diakuisisi pada Oktober di tahun yang sama. Menurut data tahun 2024 aktivitas Elon Musk di Twitter (kini X) meningkat lebih dari 400 persen yang dihabiskan untuk mempromosikan Gerakan sayap kanan Amerika. Kendati mendapat banyak kritik dari para konservatif, Elon Musk membawa kasus eksploitasi anak-anak di Inggris ke permukaan dan menjadikannya salah satu topik pembicaraan global.

Baca juga: Maha Kumbh Mela, Festival Keagamaan Terbesar di Dunia Dimulai

Kubu konservatif Amerika menuduh Elon Musk mempraktikkan anti-semit, transphobia, rasisme dan lainnya karena sikap kritisnya terhadap situasi yang melanda Amerika dan juga Eropa yang berkiblat pada Amerika.

Elon Musk beberapa waktu belakangan beberapa kali memosting tentang kasus pelecehan massal di Inggris yang sudah terjadi sejak lama dan mempertanyakan kualifikiasi para pemegang otoritas di negara tersebut. “ini adalah kejahatan massal terburuk yang pernah terjadi pada rakyat Inggris” tulis Musk di Twitter.

 

Awal Mula Kasus Eksploitasi

Kelompok yang didominasi imigran asal Pakistan terbukti melakukan pemerkosaan dan penyiksaan sejumlah besar gadis-gadis Inggris di berbagai daerah dan kota dalam kurun waktu kurang lebih 25 tahun.

Mayoritas korban merupakan gadis-gadis Inggris dari keluarga bermasalah dengan usia antara 11 hingga 18 tahun yang kemudian disiksa dan dieksploitasi.

Pusat aktivitas kriminal ini berada di sekitar Utara dan Tengah Inggris dimana terdapat komunitas para imigran Pakistan dan Bangladesh yang sudah berdiri sejak 1960an.

Investigasi dan penyelidikan selama bertahun-tahun menemukan adanya kegagalan sistematis dalam mengatasi kejahatan ini dan sampai pada kesimpulan bahwa para politikus lokal bahkan polisi menutupi kejahatan ini bukannya membereskannya karena takut dicap rasis oleh komunitas imigran.

Kasus eksploitasi anak ini dimulai pada tahun 1990an, di bagian utara kota Rotherham seorang pengurus panti asuhan melaporkan salah satu anak perempuan dijemput taksi di tengah malam. Pada 2001 para supir taksi yang menjemput anak-anak dari panti asuhan itu dilaporkan pada polisi atas tuduhan eksploitasi anak-anak.

Aktivitas itu terus berlanjut tanpa ada tindakan dari penegak hukum sampai akhirnya pada 2010, 5 orang Inggris-Pakistan ditangkap dan dinyatakan bersalah atas kasus eksploitasi anak-anak usia 12-16 tahun.

 

Investigasi Kasus-Kasus Terkait, Penemuan Pola Dan Modus Aksi

 

Rotherham

Pada 2012 seorang jurnalis majalah Times, Andrew Norflok mempublikasikan laporan yang mengungkap kejahatan mengerikan yang sekelompok orang yang didominasi orang Pakistan. Mereka mengeksploitasi anak-anak di bawah umur untuk seks dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Andrew memulai investigasi pada 2011 dan menemukan hasil mengerikan tersebut di Rotherham. Aktivitas eksploitasi terjadi berulang kali dan sistematis serta didukung oleh budaya tutup mulut karena takut dicap rasis. Ia juga menemukan pola serupa di kota-kota lain.

Tiga tahun kemudian Professor Alexis Jay melakukan investigasi yang mengungkap hasil mengejutkan, ia perkirakan setidaknya ada 1.400 anak dibawah umur yang menjadi korban eksploitasi antara 1997 hingga 2013.

Baca juga: Ukraina Serang Pipa Gas Turkstream

Laporan itu juga menunjukkan bahwa kekhawatiran akan dicap rasis menjadi faktor tidak adanya tindakan dari aparat. Bahkan sejumlah penegak hukum mendapat arahan langsung dari atasannya untuk tidak berurusan dengan hal-hal rasial.

Dari 1997 hingga 2013 dari perkiraan 1.400 korban dengan pelaku yang tak terhitung jumlahnya, hanya 5 orang pelaku yang ditangkap atas kasus pelecehan terhadap 3 orang korban.

 

Telford

Selain Rotherham, kota lain yang menjadi sarang kejahatan semacam ini adalah Telford yang bahkan mendapat julukan “ibukota seks anak-anak di Inggris”. Investigasi yang dilakukan Sunday Mirror pada 2018 menemukan bahwa perkiraan korban pelecehan dan eksploitasi di Telford sejak 1980an mencapai 1.000 orang.

Kasus yang terjadi di Telford mengikuti pola seperti yang terjadi di Rotherham. Para penegak hukum enggan mengambil tindakan karena khawatir isu rasial. Para pelaku juga didominasi oleh orang-orang Asia atau Pakistan.

Dari sekian banyak kasus dari 1980an hanya 7 orang yang dipenjara. Selain pelecehan terdapat pula kasus kematian dan pembunuhan yang memiliki kaitan.

Pola yang sama ditemukan pula pada investigasi di Oxfordshire pada 2015, di Huddersfield pada 2019, di Manchester pada 2020, di Oldham pada 2022 dan di Rochdale pada 2024.

 

Modus

Para pelaku dalam metodenya mengincar gadis-gadis yang aktif di malam hari dengan menawarkan berbagai hal. Setelah berhasil dekat, para pelaku membawanya ke dalam komunitas memperkenalkannya pada orang-orang tua atau senior yang kemudian dimulailah eksploitasi. Kemudian para korban dibungkam dengan menggunakan berbagai jenis obat, eksploitasi psikologis, ancaman fisik, kekerasan, alkohol dan lainnya. Tak jarang otoritas mengabaikan kasus semacam ini dengan menyebut bahwa para korban adalah anak-anak nakal yang sering terlibat dalam hal-hal berbahaya secara sukarela.

Pada 2019 lalu, investigasi skala nasional yang dilakukan oleh organisasi penanggulangan kekerasan anak di Inggris (NSPCC) berhasil mengidentifikasi sekitar 19.000 korban pelecehan massal di Inggris. Organisasi itu juga mengakui bahwa angka sebenarnya lebih dari itu.

Penindakan terhadap para pelaku kendati semakin sering terjadi, namun dibanding dengan besarnya jumlah korban, penindakan tersebut masih sangat minim.

Oleh: M. Rumi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *