Kartini dan Perlawanannya terhadap Hegemoni Kapitalisme

oleh: Haryati 

“Alangkah bahagianya laki-laki bila istrinya bukan hanya menjadi pengurus rumah tangganya dan ibu anak-anaknya saja, melainkan juga menjadi sahabatnya yang menaruh minat akan pekerjaannya, menghayatinya bersama suaminya.. Mohon dengan sangat supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak perempuan, bukanlah karena kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam perjuangan hidup ini. Kami hendak menjadikan perempuan menjadi lebih cakap dalam melakukan tugas besar yang diletakkan oleh Ibu Alam sendiri ke dalam tangannya agar menjadi ibu pendidik umat manusia yang utama!”

(Surat Kartini kepada Prof. G.K. Anton dan Nyonya, 4 Oktober, 1902)

Setiap 21 April, masyarakat Indonesia merayakan euforia perjuangan perempuan. Berdasarkan Keppres No. 108 Tahun 1964, hari kelahiran seorang perempuan belia berasal dari Jepara, R.A Kartini ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional dan disebut dengan Hari Kartini. Ide dan gagasannya tentang kebebasan perempuan menjadi sumber inspirasi kaum perempuan kala itu. Termasuk Sujatin Kartowijono, salah satu pencetus Kongres Pertama Perempuan Indonesia tahun 1928 yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu 22 Desember.

Kartini adalah perempuan cerdas dan progresif yang berusia 18 tahun, putri seorang Bupati Jepara. Oleh ayahnya, ia dinikahkan dengan seorang Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, seorang bupati yang menghormati kemajuan dan syarat nikah dari Kartini. Meski memiliki ayah yang moderat, tapi sistem feodal membuat keduanya harus menerima keputusan pernikahan dengan Bupati Rembang, menikah dengan posisi dipoligami dan menjadi istri keempat.

Kartini hidup di zaman feodal berbau patriarki. Dimana kondisi saat itu membuatnya tidak memiliki ruang untuk menolak atau memprotes hasil keputusan ayahnya. Sistem yang berlaku tidak memberikan kesempatan kepada dirinya untuk menjadi yang diinginkannya. Alih-alih bisa mengenyam pendidikan sebagaimana yang dirasakan oleh kakak laki-lakinya ia justru harus menerima dinikahkan, yang menurutnya tetap tidak menjamin ia mampu menampilkan dirinya secara otentik.

Saat itu, menurutnya kebebasan perempuan dikekang dan dibatasi oleh aturan dan tradisi kraton yang memarginalkan posisi perempuan. Perlakuan subordinasi terhadap perempuan mengakibatkan perempuan tenggelam atas superiotas laki-laki. Budaya, tradisi dan adat istiadat yang berlaku tidak memperbolehkan perempuan untuk mempunyai keinginan maupun cita-cita. Mereka hanya bisa tunduk dan taat pada peraturan yang berlaku, yang itu dibuat oleh kaum laki-laki.

Ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan inilah yang membuat Kartini merasa terpanggil untuk melakukan perubahan. Ia ingin berjuang menghadirkan sebuah sistem yang lebih ramah pada perempuan. Sistem sosial yang tidak hanya memberi keuntungan pada laki-laki saja, sementara kaum perempuannya dibiarkan terpuruk dalam kubangan kebodohan. Dari hasil renungannya, tidak ada jalan lain untuk mendapatkan kesetaraan, perempuan harus cerdas dan berpendidikan. Karena itu, Kartini menginisiasi kemerdekaan perempuan lewat pendidikan.

Melalui surat-suratnya yang dikirim kesahabatnya, Stella Zehandelaar di Belanda, ia menyampaikan keresahan dan harapan-harapannya dari hasil pergelutanya dengan wacana-wacana emansipasi perempuan-perempuan Eropa. Tulisannya menyerukan perubahan kepada perempuan dalam hegemoni budaya patriarki dan menghancurkan feodalisme.

Dalam salah satu isi surat Kartini mengenai pendidikan terhadap perempuan, “Berkah itu akan menjadi semakin besar jika anak-anak perempuan juga diberi kesempatan mempelajari salah satu kepandaian yang memungkinkannya menempuh jalan hidupnya sendiri. Tentunya apabila setelah mendapatkan pelajaran tersebut ia segera kembali ke dunianya yang dulu. Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangnya. Dia dimasukkan dalam sangkar setelah dia diajari terbang”.

Ia menganggap bahwa kebebasan perempuan hanya bisa diperoleh dengan Pendidikan. Melalui Pendidikan, perempuan akan bangkit dari tradisi yang menghancurkan kesadaran dan mematikan daya nalarnya. Perempuan terdidik akan memiliki pisau analisa dalam perjuangannya memotong rantai ketidakadilan dan pembodohan yang dirawat berabad-abad atas nama tradisi.

Kartini dengan beragam wacana yang dimilikinya telah mengkonstruk pemikiran-pemikirannya sebagai seorang perempuan. Kecenderungan Kartini dalam wilayah ide pemikiran dan intelektualitas dilalui dengan proses yang panjang. Baik itu interaksinya dengan tokoh-tokoh tertentu maupun dengan kegemarannya didunia literasi. Istri bupati ini menganggap bahwa dengan pendidikanlah, perempuan bisa melakukan pembebasan, kemerdekaan dari ketertindasan atau keterpurukan baik dalam adat ataupun kebodohan.

Bagi Kartini, adat dan tradisi adalah aturan yang dibentuk oleh manusia berwatak patriarki, dengan berbagai kepentingan-kepentingan yang mendominasi laki-laki. Sehingga aturan ini tidak multlak keberadaannya dan dapat diubah oleh manusia juga. Adat dan tradisi dipertahankan karena nilainya yang luhur, tapi jika sudah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, maka perlu dirubah.

Perjuangan Kartini sering disalah artikan sebagai gerakan emansipasi melawan laki-laki atau ingin menyaingi laki-laki. Padahal ide yang digaungkan adalah bagaimana kaum perempuan bisa menjadi pribadi yang berkualitas, baik itu dalam ranah domestik maupun publik. Olehnya itu, ide Kartini sebagaimana yang bisa dibaca dalam surat-suratnya, ia memiliki harapan terhadap pendidikan perempuan demi perempuan itu sendiri, yaitu saat mengemban perannya yang paling hakiki, kala menjadi ibu sebagai pendidik pertama bagi anak anaknya.

Kartini sadar bahwa perempuan sejatinya pembangun peradaban. Bersama perempuan yang cerdas dan berpendidikan, bangsa bisa beradab dan lebih maju. Namun pada realitanya, perempuan sendiri yang justru cenderung tidak tertarik untuk melakukan perbaikan diri. Sehingga ia merasa perlu mengubah spektrum ketidakadilan yang dimulai dari mindset masyarakat terkhusus perempuan tentang ideologi dan norma yang dipaksakan kepada mereka.

Penerapan Ide Kartini di Masa Kini

Dulu, kartini berjuang agar perempuan bisa keluar dari keterkungkungan adat, ikatan tradisi dan hegemoni budaya. Merubah pola pikir masyarakat dan adat istiadat yang mengekang terhadap perempuan. Membentuk perspektif baru terhadap pentingnya pendidikan dan kebebasan perempuan. Realitas hari ini, apakah perjuangan Kartini sudah tercapai? Apakah pendidikan sudah memerdekakan perempuan?

Memang benar perempuan hari ini sudah merasakan dunia Pendidikan. Sudah bisa memperoleh gelar tinggi, bisa memasuki dunia publik sesuai potensi yang dimiliki dan bisa memegang jabatan dan profesi apapun yang diinginkan, bahkan bisa menjadi Presiden di republik ini. Akan tetapi, seiring dengan semua prestasi itu, persoalan perempuan makin kompleks. Diskriminasi makin meningkat terhadap perempuan. Hegemoni kapitalisme yang bersekutu dengan sistem patriarki masih saja mencengkram kehidupan masyarakat termasuk perempuan.

Terlihat sangat jelas, sampai detik ini perempuan masih terus berjuang melawan sistem dan struktur yang mengakibatkan ketidakadilan. Dominasi, eksploitasi serta tindakan represi menyebabkan perempuan mengalami penderitaan dan ketertindasan. Angka kekerasan terhadap perempuan tiap tahun semakin meningkat. Penjualan dan perdagangan perempuan dan anak-anak (traficcking) merajalela serta eksploitasi perempuan telah mengakar dalam kehidupan masyarakat.

Kapitalisme membuat kaum perempuan terhipnotis dengan defenisi kecantikan, kesuksesan serta kemerdekaan perempuan. Terlihat dengan jelas di era ini, alih-alih perempuan bangkit melawan kapitalisme justru perempuan baik secara sadar atau tidak telah menjadi alat komoditi kaum kapitalis. Mereka tidak sadar bahwa mereka berada dalam kendali kaum pemodal dengan membuat standarisasi kecantikan. Sehingga tidak heran jika perempuan terobsesi dengan produk-produk kecantikan.

Ini tentu menjadi senjata kuat bagi kaum kapitalis untuk mengontrol perempuan. Menurut kaum kapitalis, bangsa pasar, keseluruhan yang ada pada perempuan merupakan alat berharga yang dapat dieksploitasi unjtuk meningkatkan surplus dan keuntungan yang tinggi.

Kalau di era Kartini, sebagai putri kraton Kartini diminta cantik dan tampil ayu untuk memenuhi selera laki-laki priyayi. Di era sekarang, perempuan dituntut cantik untuk memenuhi selera pasar. Perempuan hari ini, bukan lagi hanya dihabiskan tenaganya untuk mendukung produksi atas nama perempuan juga berhak bekerja namun juga sambil secara sukarela menjadi bahan bakar sistem kapitalisme. Perempuan telah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga tidak pernah menyadari bahwa mereka telah ditindas, diperbudak dan dimanfaatkan untuk kepentingan pasar.

Penilaian terhadap perempuan disetir oleh trend pasar. Perempuan dikondisikan untuk tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya, warna kulitnya, jenis rambutnya sampai pada pola alis dan bulu matanya, sehingga perempuan akan selalu terobsesi dengan tren produk-produk kecantikan terbaru. Kecerdasan perempuan diukur bukan hanya dari seberapa banyak ia mampu mengumpulkan uang, tapi juga seberapa ia bisa tampil sesuai standar kecantikan hari ini.

Dengan melihat semua kenyataan ini, persoalan yang dialami oleh perempuan dari perspektif Kartini belumlah selesai. Yang perlu kita jadikan spirit Hari Kartini adalah proyeksi kedepan tentang nasib perempuan dan anak-anak sebagaimana cita-cita Kartini. Perjuangan Kartini perlu dilanjutkan setiap tahunnya dengan membantu menentaskan problema yang dihadapi perempuan. Perempuan harus cerdas, untuk bisa menampilkan dirinya secara otentik, tanpa diikat oleh standarisasi apapun yang itu di luar dari fungsinya sebagai manusia.

Sangat disayangkan jika Hari Kartini hanya dijadikan sebagai perayaan seremonial semata, hanya sekedar mengingat tokoh emansipasi perempuan tapi hampa dari spirit pembebasan dan emansipasi yang digaungkan Kartini. Kartini memperjuangkan terciptanya dunia yang membebaskan perempuan agar mendapat pendidikan yang setara dengan laki-laki, bukan agar perempuan juga memiliki gelar tinggi dan bisa sebanyak mungkin menduduki jabatan publik, melainkan melalui pendidikan, perempuan jadi bisa mengenal dirinya, cita-citanya dan secara cerdas memperjuangkan perubahan kondisi sosial yang tidak memihak pada kepentingan perempuan.

Apa artinya seorang perempuan memiliki deretan gelar dan pekerjaan yang bergengsi, namun implementasi gelar atau keterlibatannya dalam dunia sosial tidak dirasakan karena tidak turut bergelut dalam memecahkan tindak kekerasan, eksploitasi terhadap perempuan atau gerakan bersama melawan kapitalisme.

Kartini-kartini hari ini harus memanfaatkan kebebasan mendapatkan pendidikan untuk kepentingan  membangun kesadaran kemanusiaanya. Karena penindasan yang paling buruk adalah ketidaksadaran atas ketertindasannya.

Selamat Hari Kartini.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *