HomeAnalisaKalau AS Tidak Ingkar Janji, Ukraina Mungkin Tak Bernasib Begini

Kalau AS Tidak Ingkar Janji, Ukraina Mungkin Tak Bernasib Begini

Purna Warta – Dalam orasi kemarin, Presiden Rusia menyindir ingkar janji AS agar tidak memperluas NATO ke wilayah timur Eropa, terutama Ukraina. Dalam konfliknya dengan Ukraina, Rusia telah mengakui kemerdekaan Donetsk dan Luhansk secara resmi.

Vladimir Putin, Presiden Rusia, dalam pidatonya menjelaskan alasan keputusannya terkait urusan Ukraina dan menegaskan, “Selain itu, kami mengetahui kepentingan petinggi Amerika yang menyatakan konflik aktif di bagian timur Ukraina tidak akan menafikan kemungkinan bergabungnya Ukraina ke NATO. Ini merupakan satu persitiwa yang akan terjadi jika Kiev mengamini syarat NATO dan menang atas kejahatan.”

Baca Juga : Uni Eropa: Kami Telah Boikot 70% Bank dan Perusahaan Milik Negara Rusia

“Di tengah situasi ini, kami telah berusaha berkali-kali untuk meyakinkan diri bahwa NATO hanyalah satu koalisi perdamaian dan murni pertahanan yang tidak akan pernah mengancam Rusia. Mereka menuntut kami untuk mempercayai klaim mereka, sedangkan kami mengetahui betul nilai pernyataan ini. Pada tahun 1990, ketika dipaparkan perundingan dua Jerman, Amerika Serikat kepada petinggi Uni Soviet berjanji untuk tidak menggerakkan wilayah kekuasaan NATO atau tidak mengerahkan pasukan militernya ke arah timur meskipun satu inch dan persatuan dua Jerman tidak akan menyebabkan manuver ke arah timur. Ini adalah janji dan pernyataan tegas mereka. Mereka meyakinkan janji lisan, tapi tidak ada artinya,” sindir Presiden Rusia.

Mendengar orasi menggebu-gebu Presiden Putin ini, media pendukung Barat melihatnya dengan berbagai kacamata yang sangat jauh dari pendekatan Moskow. Menurut pihak Barat, kebijakan Rusia merupakan salah satu dari kerakusan Kremlin atau nafsu Putin untuk menghidupkan kembali Uni Soviet. Moskow bermaksud mengancam Eropa dengan menguasai para tetangga dekatnya.

Akan tetapi, sorot lebih detail akan urusan ini menunjukkan bahwa analisa yang dipaparkan Barat memotong beberapa dokumentasi nyata.

Baca Juga : Yaman Bertahan Lebih dari 7 Tahun, Ukraina Tidak Bertahan dalam 7 Jam

Seperti contoh: Surat kabar Los Angels Times beberapa tahun menelaah dokumen, membolak-balik halaman berkas serta pernyataan tertulis dalam catatan dan melaporkan janji Amerika kepada Rusia bahwa NATO tidak akan meluas ke wilayah timur Eropa. Akan tetapi pasca itu, AS melanggar janji dan merubah strategi.

Kasus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Presiden Vlaidmir Putin tentang perundingan persatuan dua Jerman. Pasca runtuhnya tembok Berlin, sistem regional Eropa bergantung pada satu pertanyaan, Jerman Bersatu akankah berada di satu barisan dengan Amerika Serikat dan NATO ataukah dengan Uni Soviet atau tidak dengan keduanya?

Politikus Amerika di periode kepresidenan George W. Bush di awal tahun 1990 menuntut Jerman untuk menjadi anggota NATO.

Berdasarkan hal ini, di awal Februari 1990 Amerika Serikat mengajukan satu visi perdamaian kepada petinggi Uni Soviet. Isi tertulis pertemuan menunjukkan bahwa hari ke-9 Februari 1990, James Baker, Menlu AS kala itu, menawarkan kepada petinggi Uni Soviet bahwa Washington akan mengajukan jaminan kuat sebagai upah dari kerja sama Moskow terkait Jerman. Karena NATO tidak akan bergerak ke arah timur.

Baca Juga : Raisi: Ekspansi NATO Ancaman Serius Bagi Stabilitas dan Keamanan Negara-Negara Merdeka

Hanya satu minggu pasca perjanjian tersebut, Mikhail Gorbachev, Presiden Uni Soviet, menyetujui penyelenggaraan perundingan persatuan Jerman. Namun tidak ada satupun resolusi yang ditandatangani dalam kesempatan ini.

Tapi surat kabar Los Angels Times menuliskan bahwa semua berkas mengisyaratkan perhitungan kedua belah pihak: Uni Soviet menyepakati keinginan Jerman ke arah barat dan AS berencana untuk menghadang perluasan NATO.

Dalam berkas tertulis Kementerian Luar Negeri Amerika tahun 1990 dijelaskan bahwa paling tidak di potongan waktu itu, Amerika tidak melihat keuntungan akan gerak NATO ke arah timur.

Dalam berkas disebutkan, “Saat ini, memberikan hak keanggotaan ke negara-negara timur dalam NATO dan jaminan keamanan terkait tidak berhubungan dengan kepentingan Amerika. Kami tidak ingin mengaktifkan satu aliansi anti Uni Soviet sama sekali. Uni Soviet akan melihat koalisi ini dengan negatif.”

Baca Juga : Washington: Pintu NATO untuk Swedia dan Finlandia Masih Terbuka

Namun demikian, negara-negara Barat sangatlah jarang memegang janji. Analisa dokumen nasional dan berkas-berkas pemerintahan Amerika memperlihatkan kesepakatan para pengambil keputusan AS yang mulai menyangsikan perluasan NATO yang disebut tidak menguntungkan Washington itu.

Oleh karena itu, di akhir Februari tahun itu juga, yaitu 1990, Presiden AS kala itu dan para Penasihatnya memutuskan untuk terus membuka indikasi ini.

Berdasarkan riwayat berkas, hanya satu bulan setelahnya, yaitu di bulan Maret, para Penasihat Menlu James Baker membisikkan bahwa koalisi NATO bisa memobilisasi negara-negara bagian timur Eropa ke dekat AS. Sebagaimana yang terdapat dalam dokumen Dewan Keamanan Nasional AS tahun 1990 disebutkan bahwa pada bulan Oktober, pemerintah Amerika mulai sibuk membahas waktu deklarasi NATO untuk menerima negara-negara timur Eropa sebagai anggota.

Sementara, di saat yang sama, AS terus berupaya meyakinkan Rusia bahwa NATO memahami keraguan serta kekhawatiran mereka. Menlu James Baker, tertanggal 18 Mei 1990, di Moskow menegaskan bahwa Amerika Serikat akan bekerjasama dengan Uni Soviet untuk menciptakan Eropa baru.

Baca Juga : Gedung Putih: Perang dengan Rusia Tidak Menguntungkan Kami

Pada bulan Juni, berdasarkan berkas Dewan Keamanan Nasional AS, pemerintahan Bush kepada petinggi Uni Soviet menyatakan bahwa Washington sedang mengupayakan pembangunan Eropa baru dan universal.

Dengan demikian, maka bukan hal aneh jika Rusia marah melihat keanggotaan Polandia, Hongaria, Republik Cheko dan negara-negara Baltik di NATO yang dimulai sejak dekade 90-an. Boris Yeltsin, Dmitri Medvedev dan Mikhail Gorbachev terus mengumandangkan kemarahan Moskow, baik langsung maupun melalui jaringan tersembunyi.

Boris Yeltsin, Presiden pertama Rusia pasca keruntuhan Uni Soviet, dalam satu konferensi pres bersama dengan Bill Clinton, eks Presiden AS, pasca kesepakatan kontrol senjata AS-Rusia di Helsinki menyatakan, “Kami yakin bahwa perluasan NATO ke wilayah timur merupakan kesalahan, itupun satu kesalahan besar.”

Beberapa bukti menunjukkan bahwa AS meskipun menyadari sensifitas Rusia akan masalah ini, tetap mengagendakan politik ekspansi ke wilayah timur di bawah struktur NATO.

Baca Juga : Anonymous Nyatakan ‘Perang Dunia Maya’ Melawan Rusia

Seperti contoh: Jim Collins, salah satu Diplomat AS, dalam catatannya kepada Kemenlu AS tahun 1993 menuliskan, “Sebagaimana NATO yang diputuskan secara politis yang visinya meluas hingga wilayah Eropa timur dan pusat tanpa menyisakan satupun untuk Rusia, maka Moskow akan melihat gerak ini sebagai satu gerak anti Rusia.”

Akan tetapi sejak tahun 1990 dan setelahnya, paling tidak NATO telah berusaha sebanyak 5 kali membujuk negara-negara bekas Uni Soviet dan perjanjian Warsawa untuk menjadi anggotanya.

Salah satu Dosen diplomasi institute analisis timur dan Afrika di universitas London mengatakan kepada Deutsche Welle, “Poros Barat pada tahun 1990-1991 memegang semua kartu as dan mengakhiri Uni Soviet, namun mereka tidak mendapatkan poin apapun dari manuver ini.”

Keruntuhan Uni Soviet memaksa petinggi AS melakukan banyak pertemuan dan perundingan dengan pihak Rusia, akan tetapi menurut pengamatan Dosen tersebut, “Kami tidak pernah melakukan usaha serius untuk menarik perhatian orang-orang Rusia.”

Baca Juga : Konflik Rusia-Ukraina Gambar Ulang Peta Penerbangan Eropa

Dengan mendekatnya NATO ke wilayah timur, yaitu Ukraina dan Georgia, perkelahian antara Amerika Serikat dengan Rusia semakin panas dan memaksa Moskow untuk melakukan balasan lebih serius.

Must Read

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here